Oleh:
Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan
Hadhramaut...................Negeri Leluhurnya Walisongo......................
Sebuah nama yang mungkin terasa asing bagi masyarakat islam Indonesia, apalagi bagi mereka yang latar belakang keislamannya bersumber dari negara-negara islam yang tidak punya hubungan sama sekali dengan Hadramaut baik secara historis, politik , budaya dan sosial. Mungkin mereka mereka itu pernah mendengar nama ini, tapi untuk mau lebih mengetahui secara dalam rasanya tidak juga, apalagi mereka yang akar keislamannya berasal dari kajian Islam yang berada diperguruan tinggi-perguruan tinggi umum ataupun yang islam yang lebih cenderung bersikap modernis, plural, liberal, sekuler yang sumber-sumber ilmu pengetahuannya banyak berasal dari dunia barat, dan sumber ilmu pengetahuannya yang berasal dari cendikiawan islam yang memang bukan berasal dari Hadhramaut. Memang pernyataan ini terkesan seolah-olah “menghakimi” atau men-generalisir sebuah data saja, namun percayalah ketika pernyataan ini keluar itu artinya saya pernah merasakan itu semua, mungkin bisa saja saya salah, namun tidaklah salah pula bila saya memberikan fakta seperti itu karena saya sendiri berasal dari perguruan tinggi islam yang kajian-kajiannya lebih banyak mengambil sumber-sumber yang bukan dari ulama atau cendikiawan muslim Hadhramaut. Dosen-dosen dibeberapa perguruan tinggi Umum atau sebagian perguruan tinggi Islam (mungkin....) di Indonesia lebih banyak memakai sumber-sumber yang bukan berasal dari kitab-kitab dan kajian ulama Hadhramaut. Sumber-sumber kajian perkuliahan justru banyak mengambil dari buku-buku yang bersumber dari ulama dari negara muslim lain seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Turki dan negara-negara lain dalam bentuk yang sudah diterjemahkan. Bahkan hasil hasil karya cendikiawan eropa sering jadi rujukan dalam setiap mata kuliah islam, karya-karya ulama pembaharu dan dianggap reformis islam seperti Jamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Abul A’la Al Maududi, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Qutub, Muhammad Iqbal, Hasan Al Bana dll, sedangkan ulama-ulama pemikir yang paling sering diangkat pemikirannya seperti Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Abu Hasan Al-Asy’ary, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, dll. Untuk yang pemikiran sekuler liberal rasanya tidak asing bila kajian mereka bersumber dari kampus-kampus barat seperti Mc Gill University, Harvard University, Chicago University, Columbia University, Leiden University dan lai-lain.
Sekalipun demikian, walaupun ada kenyataan seperti ini, kalau anda tanyakan pada masyarakat muslim yang sering menghadiri majelis majelis ta’lim atau pondok-pondok pesantren diberbagai kota di Indonesia khususnya pondok pesantren atau majelis ta’lim yang diasuh oleh para habaib (Alawiyyin), pasti mereka mengenal nama yang satu ini. Kenapa nama ini dikenal luas pada kalangan ini, karena pengasuh dari majelis-majelis ta’lim tersebut kebanyakan merupakan alumni atau lulusan rubath (semacam pondok pesantren) yang berasal dari Hadhramaut. Para Alumni inilah yang kemudian memperkenalkan Hadhramaut. Mereka para alumni lulusan Hadhramaut tentu dalam pola pengajarannya selalu menyebut nama daerah yang satu ini, karena guru dan ilmu mereka berasal dari daerah ini. Para alumni Hadhramaut sendiri jika dilihat pada kondisinya sekarang tidak lagi didominasi oleh para lulusan rubath rubath saja, banyak juga dari mereka yang lulusan perguruan tinggi seperti Universitas Al Ahgaf. Profil lulusan Hadhramaut juga tidak lagi lagi didominasi oleh kalangan Alawiyyin saja, tapi kini sudah banyak orang orang yang non Alawiyyin ikut belajar. Bahkan pemuda pemuda keturunan dari walisongo (Azmatkhan) kini banyak juga yang telah “berpetualang” dalam dunia pendidikan di negara yang banyak peninggalan peninggalan kuno yang dilindungi UNESCO ini. Keluarga besar Azmatkhan ketika belajar di Hadhramaut seolah olah kembali ketanah air asal para leluhurnya, sebelum menapakkan diri dan tinggal di negeri India. Ketertarikan para pemuda untuk belajar kenegeri ini memang akhir akhir ini meningkat, tidak hanya rubath rubath yang mereka minati, namun perguruan tinggi di Hadhramautpun kini banyak yang menarik minat mereka, padahal negeri-negeri lain seperti Mesir, Saudi, Syiria, Maroko tidak kalah menariknya.
Negeri Hadhramaut adalah negeri kuno pada lalu, situs situs dan bangunan kuno disini masih bisa kita dapati dalam kondisi yang baik. Hadhramaut yang terletak di Yaman Selatan sendiri adalah negera tandus dan gersang, namun demikian untuk urusan situ atau peninggalan kuno, negeri ini patut kita acungi jempol, kondisi ini malah berbalik 180 derajat dengan negara-negara Timur Tengah lain seperti Arab Saudi. Mekkah dan Madinah saat ini situs situs pentingnya sudah banyak yang dihancurkan oleh penguasa Arab Saudi dengan alasan bisa “merusak” akidah. Rumah Nabi saja mereka hancurkan, makam-makam keluarga dan sahabat Nabi yang dulu banyak memiliki qubah kini sudah rata dengan tanah dan hanya ditandai dengan sebuah batu cadas, betul-betul seperti tidak berperadaban!. Keberadaan situs situs di Arab Saudi betul-betul sangat menyedihkan, mungkin dari semua situs, hanya makam Nabi Muhammad SAW yang selamat, itupun kini makam itu sedang diincar untuk “DIRENOVASI” (katanya...). Negara Arab Saudi ini memang aneh dan terkesan tidak perduli terhadap peninggalan peninggalan kuno. Di saat negeri-negeri lain mati-matian mempertahankan situs situs berharga itu, Arab Saudi malah menghancurkan situs situs penting seperti rumah dan makam keluarga dan sahabat Nabi, untungnya masyarakat Hadhramaut tidak ketularan sikap seperti itu karena penduduknya dalam hal ini pemerintah Yaman sangat perhatian terhadap hal-hal seperti itu. Para ulama yang berada di Hadhramautpun ikut menjaga kelestarian situs situs kuno termasuk makam-makam para ulama besar yang ada di kota tersebut. Dalam buku Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali yang disusun Ahmad Imron dan Syamsul Hary, halaman 13, bahkan Hadhramaut disebut sebuah negeri purba dan menyimpan sepenggal keajaiban, dibalik buminya yang gersang dan kerontang, negeri ini juga menawarkan kesejukan ruhani yang tidak terlukiskan. Hembusan manfaat Auliyanya tersebar hingga keseluruh dunia, termasuk Nusantara dengan tokohnya Walisongo yang ternyata mempunyai akar silsilah dari bumi Hadhramaut.
Bumi Hadhramaut memang terkenal gersang dan panas, namun jangan lupa walaupun negeri ini panas dan menyengat, negeri ini menyimpan potensi wisata ruhani yang menakjubkan yang tidak kalah dari negeri negeri lain. Kota ini terletak di Timur Tengah tepatnya dikawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden Sampai Tanjung Ras Al-Had. Idrus Alwi Al Masyhur dalam bukunya Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Malaysia, Singapura, Timur Tengah, India, Afrika Halaman 95 mengatakan bahwa Hadhramaut hanyalah sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai diantara pantai desa desa nelayan Ain Ba Ma’bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak dibelakangnya. Kota-kota dan juga desa desanya cukup mempesona untuk dikunjungi, dari mulai Tarim, Shibam, Sewun, Huraidhah, Hijran, Masyad, Inat, Hurebeh, Budhoh, Mukalla, Syihr, Gidun. Kebanyakan daerah yang disebut ini berada dilembah lembah atau Wadi karena berada dibelakang gunung seperti yang diungkap oleh Idrus Alwi Al Mahsyur. Negeri yang gersang ini banyak terdapat masjid masjid bersejarah dan ramai dikunjungi para peziarah ruhani, Makam-makam Nabi seperti Nabi Sholeh dan Nabi Hud yang setiap tahun diadakan ziarah besar besaran, Makam makam para waliyullah bertebaran dimana-mana, dinegeri ini juga banyak ulama-ulama yang menjadi guru dari ulama ulama dunia, tidak heran ulama ulama dunia banyak sanad keilmuannya yang berasal dari ulama Hadhramaut baik dari ulama Alawiyyin atau yang non Alawiyyin, manuskrip-manuskrip kuno juga masih tersimpan dengan baik dibeberapa perpustakaan, baik itu perpustakaan yang ada dirubath, diuniversitas atau ditangan ulama ulama Hadhramaut itu sendiri, baik yang masih dalam bentuk tulisan tangan maupun yang sudah dicetak. Hadhramaut adalah bumi idaman bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan agama yang bersanad sampai kepada Rasulullah SAW. Kekayaan lain yang tidak kalah menakjubkan dinegeri yang diberkahi ini, di Hadhramaut Yaman catatan nasab tentang keluarga besar Ahlul Bait khususnya Keluarga Besar Alawiyyin sangat banyak, dan tercatat dengan rapi. Untuk catatan nasab keluarga besar Alawiyyin, dipegang masing masing Naqib dan kemudian juga dibantu para Munsib. Tugas Naqib dan Munsib memang salah satunya adalah menjaga dan memelihara catatan nasab yang ada. Naqib tugasnya lebih berat dari Munsib, Munsib adalah orang-orang yang membantu Naqib untuk pencatatan nasab, terutama untuk keluarga besarnya.
Menurut buku Hadramaut Bumi Sejuta Wali yang disusun Abdul Qodir Mauladawilah, halaman 185, Munsib merupakan perluasan dari tugas “Naqib” yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad Al Muhajir sampai Syekh Abu Bakar Bin Salim. Seorang Naqib adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim dan tugasnya mendata nasab seluruh Alawiyyin, sedangkan pada halaman 187 Abdul Qodir menjelaskan bahwa munsib baru muncul pada abad ke sebelas dan abad ke dua belas Hijriah (sekitar abad ke 16 dan 17 Masehi). Munsib inilah yang berperan membantu Naqib diberbagai wilayah. Sebelum era adanya munsib memang pendataan nasab masih terbatas karena terbentur pada kondisi yang ada dan hal ini diamini oleh Novel Bin Muhammad Al Idrus dalam bukunya yang berjudul Jalan Nan Lurus-Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, halaman 23 mengatakan, mengingat Hadhramaut merupakan negara yang tandus, gersang dan miskin dimasa itu, maka tidak ada catatan yang menyebutkan tanggal lahir dan wafat mereka, ini bukan suatu yang aneh, sistem pendataan belum sehebat yang sekarang, apalagi mereka adalah pendatang baru. Oleh karena menyadari adanya kelemahan seperti ini maka muncullah munsib munsib ini. Sehingga dikemudian hari pencatatan nasab tetap bisa berjalan dengan rapi dan sudah tentu bersanad kepada Rasulullah SAW.
Adanya keterangan seperti ini membuktikan jika pencatatan nasab di Hadhramaut itu sangat rapi, nah bagaimana dengan yang berada diluar wilayah Hadhramaut? Ya tetap ada pencatatan, misalnya keluarga besar Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, catatan nasab mereka ternyata tersusun rapi, sekalipun nanti keluarga besar Alawiyyin hijrah, pencatatan nasab tetap dilakukan. Seperti yang Abdul Qodir tulis, bahwa Naqibpun kemampuannya terbatas, apalagi untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh dan sudah melintasi berbagai Negara. Dengan kondisi transpostasi pada saat itu yang serba sulit tentu pencatatan nasab belum semua tercover dengan lengkap, namun demikian karena tradisi pencatatan nasab itu sudah dilakukan secara bersanad, dari mulai Rasulullah SAW sampai sekarang, maka catatan nasab pada masing masing keluarga lain, terutama yang berada diluar Hadhramautpun tetaplah terjaga, ini adalah salah satu bentuk kelebihan keluarga besar Ahlul Bait yang kukuh dalam menjaga catatan nasabnya, baik dia yang dari jalur Sayyidina Husein maupun Sayyidina Hasan. Sampai saat ini berdasarkan bukunya Idrus Alwi Al Mahsyur diatas pada halaman 268 – 270 jumlah Fam yang berasal dari Keturunan Imam Ahmad Al Muhajir sebanyak 154 baik yang berada di Hadhramaut maupun Indonesia, sedangkan dalam Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia & Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Hasani Seluruh Dunia yang Disusun Oleh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini (Syekh Mufti Kesultanan Palembang & Yarasutra), Penerbit Madawis, Tahun 2013 bahwa jumlah Fam Al Husaini sudah berkembang dan mencapai angka 5515 Fam dan Fam Al Hasani mencapai 5515. Ini baru Fam Al Husaini dan AL Hasani, belum lagi catatan nasab Keluarga Besar Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Catatan Nasab Sayyidina Umar bin Khattab, Catatan Nasab Keluarga Besar Sayyidina Usman, Bani Abbasiah dan Bani Umayyah dll.
Dr. Abdul Madjid Hasan Bahafdullah penulis buku yang tertarik yang berkaitan dengan Nasab di Hadhramaut berjudul Dari Nabi Nuh AS Sampai Orang Hadramaut di Indonesia-Menyelusuri Asal Usul Hadharim, dalam Kata Pengantarnya yang penuh motivasi, beliau mengatakan bahwa motivasinya dalam menulis buku ini adalah karena merasa “aneh” bila ditanya asal usul nenek moyangnya, keinginan tahuan dia mengetahui nasab Hadhramaut akhirnya muncul secara menggebu gebu karena merasa miris terhadap nasabnya sendiri, padahal ia merupakan seorang keturunan Hadhramaut tulen, Abdul Madjid akhirnya penasaran dengan nasab dan sejarah Hadhramaut itu sendiri, bahkan begitu penasaran beliau terhadap nasab-nasab yang ada di Hadhramaut ini, akhirnya “memancing” beliau untuk kembali ke negeri asalnya itu, padahal menurutnya kemampuan bahasa arabnya pas-pasan. Abdul Madjid rupanya sudah berbulat tekad untuk berburu data-data tentang sejarah dan nasab di Hadhramaut. Sengaja ia “mudik” kekampung halamannya itu setelah “gagal” mendapatkan data dari sebuah lembaga nasab yang ia kenal. Padahal menurut Abdul Madjid dia sudah berusaha sebaik mungkin, namun kenyataannya harus gigit jari karena “dipimpong” sana sini. Namun ketika di Hadhramaut ini, justru Abdul Majid banyak mendapatkan kitab-kitab sejarah dan nasab yang ada di Hadhramaut itu. Akhirnya berkat usahanya yang ulet Abdul Madjid berhasil membuat buku yang menurut saya cukup baik dan berkualitas sebagai buku sejarah dalam perkembangan Hadhramaut dari masa kemasa. Yang mengejutkan, dalam bukunya ini Abdul Madjid banyak menerangkan tentang nasab walisongo yang berhubungan dengan Hadhramaut, bahkan pada halaman 268 dan 272 -275 Abdul Madjid menerangkan panjang lebar tentang sejarah dan nasab keluarga besar walisongo dalam hal ini AZMATKHAN, dibandingkan yang lain, data Azmatkhan sepertinya mendapat porsi “khusus” dalam buku tersebut, saya sampai berfikir, bahwa Abdul Madjid ini kok rasanya tidak adil dengan data yang keluarga Alawiyyin yang lain ya….. namun hal itu tidak lama, karena mengingat perjuangan dan semangat yang dia lakukan saya tetap berfikir positif, walaupun tidak begitu banyak dibandingkan walisongo namun data-data tentang nasab Alawiyyin tetap mendapat tempat dibuku Abdul Madjid. Buku beliau ini patut diapreasiasi karena berisi 1000 nasab yang ada di Hadhramaut.
Begitu mulianya Hadhramaut dan juga penduduk Yaman, pada masa Rasulullah SAW, negeri ini sampai didoakan Rasulullah SAW setelah mendapatkan laporan dari Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidina Muazh bin Jabal yang diterima secara baik dan lemah lembut oleh penduduk Hadhramaut Yaman. Rasulullah SAW kemudian mendoakan penduduk Yaman dengan doanya yang terkenal “Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk wilayah Syam, Ya Allah limpahkan pula keberkahan untuk Yaman”. Dalam buku Manaqib Sayyidina Al Ustadz Al-A’zham Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali RA yang disusun oleh Sayyi Muhammad Rafiq Al Kaff Ghatmir pada halaman ix romawi menulis bahwa Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq juga pernah mendoakan negeri setelah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang bernama Ziyad bin Lubayd Al Anshory amil Rasul di Yaman berhasil mengambil Bay’at atau Ikrar Kesetiaaan penduduk asli Hadhramaut terutama penduduk Tarim Hadhramaut yang begitu gembira dengan datangnya Islam. Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq berdoa dengan tiga permintaan kepada Allah SWT:
Dibanyakkan orang-orang yang Sholeh Di Tarim
Agar Tarim diberkahi Allah
Tidak dipadamkan Api Agama Allah di Tarim Sampai hari kiamat
Pantaslah negeri ini kelak suatu saat dijadikan tempat berhijrahnya Imam Ahmad Al Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyyin. Saya rasa faktor doa dari Rasulullah SAW& Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq ini menjadi pertimbangan penting Imam Ahmad Al Muhajir untuk berhijrah, apalagi kondisi saat beliau tinggal di Basrah yang merupakan provinsi Irak saat itu sudah tidak kondusif bagi keluarga Ahlul Bait, maka sebagai orang yang cukup faham arti yang tersirat dalam doa ini, sangat wajar bila suatu saat Imam Ahmad Al Muhajir hijrah ke Yaman dalam hal ini kota Hadhramaut. Dan memang benar saat Imam Ahmad Al Muhajir tiba di Hadhramaut, beliau diterima dengan lemah lembut oleh penduduk Hadhramaut dan kelak dengan dakwah beliau akhirnya Hadhramaut menjadi salah satu kota peradaban islam yang masih bertahan hingga kini.
Adanya sikap lemah lembut penduduk Yaman Hadhramaut dan juga sikap lemah lembut kaum Alawiyyin ini dibenarkan dalam bukunya Abdul Qodir bin Mauladawilah yang berjudul Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Halaman 27, Abdul Qodir dalam bukunya ini mengatakan bahwa penyebaran Islam di Negara kita Indonesia yang dilakukan secara lemah lembut, cinta damai dan tidak menggunakan kekerasan sama sekali, semua itu adalah jasa para ulama yang datang dari negeri Yaman yang sebelumnya transit terlebih dahulu ke Gujarat India dan Cina sebelum menuju Asia Tenggara, diantara mereka adalah Walisongo.
Nama Hadhramaut sendiri menurut Ahli sejarah Yaman, As-Syeikh Hasan Al Hamdani seperti yang dikutif oleh Abdul Qodir Mauladawilah dalam bukunya itu adalah keturunan dari Himyar Al Asgar. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Dairat Al Ma’rif karya Imam Al Bustami, Hadhramaut adalah nama seorang raja dari keturunan Himyar yang bernama lengkap ‘Amir bin Qahthan, ia dijuluki Hadhramaut karena setiap menghadiri perang pasti banyak korban yang mati. Sejak saat itu jika ia datang dalam peperangan, orang meneriakan “Hadra al-maut…..”. Dari situlah daerah yang ia tempati bersama kabilahnya disebut Hadramaut hingga sekarang, dan Hadhramaut saat ini merupakan salah satu provinsi di Yaman demikian seperti yang dikutif Abqul Qodir.
Nama Hadhramaut bila dibandingkan 30 atau 40 tahun yang lalu memang tidak sepopuler sekarang, pada masa-masa itu memang ada beberapa habaib atau keluarga Alawiyyin yang berasal dari Indonesia yang pernah belajar disana, baik mereka yang ada di Jakarta maupun daerah-daerah lain seperti Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra, namun saat itu yang belajar di Hadhramaut tidak sebesar jumlahnya pada era sekarang ini. Perjalanan keluarga Alawiyyin untuk belajar ke Hadhramaut pada masa lalu tidak semudah seperti sekarang ini. Pada masa lalu terutama pada awal-awal abad ke 19 atau 20 Masehi, perjalanannya cukup sulit, untuk menempuh ilmu dinegara Yaman Selatan ini kebanyakan mereka masih menggunakan kapal laut, padahal jarak Hadhramaut Yaman itu sangatlah jauh. Perjalanan bisa ditempuh berbulan bulan, seperti juga perjalanan haji. Namun walaupun jauh jarak tempuh yang akan mereka tuju, banyak dari mereka tetap semangat untuk belajar di Hadhramaut ini. Ini berbeda dengan kondisi sekarang, pada masa sekarang dapat dikatakan perjalanan lebih mudah dan lebih cepat, sehingga dengan cepatnya waktu yang ditempuh tidak heran banyak dari pemuda dan pemudi Indonesia semakin tertarik untuk menuju negara ini, dan puncaknya para pemuda Indonesia baik yang habaib dan non habaib. Sejak tahun 1994 s/d sekarang mereka berangkat secara bergelombang untuk menuju rubath rubath yang ada di Hadhramaut itu. Memang semenjak kedatangan Sayyid Umar bin Hafizh ke Indonesia tahun 1994, hubungan antara Hadhramaut dan Indonesia, seolah terlahir kembali, Indonesia dan Hadhramaut seolah masing-masing saling menemukan “saudara kandung”. Kedatangan Ulama yang murah senyum ini seolah merangkai kembali hubungan Hadhramaut dan Indonesia yang seolah-olah “terputus” sejak masa walisongo sampai era awal ke 20 Masehi. Sayyid Umar bin Hafizh dengan Rubathnya bernama Darul Musthofa telah berhasil menarik minat pemuda Indonesia untuk belajar di negeri Hadhramaut ini.
Pada masa lalu, orang-orang atau ulama ulama yang pernah belajar di Hadhramaut, ketika kembali ke Indonesia, mereka banyak yang membuka majelis ilmu. Dan hebatnya ketika mereka membuat majelis ilmu, banyak dari majelis ilmu itu bisa bertahan lama. Ketika saya perhatikan kenapa Majelis-majelis ilmu mereka banyak yang bertahan, ternyata rahasia dari majelis ilmu mereka ternyata adalah karena adanya penerapan AKHLAK!. Banyak ulama yang lulus dari Rubath Hadhramaut disamping ilmu yang mereka miliki rata rata mereka terkenal dengan ahklaknya baik lisan dan tulisan. Ulama seperti Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim Jindan, Habib Sholeh Tanggul, mereka ini lulusan Hadhramaut. Hebatnya pada masa lalu hubungan antara Habaib dengan Ulama keturunan Walisongo itu terjalin dengan baik. KH Hasyim Asyari itu mempunyai hubungan baik dengan Habib Ali Kwitang, Habib Sholeh Tanggul yang terkenal karomahnya juga banyak hubungannya dengan kyai kyai keturunan walisongo, Habib Salim Jindan bahkan hubungan dengan Mbah Kholil Bangkalan sangat baik, Sayyid Bahruddin Azmatkhan salah seorang Ulama Ahli nasab Walisongo bahkan salah satu murid kesayangannya adalah berasal dari kalangan habaib. Antara Kyai-kyai keturunan Walisongo dan Habaib pada lalu memang tidak pernah terdengar ada konflik, apalagi dalam urusan nasab, itu menandakan para habaib pada masa lalu sangat faham dan mengerti dengan nasab-nasab keturunan Walisongo. Setahu saya mereka yang pernah belajar di Hadhramaut, memang rata rata pola pengajarannya lebih menekankan akhak yang luhur, karena memang rata-rata ajaran di Hadhramaut itu banyak yang menerapkan ajaran sufi atau Tassawuf yang mengedepankan akhlak. Tidak heran orang-orang yang pernah belajar di Hadhramaut rata-rata ceramahnya teduh, santun dan cerdas, dan ini terbukti, saya banyak memperhatikan dari mereka yang lulusan Rubath Darul Mustofa dan juga Rubath dari Habib Salim Asy-Sathiry rata-rata ceramahnya banyak diisi dengan ilmu dan akhlak, banyak dari mereka menghindari caci maki, apalagi ujub terhadap nasab, mereka lebih banyak berbicara santun namun cerdas dan ini sesuai betul dengan ajaran Walisongo yang ketika berdakwah lebih mengedepankan akhlak. Jadi kalau ada lulusan Hadhramaut apalagi belajarnya dengan para Ahlul Bait keturunan Imam Ahmad Al Muhajir, ajarannya tiba-tiba radikal dan akidahnya tidak sesuai dengan cita-cita luhur dari Imam Ahmad Al Muhajir, maka berarti ia telah salah kaprah dalam memahami tujuan Imam Ahmad berhijrah ke negeri Hadhramaut ini.
Menurut Faris Khoirul Anam dalam bukunya Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa-Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia, halaman 126 bahwa hingga saat ini umat Islam di Hadhramaut sebagian besar bermazhab Syafi’i sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat, Malabar)< Malaysia dan Indonesia. Kesamaan dalam pengamalan Mazhab Syafi’i lebih bercorak Tassawuf dan mengutamakan Ahlul Bait seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, Membaca Sholawat Nabi, membaca Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnnya yang hanya terdapat Di Hadhramaut Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanau, Malaysia, dan Indonesia. Faris menambahkan jika isi ajaran islam yang berasal dari Hadhramaut isinya banyak memasukan pendapat-pendapat baik kaum fuqaha (yuris atau ahli fiqih) maupun kaum sufi. Hadhramaut adalah Sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqih Syafi’i dengan pengamalan Tassawuf dan pengutamaan Ahlul Bait. Oleh karenanya bagaimana mungkin mereka yang mengaku keturunan Imam Ahmad Al Muhajir tiba-tiba ajarannya jadi radikal, penuh caci maki, senang menghina baik itu untuk urusan nasab maupun untuk urusan yang lain, dan juga tidak sesuai dengan akidah dan cita cita Imam Ahmad Al Muhajir sendiri. Secara garis besar menurut Menurut Muhammad Rafiq Al Kaff pada Manaqib Al faqih Muqaddam halaman xxiii romawi bahwa Thariqah Ba’alawy yang bersumber dari Imam Ahmad Al Muhajir adalah :
Menjaga waktu-waktu yang diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan diri kepadaNya.
Selalu terikat dan hadir dalam majelis majelis ilmu dan majelis majelis yang bersifat mengingat diri kepada Allah
Berakhlak dengan adab-adab yang baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan meninggalkan semua atribut kecuali atribut kebaikan
Membiasakan diri membaca zikir terutama zikir-zikir Nabawiyah sesuai dengan batas kemampuannya, seperti amalan zikir yang disusun oleh Al habib Abdullah Al Haddad
Ziarah kepada ulama dan aulia baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, selalu ingin bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh zikir khususnya yang mengandung unsur mengingat diri kepada Allah, dan menghadirinya dengan penuh baik sangka, dengan syarat perkumpulan perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan mungkar dari agama
Hadhramaut memang sebuah negara yang memiliki arti penting bagi bangsa ini, bicara Hadhramaut, bukan saja bicara tentang kedatangan gelombang imigran Hadhramaut pertengahan atau akhir abad 19 Masehi saja. Memang pada pertengahan dan akhir abad 19 ini gelombang kedatangan imigran Hadhramaut betul-betul dilakukan dengan besar besaran, ini menurut saya wajar, karena semenjak dibukanya Terusan Suez laju transportasi lebih cepat dan lebih baik, jarak tempuh makin dekat dan lebih mudah, disamping itu kehidupan Hadhramaut saat itu kurang menguntungkan dari sisi ekonomi dan politik, sehingga banyak penduduk Hadhramaut tertarik untuk menjajal peruntungan di negara negara lain termasuk Indonesia. Sehingga tidak heran pada masa ini, gelombang imigran Hadramaut yang didominasi oleh golongan sayyid dan juga sebagian non sayyid terus berdatangan dalam jumlah yang massal, sehingga mengkhawatirkan fihak penjajah belanda akan banyaknya mereka yang datang ini. Apalagi kedatangan mereka ini juga dijamin oleh saudara saudaranya yang lebih dulu tiba dinegara ini.
Begitu khawatirnya Belanda akan keberadaan para imigran Hadhramaut ini maka Belanda menugaskan salah seorang ilmuwannya untuk meneliti keberadaan dari para Imigran Hadhramaut ini baik mereka yang golongan Alawiyyin maupun yang non Alawiyyin. Ilmuwan tersebut bernama Van Den Berg. Van Den Berg atau lengkapnya L.W.C VAN DEN BERG yang lahir di kota Haarlem, pada tanggal 10 Oktober 1845, merupakan ilmuwan lulusan Fakultas Hukum Leiden Belanda dan berhasil mencapai gelar Doktor dalam usia 23 tahun. Van Den Berg adalah ilmuwan yang ditugaskan belanda untuk meneliti imigran Hadhramaut. Dia mempunyai kemampuan bahasa arab dan ibrani yang cukup baik, namun demikian dia adalah satu orientalis yang sezaman dengan Snouck Hurgronje dan Pijper yang merupakan pencetus dan pelopor teori yang mengatakan “ISLAM DATANG DARI GUJARAT DAN BERASAL DARI PARA PEDAGANG”. Dalam bukunya yang berjudul Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara halaman xvi - xvii romawi, Van Den Berg menjelaskan disitu bahwa ia telah melakukan penelitian dari tahun 1884 s/d 1886 Masehi. Dalam beberapa LAPORAN RAHASIA ini yang terdiri dari 20 HALAMAN yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu tertanggal 28 Februari 1886, Berg memberikan beberapa gambaran dan pendapat serta saran tentang masyarakat Hadhramaut yang ada di Nusantara ini, diantaranya adalah :
Orang Arab pada umumnya taat dalam menjalankan ibadah agamanya, tapi tidak menyebarkan agamanya dengan cara paksa atau fanatik.
Umumnya mereka orang Arab tidak cenderung ke arah tassawuf, tassawuf justru sangat laku dikalangan pribumi.
Hubungan antara orang arab dengan para penghulu dan kyai sering tidak begitu baik, sehingga pengaruh mereka dikalangan itu juga tidak begitu besar.
Orang arab yang terlibat pemberontakan tidak begitu banyak, yang terlibat pemberontakan bukanlah murni keturunan Hadhramaut.
Pemerintah sebaiknya memilih pemimpin arab dari pendatang baru (maksudnya imigran Hadramaut) daripada keturunan Arab yang sudah menjadi pribumi dan kalau bisa dari kalangan sayyid.
Mengambil pemimpin kelompok arab yang masih mempertahankan pakaian dan adat arab.
Mengadakan Konsultasi dengan kelompok arab sebelum dipilih kepala kelompok arab tersebut.
Untuk berhati hati kepada tingkat moral dan akhlak para pembawa berita (mata-mata) belanda, karena dari mata-mata inilah sering timbul berita yang salah tentang image orang arab yang negative, padahal tidak semua orang imagenya buruk.
Van Den Berg dalam penelitiannya tersebut memang memberikan informasi yang cukup mengejutkan dan berbeda dari apa yang diharapkan pemerintah belanda, penelitian Berg ini memang berdasarkan apa yang dia teliti langsung dilapangan, sampel sampel yang dia lakukan cukup banyak, bahkan berg harus keliling Jawa untuk mencari responden dari kalangan Arab, waktu dua tahun penelitian sepertinya memang waktu yang cukup lumayan dalam melakukan sebuah penelitian. Laporan yang berbeda dan cara pandang belanda terhadap orang Arab ini akhirnya banyak mengundang pro dan kontra terutama pada pemerintahan belanda sendiri yang cenderung sudah steorotif baik kepada pribumi jajahan mereka maupun bangsa arab. Terkesan bila Berg ingin “membela” keberadaan masyarakat imigran Hadhramaut itu. Bila peneliti lain sudah didasari ISLAMOFOBI terutama jika dihubungkan dengan komunitas arab, namun Berg justru tidak terjebak dengan sikap itu, mungkin karena Berg menguasai bahasa arab dan bahasa ibrani yang baik dan dia berasal dari fakultas hukum sehingga sikap yang muncul lebih “tertata” dan penuh kehati hatian. Seorang peneliti biasanya bila didasari sikap jujur dalam dunia intelektualitasnya, biasanya pendapatnya cenderung lain dari sikap intelektual lainnya. Sikapnya yang cenderung “nekat” dan berbeda dari kebiasaan pakem pemikiran kaum penjajah, berakibat diserangnya Berg oleh berbagai kalangan, bahkan laporannya sempat disimpan didalam laci karena dianggap berbahaya, akhirnya tidak lama dari laporan yang dia berikan, Berg diserang secara tajam oleh Snouck Hurgronje (ilmuwan licik yang merusak sejarah Islam Nusantara), tidak itu saja, Berg juga dihajar oleh K.F. Holle yang juga peneliti belanda. Serangan-serangan ini, terutama Snouck sempat membuat jengkel Berg, sehingga suatu saat dalam sebuah tulisan artikel berjudul “Zelfverdediging” yang ditulisnya di Jakarta pada bulan Juni tahun 1884, Berg menuliskan jika Snouck adalah orang yang sombong dan penuh dengan kesalahanfahaman dalam membaca, mensitir dan menghina tiap orang dengan pendapatnya. Kelihatan sekali Berg kesal dengan Snouck padahal kedua duanya adalah ilmuwan ilmuwan terbaik belanda pada masa itu, khususnya yang menyangkut kajian keislaman. Namun betapapun rekomendasi ini telah diberikan Berg kepada pemerintah Hindia Belanda saat itu, namun kebijakan dan keputusan penjajah tetap tidak berubah. Image mereka terhadap imigran Hadhramaut tetap tidak berubah, sekalipun ada kerjasama tetap saja mereka tetap memandang curiga kepada orang-orang keturunan Arab ini.
Laporan penelitian VAN DEN BERG ini pada akhirnya bahkan dikemudian hari diterjemahkan dan dibukukan kedalam Bahasa Perancis, sebuah hal yang sangat cukup aneh dimata tokoh politik keturunan Arab yaitu Mr. Hamid Al Qadri. Menurut Mr. Hamid Al Qadri dalam bukunya yang berjudul Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab Di Indonesia, halaman 26 – 27. Al Qadri betul-betul merasa aneh terhadap penterjemahan hasil laporan Van Den Berg kedalam bahasa perancis, karena setahu dia tidak terdapat jajahan Perancis yang ada orang Arabnya dari Hadhramaut, lantas kenapa bisa diterjemahkan kedalam bahasa Perancis ini, sedangkan buku hasil penelitian Berg itu mengenai orang Arab Hadhramaut dan Keturunan mereka yang ada di Indonesia, menurut Al Qadri, terkesan jika hasil penelitian ini hendak disembunyikan dari Indonesia dan keturunan Arab.
Penelitian Berg memang sebuah hal yang menarik, karena dia berasal dari bagian penjajah, tidak bisa dipungkiri jika hasil penelitian ini merupakan hal yang langka karena Berg adalah bagian penjajah, apalagi penelitian ini adalah berdasarkan perintah Gubernur Hindia Belanda saat itu. Namun demikian kita juga kritis terhadap hal ini, sekalipun Hasil Laporan itu kelihatan “menguntungkan” & “menggemberikan” keturunan arab Hadhramaut, laporan yang Berg berikan itu tetap saja nuansa politiknya cukup kental. Namun demikian saya juga tetap menghormati apa yang telah dilakukan oleh Berg pada masa itu, sekalipun itu ada tujuan politisnya.
Kedatangan Imigran Hadhramaut pada pertengahan dan akhir abad ke 19 menyebabkan Indonesia mempunyai “warna” dalam budaya, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan juga sektor sektor kehidupan lain, sehingga memasuki awal abad ke 20 dianggap sebagai kebangkitan kaum Hadhrami (julukan untuk para imigran dari Hadhramaut). Natalie Mobini Kesheh didalam bukunya yang berjudul Hadrami Awakening (Kebangkitan Hadrami Di Indonesia) pada halaman 37 menyebut bahwa awal abad 20 disebut sebagai Nahdah Al Hadhramiyyah atau kebangkitan kaum Hadhrami. Selama dua dekade pertama awal abad dua puluh ini menurut Kesheh, orang orang Hadhrami datang dengan menunjukkan dirinya sebagai orang orang dari satu negeri, yaitu Hadramaut, dan merasakan bahwa mereka memiliki berbagai kesetiaan pada negeri itu. Hadhramaut dianggap sebagai tanah air tercinta dan cinta tanah air merupakan sebagai tugas dari setiap putranya.
Sepintas ketika saya membaca pernyataan dari Natalie Mobini Kesheh, saya sempat merenung..apa iya seperti itu?. Namun ketika saya mempelajari karakter masyarakat yang berhijrah dari satu tempat ketempat lain, apalagi bila itu dilakukan dalam jumlah besar, saya jadi mengamini pendapat Natalie Kesheh ini. Coba kita lihat kebiasaan masyarakat imigran yang berkumpul dan tinggal pada satu wilayah tertentu, biasanya kebiasaan daerah asalnya selalu dipertahankan, terlepas itu sesuai apa tidak dengan kondisi yang ada. Jika mereka sudah kumpul dengan komunitasnya maka akan muncullah sikapnya yang berasal dari asal usulnya, mungkin sikap ini tidak salah jika itu hanya berlangsung 5 atau 10 tahun saja, namun jika itu berlangsung dalam jangka panjang bahkan sudah melewati angka 50 tahun, ini yang menurut saya patut dipertanyakan, masalahnya, apakah budaya yang mereka bawa itu bisa sefaham dengan budaya setempat, apakah mereka yang berkumpul dalam lokasi yang sama itu bisa melebur atau berasimilasi dengan kondisi setempat? Tidak jarang gara gara sikap ini sering timbul konflik sosial dan konflik budaya yang berakibatnya muncul kekerasan fisik maupun non fisik. Lihat saja diberbagai daerah kita dan juga mereka yang ada dinegara negara lain, apalagi jika mereka itu minoritas.
Perbedaan kehidupan memang satu anugrah, namun jika itu disikapi secara berlebihan, itu adalah menurut saya sikap yang tidak bijak dalam membina hubungan antara pribumi dan pendatang. Jalan keluar untuk memecahkan itu adalah dengan mengedepankan nilai nilai islami yang mengedepankan akhlak dan menghilangkan sikap ashobiyah pada budaya, seperti misalnya budaya arab mereka yang mungkin tidak sesuai dengan kultur bangsa ini. Apalagi penduduk Hadhramaut terutama mereka yang nilai nilai islamnya kuat sejak dulu orang-orangnya terkenal lemah lembut dan bisa berasmilasi dengan suku suku yang lain. Jadi kalau ada orang keturunan Hadhramaut sikapnya berbeda dengan kultur budaya Indonesia, terutama sikap ashobiyah/membangggakan diri seperti membangga banggakan nasab dan famnya, ini sangat aneh, berarti dia tidak belajar sejarah dan tidak pernah mendengar DOA NABI MUHAMMAD yang pernah mendoakan Orang Yaman karena sikap lemah lembut mereka. Mungkin untuk budaya yang dirasa baik, terutama pada budaya asal mereka, bisa diselaraskan dengan budaya Indonesia. Dan sudah tentu dalam aturan main sebuah negara, yang menyesuaikan budaya tentu yang datang, kalau ada budaya masyarakat setempat yang tidak baik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai islami, maka peran ulama dan cendikiawan muslimlah yang berperan untuk merubahnya secara bertahap, santun, lemah lembut dan cerdas.
Bicara Hadhramaut secara panjang lebar, terutama hubungannya dengan Nusantara, ternyata kedatangan mereka itu jauh lebih awal daripada imigran imingran Hadhramaut pertengahan dan akhir abad 19. Kedatangan orang-orang Hadhramaut yang didominasi oleh Kaum Alawiyyin yang merupakan Sayyid bahkan jauh lebih awal, bahkan Dr. Muhammad Hasan Al Idrus, salah seorang Pengajar Sejarah Uni Emirat Arab didalam bukunya Penyebaran Islam Di Asia Tenggara hal 57 mengatakan : “Seandainya hal seperti ini (maksudnya sejarah peran Alawiyyin) kita akan melihat kesalahan para sejarawan eropa dalam menerangkan orang pertama yang masuk kenegeri Jawa dan mengislamkan penduduknya”. Dr.Muhammad Hasan Al Idrus seolah ingin menegaskan kalau selama ini banyak Sejarawan eropa yang sering salah kaprah dalam menginterpretasikan tentang kronologis kedatangan para penyebar Islam. Peran keluarga Alawiyyin yang jarang disebut sejarawan dari eropa membuat beliau akhirnya memunculkan pernyataan itu. Beliau juga menambahkan dalam penutupnya, bahwa Islam yang tersebar Di Asia Tenggara khususnya Indonesia ini tersebar berkat pada da’i pertama keturunan Hadhramaut. Cara mereka dalam berdakwah menyebarkan Islam mempunyai pengaruh didalam jiwa pada penduduknya, sehingga tidak tersisa agama Hindhu dan Budha dikepulauan Indonesia kecuali sedikit saja, sebagian besar terdapat di Bali. Pendapat dari Muhammad Hasan ini bahkan selaras dengan pendapat Novel Al Idrus dalam bukunya Tarekat Bani Alawy halaman 34, dimana Novel mengutif dari Ensiklopedia Islam yang menyebutkan bahwa orang Hadhramaut merupakan penyebar Islam yang handal diberbagai belahan bumi.
Gerakan dakwah santun anak cucu Imam Ahmad Al Muhajir bahkan mengundang rasa ingin tahu dunia barat, banyak peneliti barat yang berdatangan ke Hadhramaut untuk mempelajari kehidupan mereka yang telah mampu mengislamkan Asia termasuk Indonesia ini, demikian menurut Novel Al Idrus.
Siapa para da’i yang dimaksud oleh Muhammad Hasan Al Idrus tersebut? Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah keluarga besar Walisongo atau Keluarga Besar Bani Abdul Malik Azmatkhan Dari India. Dan sejarah para da’i yang tergabung dalam walisongo terdapat pada halaman 63 /sd 77 pada buku beliau. Muhammad Al Baqir bahkan dalam bukunya yang berjudul Thariqah Menuju Kebahagiaan (Salah satu terjemahan dari Kitab Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad yang berjudul Risalatul Muawwanah) dalam Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin halaman 51 dimana Al Baqir menegaskan bahwa INDIA adalah merupakan jalur transit yang diperkenalkan Kaum Alawiyyin. Adapun urutan rute dalam penyiaran Agama Islam itu adalah :
Hijaz → Yaman → India → China → Kampuchea → Fhilipina → Indonesia
Kaum Alawiyyin menurut Al Baqir dalam halaman yang sama sangat berperan dalam mendirikan, mengembangkan dan mempertahankan kerajaan kerajaan Islam pertama Di Indonesia, setelah itu sampai permulaan abad XX ada lagi yang datang langsung dari Hadhramaut ataupun yang lahir dan berasimilasi dengan pribumi Indonesia.
Adanya jalur India ini membuktikan jika India memiliki arti penting dalam pergerakan dakwah keluarga besar Alawiyyin, dan salah satu yang melihat potensi besar dalam rangka menyebarkan agama Islam itu adalah Sayyid Abdul Malik. Tidak mungkin tempat ini didatangi jika tidak memiliki potensi, terutama yang berkaitan dengan Islam. Diperlukan sebuah persiapan yang matang baik fisik dan mental dan juga ilmu untuk datang kenegeri yang identik dengan negeri dewa ini. Selain itu, didatanginya India, karena India memang pada masa itu menjadi salah satu pusat perdagangan dan diplomasi berbagai negara dengan bandar atau pelabuhan pelabuhan lautnya seperti yang terdapat pada Gujarat. Sayyid Abdul Malik sendiri ketika hijrah dari Hadhramaut ke India (Naserabad) seolah melakukan De Javu kembali terhadap Datuknya Imam Ahmad Al Muhajir ketika melakukan hijrah dari Basrah ke Hadhramaut Yaman.
Walisongo yang Famnya Azmatkhan adalah memang keturunan dari India. Adanya keturunan India ini memang sering menyebabkan beberapa orang bingung ketika ingin memahami asal usul mereka ini, dikira bahwa walisongo murni keturunan India. Banyak yang sering keliru, jika sebenarnya leluhur asli dari walisongo justru asalnya dari Hadhramaut, negeri India itu sebenarnya adalah salah satu negeri tempat berhijrahnya kaum Alawiyyin yang berasal dari Hadhramaut yang salah satunya adalah Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang merupakan leluhurnya walisongo. Kesalahfahaman akan asal usul walisongo ini menyebabkan beberapa orang berani mengatakan jika walisongo itu tidak punya keturunan, dengan kata lain, bahwa walisongo atau azmatkhan itu keturunannya hanya ada di India saja. Jadi kalau ada orang saat ini mengaku keturunan walisongo itu aneh, menurut mereka, karena Azmatkhan itu hanya ada di India. Pernyataan ini seolah menunjukkan jika mereka yang mengatakan bahwa Azmatkhan hanya ada India, berarti “pikirannya” kosong akan pengetahuan sejarah keluarga besar Alawiyyin. India itu adalah salah satu Transit dakwah keluarga besar Alawiyyin yang ada di Hadhramaut. Keluarga besar Alawiyyin itu tidak hanya Azmatkhan, Fam-fam lain juga banyak terdapat disana, Fam Al Idrus dan Basyaiban, Bafaqih, Al Haddad, Jamalulail, Syekh Abu Bakar, bin Syahab serta fam-fam yang lain, ini membuktikan jika India penyebaran Ahlul Baitnya cukup banyak.
Sayyid Alwi bin Thohir Al Haddad dalam bukunya yang terkenal dengan judul Sejarah Masuknya Islam Timur Jauh, dimana buku ini juga telah Diberi Catatan serta Ditahqiq oleh Sayyid Muhammad Dhiya Shahab yang diterbitkan oleh Lentera Jakarta Tahun 2001 halaman 163-164 bahkan memberikan laporan bahwa Hijrahnya keluarga besar Alawiyyin khususnya era tahun tahun 1930 an banyak penyebabnya, diantaranya karena unsur perdagangan, kelaparan, dan fitnah. Bahkan Al Haddad memperinci secara detail jumlah mereka yang hijrah misalnya :
Indonesia : 71.335 orang
Malaysia & Singapura : 3.000 0rang
India : 10.000 orang
Afrika Timur : 12.000 orang
Somalia & Ethiopia : 2.000 orang
Sudan : 750 orang
Mesir : 18 orang
Jumlah Keseluruhan mereka yang hijrah ini adalah 99.103 orang. Sebuah jumlah yang cukup besar dan spektakuler untuk ukuran hijrah. Saya sendiri tidak bisa membayangkan betapa penuhnya kapal laut saat itu, karena mereka ini hijrah dalam bentuk rombongan besar, tidak terbayangkan betapa sesaknya kapal laut yang mereka tumpangi untuk menuju tempat tempat tersebut, apalagi Indonesia yang jaraknya cukup jauh dari Hadhramaut. Mungkin perjalanan mereka bisa tempuh berbulan-bulan, belum lagi jika kapal laut itu transit keberbagai pelabuhan disetiap negara. Sebuah perjuangan hijrah yang menurut saya penuh dengan resiko, karena saat itu Transportasi masih belum secanggih sekarang, perjalanan lebih banyak ditempuh dengan kapal laut dan menyebrangi atau mengarungi beberapa samudra yang ganas. Namun memang dasarnya bangsa Hadhramaut dan juga Arab memang terkenal akan jiwa petualang dilautnya, sehingga tidak heran walaupun jarak tempuhnya jauh, tetap saja imigran Hadhramaut terus berdatangan ketempat tempat yang mereka akan hijrahi.
Ditempat hijrah ini, mereka jadi terselamatkan dari kehidupan yang susah dan dari keadaan yang tidak aman. Ditempat yang baru ini mereka mendapati kehidupan yang tentram dan menyenangkan, tempat yang baik, dan pekerjaan yang teratur dibawah naungan undang undang yang pasti, mereka saling tolong menolong dalam perdagangan, saling bertoleransi dan saling menanggung kecuali pada beberapa masa. Ditempat tempat yang baru ini seolah olah mereka mendapatkan “surganya” dalam berkehidupan dibandingkan dengan di Hadhramaut terutama pada sisi perekonomian dan keamanan.
Oleh karena adanya kondisi semacam ini, tidak heran keluarga yang pada mulanya berada di Hadhramaut menjadi terputus dengan tanah airnya, sehingga di Hadhramaut tidak terdapat lagi keluarga-keluarga seperti Keluarga Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih (datuknya walisongo), Keluarga Al Qadri, Keluarga Bafaraj, Keluarga Khaneman. Hijrah ini baru berhenti setelah Perang Dunia Ke II, kemudian hijrah mengarah ke Jazirah Arab. Memang perpindahan atau hijrah besar-besaran ini telah menyebabkan daerah Hadhramaut kehilangan banyak penduduknya, namun itu tidak mengurangi kemuliaan dan kwalitas daerah ini sebagai salah satu pusat peradaban Islam di dunia. Sekalipun banyak Keluarga Besar telah berhijrah berbagai pelosok dunia termasuk Keluarga besar Azmatkhan, Hadhramaut tetap memiliki arti dan makna penting bagi keturunan Imam Ahmad Al Muhajir. Mudah mudahan suatu saat sayapun bisa menapak tilasi daerah yang legendaris ini.
Bagaimana dengan Kelanjutan Keluarga Besar Abdul Malik Azmatkahn paska mereka berada Di India?, ternyata hubungan ini tetap tidak bisa dilepaskan, karena secara nasab dan sejarah Sayyid Abdul Malik memang asli keturunan Hadhramaut namun kemudian menikah dan wafat di negara India khususnya daerah Naserabad, jadi bagaimana mungkin Sayyid Abdul Malik dan Keturunannya bisa melupakan asal usul mereka yang salah satunya Hadhramaut? Hubungan antara Walisongo dan Hadhramaut sendiri seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bicara Walisongo ya bicara Hadhramaut. Jangan karena Sayyid Abdul Malik Azmatkhan berasal dari India, asal usulnya yang dari Hadhramaut mau dipotong dalam sejarah Alawiyyin. Saya bahkan sempat “diprotes” oleh salah seorang saudara saya dari Keluarga Besar Guru Syariun Azmatkhan, dia “protes” kepada saya, karena suatu saat menuliskan asal usul Sayyid Abdul Malik berasal dari India. Mendapat “serangan” seperti itu, saya jadi tersenyum, Iya juga menurut saya, karena memang pada kenyataannya Sayyid Abdul Malik itu Lahir dan Besar Di Hadramaut Yaman, kemudian ketika sudah dewasa dan matang ilmunya beliau bersama keluarga Alawiyyin lainnya berhijrah ke negeri India tepatnya di Kota Naserabad India (bukan gujarat) untuk melakukan dakwah Islamiah. Sayyid Abdul Malik ini mengikuti jejak Datuknya yaitu Imam Ahmad Al Muhajir kesebuah daerah yang jauh dari negerinya, sehingga tidak heran dalam keluarga besar Azmatkhan, Sayyid Abdul Malik ini dijuluki Al Muhajir ke dua. Dan lagi lagi Sayyid Abdul Malik memakai cara berdakwanhnya Imam Ahmad Al Muhajir yaitu dengan pola dakwah yang santun, lemah lembut dan cerdas, Sayyid Abdul Malik seolah olah mengikuti jejak Imam Ahmad Al Muhajir karena berhasil diterima dengan baik oleh berbagai kalangan yang ada di Kesultanan Naserabad India. Dikarenakan beliau seorang Ahlul Bait dan juga mempunyai posisi terhormat dan bangsawan Kesultanan Naserabad India, maka kelak dikemudian hari beliau mendapatkan gelar atau FAM AZMATKHAN/AL AZHAMAT KHAN/AL AZHOMATU KHON yang artinya dari Keturunan orang mulia/ SAYYID yang merupakan Keluarga dari para Bangsawan (KHAN). Sayyid Abdul Malik ini bahkan menurut Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyur dalam bukunya yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang berjudul Biografi Ulama Hadramaut, pada halaman 57, bahwa Sayyid Abdul Malik telah menikah di India dan hidup dan menikah kemudian memiliki keturunan, dan riwayatnya hidup cukup bagus. Artinya track record beliau cukup baik dan terkenal dikalangan Ahlul Bait dari Kalangan Alawiyyin.
Memahami walisongo itu harus utuh, bicara Alawiyyin adalah bicara Hijrah, kenapa saya berani mengatakan hijrah, karena dalam sejarah perkembangan ahlul bait, dari dulu sampai sekarang rata-rata keluarga besar Ahlul Bait itu identik dengan kata kata HIJRAH!. Jangan membatasi Alawiyyin itu hanya pada satu wilayah misalnya Hadhramaut saja. Perlu diketahui Hadhramaut itu adalah salah satu tempat berhijrahnya Imam Ahmad Al Muhajir. Imam Ahmad Al Muhajir sendiri justru aslinya berasal dari Basrah Irak dan perlu diketahui bahwa beliau ini memiliki saudara sebanyak 29 orang, Ayah beliau yaitu Imam Isa Arrumi yang perawakannya mirip dengan orang eropa sehingga dinamakan Arrumi memiliki anak 30 orang termasuk Imam Ahmad Al Muhajir. Jadi Imam Ahmad ini hanya merupakan satu dari 30 anak Imam Isa Arrumi. Jadi bisa dibayangkan jika berapa banyak keturunan keturunan Imam Isa Arrumi? Dari Imam Ahmad Al Muhajir sama sudah ratusan ribu bahkan mungkin sudah jutaan, apalagi saudara saudara beliau yang lain? Hanya karena kondisi kota Basrah saat itu tidak kondusif dari segi akidah dan keamanan saja, menyebabkan beliau hijrah untuk mencari kehidupan yang lebih baik terutama dalam dakwah islamiah. Islam tidak mengenal hanya pada wilayah tertentu, kenyataannya setelah Imam Ahmad Al Muhajir wafat, keturunan beliau banyak yang menyebar keberbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Walaupun demikian hubungan sejarah Hadhramaut dengan negara negara lain tetap harus diingat, karena negara inilah yang merupakan asal para Kaum Hadhrami termasuk asal leluhur walisongo. Walisongo ini bahkan dalam bukunya Muhammad Hasan Al Idrus, dikatakan sebagai sebuah hijrah yang besar, pada halaman 23, beliau mengatakan bahwa hijrah ke Asia Tenggara termasuk Jawa adalah Hijrah yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran Islam. Hijrah ini dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama melalui India, kemudian tahap kedua dari India Ke Asia Tenggara atau langsung dari Hadramaut Ke Asia tenggara melalui pesisir India.
Keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ini yang bernaung dalam Majelis Dakwah Walisongo ini berhasil menyebarkan Islam kepelosok Nusantara, medan dakwah mereka tidak hanya Pulau jawa, pulau pulau lain juga mereka dakwahi, sehingga akhirnya Islam bisa 90 % ada di negara kita ini. Prof. KH Abdullah bin Nuh yang merupakan seorang peneliti Ahlul Bait dan juga Ulama Besar Dunia dan merupakan Kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Dalam Seminar Masuk dan Berkembangnya Di Indonesia Tanggal 17 sd/ 20 Maret 1963 Di Medan juga menguatkan pendapat ini dengan mengatakan “Disini terdapat keluarga Syarif yang telah melebur dalam masyarakat Indonesia, yaitu Keluarga Abdul Malik yang di India dan Pakistan dikenal dengan nama Al Azhamat Khan, kita telah mengetahui bahwa Syarif Abdul Malik ini adalah keturunan Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Jakfar Asshodiq.
Beberapa catatan sejarah lain tentang Kedatangan Kaum Alawiyyin di Indonesia dan hubungannya dengan Hadhramaut juga terdapat dalam bukunya HMH Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiah, terutama pada halaman 772. Al-Hamid sendiri dalan bukunya mengutif pernyataan itu dari tulisan Haji ‘Ali bin Khairudin seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa, didalam buku Haji ‘Ali Khairudin yang berjudul Keterangan-keterangan Kedatangan Bangso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut, halaman 113 mengatakan bahwa kedatangan orang orang Arab dipulau ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke 7 Hijriah. Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang Waliyullah, mereka adalah :
Sayyid Jamaludin Agung (Maksudnya Jamaludin Husein Azmatkhan/Syekh Jumadhil Kubro)
Sayyid Qomaruddin Azmatkhan
Sayyid Tsanauddin Azmatkhan
Sayyid Majduddin Azmatkhan
Sayyid Muhyiddin Azmatkhan
Sayyid Zaenul Alam Azmatkhan
Sayyid Nurul Alam Azmatkhan
Sayyid Alwi Azmatkhan
Sayyid Fadhl Sunan Lembayung Azmatkhan
Mereka semua adalah keluarga besar Azmatkhan. Keterangan waliyullah yang disebut Al-Hamid ini cocok seperti apa yang tercatat dalam kitab NASAB ENSIKLOPEDIA NASAB AL HUSAINI SELURUH DUNIA, YANG DISUSUN OLEH SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN AL HUSAINI DAN SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN AL HUSAINI, PENERBIT MADAWIS TAHUN 2013.
Dalam Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia yang disusun oleh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini, Penerbit Madawis tahun 2013 bahkan menulis secara lengkap nasab-nasab diatas, salah satunya misalnya Sayyid Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro (atau Jamaluddin Agung tersebut). Sayyid Husein Jamaluddin sendiri adalah leluhur yang utama dari keluarga besar Walisongo, Sayyid Husein Jamaluddin mengikuti jejak datuknya Imam Ahmad Al Muhajir dan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan berhijrah kenegeri negeri yang jauh dalam rangka menyebarkan cahaya Islam. Beliau adalah anak tertua dari Seorang Sultan di negara bagian India (wilayah Agra) yang bernama Sultan Ahmad Syah Jalaludin. Adapun rincian nasab Sayyid Husein Jamaluddin sebagai berikut :
Muhammad Rasulullah SAW
Fatimah Az-Zahra/Al Batul
Imam Husein RA
Ali Zaenal Abidin
Muhammad Al Baqir
Ja’far As-shodiq
Ali Al Uraidhi
Muhammad An-Naqib
Isa Ar-Rumi
Ahmad Al Muhajir
Ubaidhillah
Alwi Al Awal (asal mula nama Ba’alawy)
Muhammad Shohibus Souma’ah
Alwi Atsani
Ali Kholi’ Qosam
Muhammad Shohib Marbath
Alwi Ammul Faqih
Abdul Malik Azmatkhan
Abdullah Amir Khan
Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro 1→ Menurunkan Keluarga Besar Walisongo
Ada sedikit perbedaan penulisan dan susunan nama dari buku dari Haji Ali Khoirudin itu, namun demikian itu secara garis besar tidak merubah identitas mereka yang merupakan keluarga besar AZMATKHAN. Keluarga Besar Azmatkhan menurut HMH Al Hamid Al Husaini setelah dari India, mereka ternyata banyak yang mengembara, ada yang ke China, Kamboja, Siam (Thailand) dan adapula yang pergi ke Anam dan Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk didalam wilayah China. Mereka Hijrah meninggalkan negeri India untuk menghindari kesewenang wenangan dan kelaliman maharaja India pada waktu terjadi fitnah akhir abad ke 7 Hijriah.
Keberadaan Keluarga Besar Ahlul Bait diberbagai negara memang sebuah hal yang menakjubkan, termasuk keluarga besar Azmatkhan ini. Siapa sangka jika mereka keluarga besar Alawiyyin khususnya Azmatkhan telah berhasil melakukan Hijrah keberbagai negara jauh lebih awal dari “saudara mudanya” yaitu Imigran Hadhramaut awal abad XX. Bukanlah pekerjaan yang mudah untukt melakukan hijrah ketempat tempat yang jauh dan asing dari kehidupan awal mereka, hanya karena tekad dan semangat serta ketakwaan merekalah akhirnya mereka bisa tiba ditempat tempat hijrah tersebut. Dari Hadhramaut kemudian India, kemudian Asia Tenggara sampai kepada daerah pedalaman pedalaman yang ada Di Indonesia ini adalah merupakan diaspora yang cukup menakjubkan, tidak ada keluarga lain yang penyebaran nasanya melalui dakwah seperti keluarga besar Alawiyyin ini termasuk Azmatkhan. Kedatangan mereka yang jauh lebih awal dari generasi Alawiyyin awal abad XX cukup bisa menjadi pelajaran untuk generasi sekarang, merekapun mampu berasimilasi dengan penduduk pribumi setempat, ini membuktikan jika mereka adalah generasi-generasi Alawiyyin terbaik, karena telah mampu menjadikan Islam yang mayoritas di sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar dan tanpa melalui kekerasan serta tanpa harus menonjolkan nasab atau Fam yang mereka miliki. Mereka diterima diberbagai tempat. Di Hadhramaut mereka diterima dengan segala hormat, di India mereka disanjung di Indonesia mereka dihargai, itu karena dakwah mereka yang mengedepankan akhlak yang luhur yang telah diwariskan oleh kakek mereka Rasulullah SAW sampai kepada Imam Ahmad Al Muhajir.
Akhirnya saya ingin mengutif beberapa kalimat Indah yang ditulis salah seorang Ulama Besar yang saya kagumi yaitu Prof KH ABDULLAH BIN NUH dalam bukunya yang berjudul Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, Tahun 1986 halaman 72 tentang Ahlul Bait..
Mereka Keluarga suci dan mulia
Barangsiapa dengan Ikhlas mencintainya
Ia memperoleh pegangan yang sentosa
Untuk bekal kehidupan di Akhiratnya
Yang keluhuran perilakunya terkenal di dunia
Kebajikannya menjadi buah bibir dan cerita
Dan keagungannya diingat orang sepanjang masa
Hormat kepada ereka adalah kewajiban agama
Kecintaan kepada mereka wujud hidayat yang nyata
Mentaati mereka adalah curahan Cinta
Dan Kecintaan kepada mereka adalah takw
Wallahu A’lam Bisshowab........
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah bin Nuh, Seminar Masuk dan Berkembangnya Di Indonesia Tanggal 17 sd/ 20 Maret 1963 Di Medan, Sumatra Utara, Tahun 1963.
Abdullah bin Nuh, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, Penerbit Majelis Al Ihya, Bogor, Tahun 1986.
Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al Mahsyur, Biografi Ulama Hadramaut, Penerbit Ma’ruf, Jakarta, Tahun 2011.
Abdul Qodir Umar Mauladawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Penerbit Pustaka Basmah, Malang, Tahun 2012.
Ahmad Imron, Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali, Penerbit Cahaya Ilmu, Surabaya, Tahun?
Alwi bin Thahir Al Haddad Dengan Catatan & Tahqiq Sayyid Muhammad Dhia’ Shahab, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, Tahun 2001.
A. Madjid Hasan Bahafdullah, Dari Nabi Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut Di Indonesia Menelusuri Asal Usul Hadharim, Penebit Bania Publishing, Jakarta, Tahun 2010.
Faisal Khoirul Anam, Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa, Penerbit Darkah Media, Malang, Tahun 2010.
Hamid Al gadri, Politik Belanda Terhadap Islam Dan Keturunan Arab Di Indonesia, Penerbit CV Haji Masagung, Tahun 1988.
HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiah, Penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta, Tahun 2010.
Idrus Alwi Al Masyhur, Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, Penerbit Sara Publishing, Jakarta, Tahun 2002.
L.M,C Van Den Berg, Hadramaut Dan Koloni Arab Di Nusantara, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1989.
Muhammad Al Baqir, Thariqah Menuju Kebahagiaan-Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin, Penerbit Mizan, Bandung, Tahun 1989.
Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara-Asyraf Hadhramaut Dan Peranannya, Penerbit Lentera, Tahun 1996.
Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening-Kebangkitan Hadhrami Di Indonesia, Penerbit Akpar Media Era Sarana, Jakarta, Tahun 2007.
Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan Nan Lurus-Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, Penerbit Taman Ilmu, Surakarta, Tahun 2006.
Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh, Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia, Penerbit Madawis, Jakarta, Tahun 2013.
Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh, Ensiklopedia Nasab Al Hasani Seluruh Dunia, Penerbit Madawis, Jakarta, Tahun 2013.
Sayyid Muhammad Rafiq Al Kaff Gathmir, Manaqib Sayyidina Al-Ustadz Al-A’zham Al Faqih Al Muqaddam Muhammad Bin Ali RA, Penerbit Majelis Ta’lim Al Yusrain, Jakarta, Tahun 2003.