RISALAH AHLUSSUNNAH WAL
JAMA’AH KARYA HADHRATUS SYAIKH KH. M. HASYIM ASY’ARI (1287 H-1366 H)
رِسَالَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
( تَأْلِيْفُ
الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ
Daftar Isi:
1.
Muqaddimah
2.
Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah
3.
Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal
Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli
Bid’ah di Zaman ini
4.
Pasal Menjelaskan tentang Khitthah Ajaran Salaf Shaleh dan Menjelaskan
yang Dikehendaki “As-Sawadul A’dzam” di Era ini serta Menjelaskan Pentingnya
Berpegang Teguh pada Salah Satu Madzhab yang Empat
5.
Pasal Menjelaskan Wajibnya Taqlid bagi Orang yang Tidak Memiliki
Keahlian untuk Berijithad
6.
Pasal Menjelaskan Perpecahan Umat Nabi Muhammad Saw. Menjadi 73 Sekte
dan Penjelasan tentang Pokok-pokok Sekte yang Sesat dan Penjelasan Golongan
yang Selamat, Yakni Ahlussunnah wal Jama’ah
1.
Muqaddimah
بِسْمِ اللهِ
الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اَلْحَمْدُ للهِ
شُكْرًا عَلَى نَوَالِهِ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
وَﺁلِهِ, وَبَعْدُ, فَهَذَا كِتَابٌ أَوْدَعْتُ فِيْهِ شَيْئًا مِنْ حَدِيْثِ
الْمَوْتَى وَأَشْرَاطِ السَّاعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْكَلَامِ عَلَى بَيَانِ
السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ, وَشَيْئًا مِنَ الْأَحَادِيْثِ بِقَصْدِ النَّصِيْحَةِ,
وَالَى اللهِ الْكَرِيْمِ أَمُدُّ اَكُفَّ الْاِبْتِهَالِ, أَنْ يَنْفَعَ بِهِ
نَفْسِيْ وَأَمْثَالِيْ مِنَ الْجُهَّالِ, وَأَنْ يَجْعَلَ عَمَلِيْ خَالِصًا
لِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ, إِنَّهُ جَوَادٌ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ, وَهَذَا أَوَانُ
الشُّرُوْعِ فِي الْمَقْصُوْدِ, بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُوْدِ
.
Bismillahirrahmanirrahim. Segala puji
bagi Allah, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur atas segala anugerahNya. Rahmat ta’dzim dan salam mudah-mudahan terlimpahcurahkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw.
dan seluruh keluarga beliau.
Apa yang akan hadir dalam kitab ini,
saya tuturkan beberapa hal antara lain: Hadits-hadits tentang orang-orang yang
mati, tanda-tanda hari kiamat, penjelasan tentang sunnah dan bid’ah dan
beberapa hadits yang berisi nasehat-nasehat agama.
Kepada Allah, Dzat Yang Maha Mulia
kutengadahkan telapak tangan, kuberdoa dengan sepenuh hati, kumohonkan agar kitab ini memberikan manfaat
untuk diri kami dan orang-orang bodoh semisal kami. Mudah-mudahan Allah
menjadikan amal kami sebagai amal shalih Liwajhillahil Karim, karena Ia lah
Dzat Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dengan segala
pertolongan Allah Dzat yang disembah, penyusunan kitab ini dimulai.
2.
Pasal Menjelaskan Tentang Sunnah dan Bid’ah
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ
السُّنَّةِ وَالْبِدْعَةِ
اَلسُّنَّةُ
بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُو الْبَقَاءِ فِيْ كُلِّيَّتِهِ :
لُغَةً اَلطَّرِيْقَةُ وَلَوْ غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اِسْمٌ
لِلطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ
فِي الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ عُلِمَ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ
بَعْدِيْ. وَعُرْفًا مَا وَاظَبَ عَلَيْه مُقْتَدًى نَبِيًّا كَانَ اَوْ وَلِيًّا.
وَالسُّنِّيُّ مَنْسُوْبٌ اِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ لِلنِّسْبَةِ.
Lafadz as-Sunnah dengan dibaca dhammah
sin-nya dan diiringi dengan tasydid, sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Baqa’
dalam kitab Kulliyat-nya secara etimologi adalah thariqah (jalan), sekalipun
yang tidak diridhai.
Menurut terminologi syara’
as-Sunnah merupakan thariqah (jalan)
yang diridhai dalam menempuh agama sebagaimana yang telah ditempuh oleh
Rasulullah Saw. atau selain beliau, yakni mereka yang memiliki otoritas sebagai
panutan di dalam masalah agama seperti para sahabat Ra.
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi
Saw.: “Tetaplah kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnahnya
Khulafaur Rasyidin setelahku.”
Sedangkan menurut terminologi
‘urf adalah apa yang dipegangi secara
konsisten oleh tokoh yang menjadi panutan, apakah ia sebagai nabi ataupun wali.
Adapun istilah as-Sunni merupakan bentuk penisbatan dari lafadz as-Sunnah dengan membuang ta’ untuk penisbatan.
وَالْبِدْعَةُ كَمَا
قَالَ الشَّيْخُ زَرُوْقٌ فِيْ عُدَّةِ الْمُرِيْدِ : شَرْعًا إِحْدَاثُ اَمْرٍ
فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ اَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءٌ كَانَ
بِالصُّوْرَةِ اَوْ بِالْحَقِيْقَةِ. لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ اَمْرِنَا
هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :" وَكُلُّ مُحْدَثٍ بِدْعَةٌ
"
Bid’ah sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Zaruq di dalam kitab ‘Iddat al-Murid menurut terminologi syara’ adalah:
“Menciptakan hal perkara baru dalam agama seolah-olah ia merupakan bagian dari
urusan agama, padahal sebenarnya bukan, baik dalam tataran wacana, penggambaran
maupun dalam hakikatnya.”
Hal ini didasarkan pada sabda Nabi
Saw.: “Barangsiapa menciptakan perkara baru didalam urusanku, padahal bukan
merupakan bagian daripadanya, maka hal itu ditolak.”
Dan sabda Nabi Saw.: “Dan segala
bentuk perkara yang baru adalah bid’ah.”
وَقَدْ بَيَّنَ
الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْحَدِيْثَيْنِ
الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ
بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقِ الْإِحْدَاثِ, اِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ
الشَّرِيْعَةُ بِأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا اِلَيْهَا اَوْ بِفُرُوْعِهَا
فَيَكُوْنُ مَقِيْسًا عَلَيْهَا.
Para ulama rahimahullaah menjelaskan tentang esensi dari
makna dua hadits tersebut di atas dikembalikan kepada perubahan suatu hukum dengan mengukuhkan
sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan ibadah tetapi diyakini sebagai konsepsi
ibadah. Jadi bukanlah segala bentuk pembaharuan yang bersifat umum. Karena
kadang-kadang bisa jadi perkara baru itu berlandaskan dasar-dasar syari’ah
secara asal sehingga ia menjadi bagian dari syari’at itu sendiri, atau
berlandaskan furu’us syyari’ah sehingga
ia dapat dianalogikan kepada syari’at.
وَقَالَ
الْعَلَّامَةُ مُحَمَّدٌ وَلِيُّ الدِّيْنِ
اَلشِّبْثِيْرِيُّ فِيْ شَرْحِ الْأَرْبَعِيْنَ النَّوَوِيَّةِ عَلَى
قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى
مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ
Al-‘Allamah Muhammad Waliyuddin
asy-Syibtsiri dalam Syarh al-Arba’in an-Nawawiyyah memberikan komentar atas
sebuah hadits Nabi Saw.: “Barangsiapa membuat persoalan baru atau mengayomi
seseorang yang membuat pembaharuan, maka ditimpakan kepadanya laknat Allah.”
وَدَخَلَ فِي
الْحَدِيْثِ اَلْعُقُوْدُ الْفَاسِدَةُ, وَالْحُكْمُ مَعَ الْجَهْلِ وَالْجَوْرِ
وَنَحْوُ ذَلِكَ مِمَّا لَا يُوَافِقُ الشَّرْعَ. وَخَرَجَ عَنْهُ مَا لَا
يَخْرُجُ عَنْ دَلِيْلِ الشَّرْعِ كَالْمَسَائِلِ الْاِجْتِهَادِيَّةِ الَّتِيْ
لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اَدِلَّتِهَا رَابِطٌ اِلَّا ظَنُّ الْمُجْتَهِدِ
وَكِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْرِيْرِ الْمَذَاهِبِ وَكُتُبِ النَّحْوِ
وَالْحِسَابِ .
Masuk dalam kerangka interpretasi
hadits ini yaitu berbagai bentuk akad-akad
fasidah, menghukumi dengan kebodohan dan ketidakadilan, dan lain-lain
dari berbagai bentuk penyimpangan
terhadap ketentuan syara’.
Keluar dari bingkai pemahaman terhadap
hadits ini yakni segala hal yang tidak keluar dari dalil syara’ terutama yang
berkaitan dengan masalah-masalah ijtihadiyah dimana tidak terdapat korelasi
yang tegas antara masalah-masalah tersebut dengan dalil-dalilnya kecuali sebatas
persangkaan mujtahid. Dan seperti menulis Mushaf, mengintisarikan
pendapat-pendapat imam madzhab, menyusun kitab nahwu dan ilmu hisab.
وَلِذَا قَسَّمَ
ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ اَلْحَوَادِثَ اِلَى الْأَحْكَامِ الْخَمْسَةِ فَقَالَ : اَلْبِدْعَةُ فِعْلُ مَالَمْ
يُعْهَدْ فِيْ عَصْرِ رَسُوْلِ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاجِبَةً كَتَعَلُّمِ النَّحْوِ
وَغَرِيْبِ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِمَّا يُتَوَقَّفُ فَهْمُ الشَّرِيْعَةِ
عَلَيْهِ, وَمُحَرَّمَةً كَمَذْهَبِ الْقَدَرِيَّةِ وَالْجَبَرِيَّةِ وَالْمُجَسِّمَةِ,
وَمَنْدُوْبَةً كَإِحْدَاثِ الرُّبُطِ وَالْمَدَارِسِ وَكُلِّ إِحْسَانٍ لَمْ
يُعْهَدْ فِي الْعَصْرِ الْأَوَّلِ, وَمَكْرُوْهَةً كَزُخْرُفَةِ الْمَسَاجِدِ
وَتَزْوِيْقِ الْمَصَاحِفِ, وَمُبَاحَةً كَالْمُصَافَحَةِ عَقِبَ صَلَاةِ
الصُّبْحِ وَالْعَصْرِ وَالتَّوَسُّعِ فِي الْمَأْكَلِ وَالْمَشْرَبِ
وَالْمَلْبَسِ وَغَيْرِ ذَلِكَ .
Karena itulah Imam Ibnu Abdis Salam
membagi perkara-perkara yang baru itu ke dalam hukum-hukum yang lima. Beliau
berkata:
“Bid’ah adalah mengerjakan sesuatu
yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa Rasulullah Saw. (Bid’ah tersebut
adakalanya):
1.
Bid’ah Wajibah: seperti
mempelajari ilmu nahwu dan mempelajari lafadz-lafadz yang gharib baik
yang terdapat di dalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dimana pemahaman terhadap
syari’ah menjadi tertangguhkan pada sejauhmana seseorang dapat memahami
maknanya.
2.
Bid’ah Muharramah: seperti aliran Qadariyah, Jabariyah dan Mujassimah.
3.
Bid’ah Mandubah: seperti memperbaharui sistem pendidikan pondok
pesantren dan madrasah-madrasah, juga segala bentuk kebaikan yang tidak dikenal
pada zaman generasi pertama Islam.
4.
Bid’ah Makruhah: seperti berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi
mushaf dan lain sebagainya.
5.
Bid’ah Mubahah: seperti bersalaman selesai shalat Shubuh dan Ashar,
membuat lebih dalam makanan dan minuman,
pakaian dan lain sebagainya.”
فَإِذَا عَرَفْتَ
مَا ذُكِرَ تَعْلَمُ اَنَّ مَا قِيْلَ : إِنَّهُ بِدْعَةٌ, كَاتِّخَاذِ
السُّبْحَةِ, وَالتَّلَفُّظِ بِالنِّيَّةِ, وَالتَّهْلِيْلِ عِنْدَ التَّصَدُّقِ
عَنِ الْمَيِّتِ مَعَ عَدَمِ الْمَانِعِ عَنْهُ, وَزِيَارَةِ الْقُبُوْرِ وَنَحْوِ
ذَلِكَ لَيْسَ بِبِدْعَةٍ
Setelah kita mengetahui apa yang telah
dituturkan di muka maka diketahui bahwa adanya klaim bahwa berikut ini adalah
bid’ah, seperti memakai tasbih, melafadzkan niat, membaca tahlil ketika
bersedekah setelah kematian dengan catatan tidak adanya perkara yang mencegah untuk bersedekah
tersebut, menziarahi makam dan lain-lain, maka kesemuanya bukanlah merupakan
bid’ah.
وَإِنَّ مَا
أُحْدِثَ مِنْ أَخْذِ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْأَسْوَاقِ اللَّيْلِيَّةِ,
وَاللَّعِبِ بِالْكُوْرَةِ وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنْ شَرِّ الْبِدَعِ
Dan sesungguhnya perkara-perkara baru
seperti penghasilan manusia yang diperoleh dari pasar-pasar malam, bermain
undian pertunjukan gulat dan lain-lain adalah termasuk seburuk-buruknya bid’ah.
3.
Pasal Menjelaskan Penduduk Jawa Berpegang kepada Madzhab Ahlusunnah wal
Jama’ah dan Awal Kemunculan Bid’ah dan Meluasnya di Jawa serta Macam-macam Ahli
Bid’ah di Zaman ini
(فَصْلٌ) فِيْ
بَيَانِ تَمَسُّكِ أَهْلِ جَاوَى بِمَذْهَبِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ،
وَبَيَانِ ابْتِدَاءِ ظُهُوْرِ الْبِدَعِ وَانْتِشَارِهَا فِيْ أَرْضِ جَاوَى،
وَبَيَانِ أَنْوَاعِ الْمُبْتَدِعِيْنَ فِيْ هَذَا الزَّمَانِ
قَدْ كَانَ
مُسْلِمُوا الْأَقْطَارِ الْجَاوِيَةِ فِي الْأَزْمَانِ السَّالِفَةِ الْخَالِيَةِ
مُتَّفِقِي الْآرَاءِ وَالْمَذْهَبِ وَمُتَّحِدِي الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ،
فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلَى الْمَذْهَبِ النَّفِيْسِ مَذْهَبِ الْإِمَامِ
مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ، وَفِيْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ
أَبِي الْحَسَنِ الْأَشَعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلَى مَذْهَبِ الْإِمَامِ
الْغَزَالِيِّ وَالْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشَّاذِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
أَجْمَعِيْنَ
Umat Islam yang mendiami wilayah Jawa
sejak zaman dahulu telah bersepakat dan menyatu dalam pandangan keagamaannya.
Di bidang fiqh, mereka berpegang kepada madzhab Imam Syafi’i, di bidang
ushuluddin berpegang kepada madzhab Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan di bidang
tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Hasan
asy-Syadzili, semoga Allah meridhai mereka semua.
ثُمَّ إِنَّهُ
حَدَثَ فِيْ عَامِ اَلْفٍ وَثَلَاثِمِائَةٍ وَثَلَاثِيْنَ أَحْزَابٌ مُتَنَوِّعَةٌ
وَآرَاءٌ مُتَدَافِعَةٌ وَأَقْوَالٌ مُتَضَارِبَةٌ، وَرِجَالٌ مُتَجَاذِبَةٌ،
فَمِنْهُمْ سَلَفِيُّوْنَ قَائِمُوْنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ أَسْلَافُهُمْ مِنَ
التَّمَذْهُبِ بِالْمَذْهَبِ الْمُعَيَّنِ وَالتَّمَسُّكِ بِالْكُتُبِ
الْمُعْتَبَرَةِ الْمُتَدَاوِلَةِ، وَمَحَبَّةِ أَهْلِ الْبَيْتِ وَالْأَوْلِيَاءِ
وَالصَّالِحِيْنَ، وَالتَّبَرُّكِ بِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا،
وَزِيَارَةِ
الْقُبُوْرِ وَتَلْقِيْنِ الْمَيِّتِ وَالصَّدَقَةِ عَنْهُ وَاعْتِقَادِ
الشَّفَاعَةِ وَنَفْعِ الدُّعَاءِ وَالتَّوَسُّلِ وَغَيْرِ ذَلِكَ.
Kemudian pada tahun 1330 H timbul berbagai pendapat yang saling
bertentangan, isu yang bertebaran dan pertikaian di kalangan para pemimpin.
Diantara mereka ada yang berafiliasi pada kelompok Salafiyyin yang memegang
teguh tradisi para tokoh pendahulu. Mereka bermadzhab kepada satu madzhab
tertentu dan berpegang teguh kitab-kitab mu’tabar, kecintaan terhadap Ahlul
Bait Nabi, para wali dan orang-orang salih. Selain itu juga tabarruk dengan
mereka baik ketika masih hidup atau setelah wafat, ziarah kubur, mentalqin
mayit, bersedekah untuk mayit, meyakini syafaat, manfaat doa dan tawassul serta
lain sebagainya.
وَمِنْهُمْ فِرْقَةٌ
يَتَّبِعُوْنَ رَأْيَ مُحَمَّدْ عَبْدُهْ وَرَشِيدْ رِضَا ، وَيَأْخُذُوْنَ مِنْ
بِدْعَةِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ النَّجْدِيْ ، وَأَحْمَدَ بْنِ
تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيْذَيْهِ ابْنِ الْقَيِّمِ وَعَبْدِ الْهَادِيْ
Diantara mereka (sekte yang muncul
pada kisaran tahun 1330 H.), terdapat juga kelompok yang mengikuti pemikiran
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Mereka melaksanakan kebid’ahan Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi, Ahmad bin Taimiyah serta kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Abdul Hadi.
فَحَرَّمُوْا مَا
أَجْمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى نَدْبِهِ ، وَهُوَ السَّفَرُ لِزِيَارَةِ قَبْرِ
رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَخَالَفُوْهُمْ فِيْمَا ذُكِرَ
وَغَيْرِهِ
Mereka mengharamkan hal-hal yang telah
disepakati oleh orang-orang Islam sebagai sebuah kesunnahan, yaitu bepergian
untuk menziarahi makam Rasulullah Saw. serta berselisih dalam
kesepakatan-kesepakatan lainnya.
قَالَ ابْنُ
تَيْمِيَّةَ فِيْ فَتَاوِيْهِ : وَإِذَا سَافَرَ لِاعْتِقَادِ أَنَّها أَيْ
زِيَارَةَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَاعَةٌ ، كَانَ
ذَلِكَ مُحَرَّمًا بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ ، فَصَارَ التَّحْرِيْمُ مِنَ
الْأَمْرِ الْمَقْطُوْعِ بِهِ
Ibnu Taimiyah menyatakan dalam
Fatawa-nya: “Jika seseorang bepergian dengan berkeyakinan bahwasanya mengunjungi makam Nabi Saw. sebagai sebuah
bentuk ketaatan, maka perbuatan tersebut hukumnya haram dengan disepakati oleh umat Muslim. Maka keharaman
tersebut termasuk perkara yang harus ditinggalkan.”
قَالَ الْعَلَّامَةُ
الشَّيْخُ مُحَمَّدْ بَخِيتْ اَلْحَنَفِيُّ اَلْمُطِيْعِيُّ فِيْ رِسَالَتِهِ
اَلْمُسَمَّاةِ تَطْهِيْرَ الْفُؤَادِ مِنْ دَنَسِ الْإِعْتِقَادِ : وَهَذَا
الْفَرِيْقُ قَدْ اُبْتُلِيَ الْمُسْلِمُوْنَ بِكَثِيْرٍ مِنْهُمْ سَلَفًا
وَخَلَفًا ، فَكَانُوْا وَصْمَةً وَثُلْمَةً فِي الْمُسْلِمِيْنَ وَعُضْوًا
فَاسِدًا
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Bakhit
al-Hanafi al-Muth’i menyatakan dalam kitabnya Thathhir al-Fuad min Danas
al-I’tiqad (Pembersihan Hati dari Kotoran Keyakinan) bahwa: “Kelompok ini
sungguh menjadi cobaan berat bagi umat Muslim, baik salaf maupun khalaf. Mereka
adalah duri dalam daging (musuh dalam selimut) yang hanya merusak keutuhan
Islam.”
يَجِبُ قَطْعُهُ
حَتَّى لَا يُعْدِى الْبَاقِيَ ، فَهُوَ كَالْمَجْذُوْمِ يَجِبُ الْفِرَارُ
مِنْهُمْ ، فَإِنَّهُمْ فَرِيْقٌ يَلْعَبُوْنَ بِدِيْنِهِمْ يَذُمُّوْنَ
الْعُلَمَاءَ سَلَفًا وَخَلَفًا
Maka wajib menanggalkan/menjauhi
(penyebaran) ajaran mereka agar yang lain tidak tertular. Mereka laksana
penyandang lepra yang mesti dijauhi. Mereka adalah kelompok yang mempermainkan
agama mereka. Hanya bisa menghina para ulama, baik salaf maupun khalaf.
وَيَقُوْلُوْنَ :
إِنَّهُمْ غَيْرُ مَعْصُوْمِيْنَ فَلَا يَنْبَغِيْ تَقْلِيْدُهُمْ ، لَا فَرْقَ
فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ
الْأَحْيَاءِ
وَالْأَمْوَاتِ يَطْعَنُوْنَ عَلَيْهِمْ وَيُلْقُوْنَ الشُّبَهَاتِ ،
وَيَذُرُّوْنَهَا
فِيْ عُيُوْنِ بَصَائِرِ الضُّعَفَاءِ ، لِتَعْمَى أَبْصَارُهُمْ عَنْ عُيُوْبِ
هَؤُلَاءِ
Mereka menyatakan: “Para ulama
bukanlah orang-orang yang terbebas dari dosa, maka tidaklah layak mengikuti
mereka, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal.”
Mereka menyebarkan (pandangan/asumsi)
ini pada orang-orang bodoh agar tidak dapat mendeteksi kebodohan mereka.
وَيَقْصِدُوْنَ
بِذَلِكَ إِلْقَاءَ الْعَدَاوَةِ وَالْبَغْضَاءِ ، بِحُلُوْلِهِمْ اَلْجَوَّ
وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا ، يَقُوْلُوْنَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ وَهُمْ
يَعْلَمُوْنَ ، يَزْعُمُوْنً أَنَّهُمْ قَائِمُوْنَ بِالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ
وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ ، حَاضُّوْنَ النَّاسَ عَلَى اتِّبَاعِ الشَّرْعِ
وَاجْتِنَابِ الْبِدَعِ ، وَاللهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُوْنَ
.
Maksud dari propaganda ini adalah
munculnya permusuhan dan kericuhan. Dengan penguasaan atas jaringan teknologi,
mereka membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menyebarkan kebohongan mengenai
Allah, padahal mereka menyadari kebohongan tersebut. Menganggap dirinya
melaksanakan amar makruf nahi munkar, merecoki masyarakat dengan mengajak untuk
mengikuti ajaran-ajaran syariat dan menjauhi kebid’ahan. Padahal Allah Maha
Mengetahui, bahwa mereka berbohong.
4.
Pasal Menjelaskan tentang Khitthah Ajaran Salaf Shaleh dan Menjelaskan
yang Dikehendaki “As-Sawadul A’dzam” di Era ini serta Menjelaskan Pentingnya
Berpegang Teguh pada Salah Satu Madzhab yang Empat
(فَصْلٌ) فِيْ
بَيَانِ خِطَّةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، وَبَيَانِ الْمُرَادِ بِالسَّوَادِ
الْأَعْظَمِ
فِيْ هَذَا
الْحِيْنِ، وَبَيَانِ أَهَمِّيَّةِ الْإِعْتِمَادِ بِأَحَدِ الْمَذَاهِبِ
الْأَرْبَعَةِ
إِذَا فَهِمْتَ مَا
ذُكِرَ عَلِمْتَ أَنَّ الْحَقَّ مَعَ السَّلَفِيِّيْنَ الَّذِيْنَ كَانُوْا عَلَى
خِطَّةِ السَّلَفِ الصَّالِحِ، فَإِنَّهُمْ اَلسَّوَادُ الْأَعْظَمُ، وَهُمْ
اَلْمُوَافِقُوْنَ عُلَمَاءَ الْحَرَمَيْنِ
الشَّرِيْفَيْنِ
وَعُلَمَاءِ الْأَزْهَرِ الشَّرِيْفِ اَلَّذِيْنَ هُمْ قُدْوَةُ رَهْطِ أَهْلِ
الْحَقِّ وَفِيْهِمْ عُلَمَاءُ لَا يُمْكِنُ اِسْتِقْصَاءُ جَمِيْعِهِمْ مِنْ
اِنْتِشَارِهِمْ فِي الْأَقْطَارِ وَالْآفَاقَ كَمَا لَا يُمْكِنُ إِحْصَاءُ
نُجُوْمِ السَّمَاءَ.
Dengan pemahaman di atas, diketahui
bahwa sesungguhnya kebenaran yang haqiqi itu berpihak pada kalangan Salafiyyin
generasi terdahulu yang berpijak pada khitthah Salaf Shaleh. Merekalah as-Sawadul A’dzam. Mereka menyepakati konsepsi-konsepsi agama yang
ditetapkan oleh ulama-ulama Haramain Syarifain (Makkah dan Madinah) dan
ulama-ulama al-Azhar yang mulia. Kesemuanya adalah menjadi panutan kelompok
Ahlul Haq. Di sana banyak ulama yang tidak bisa dihitung berapa jumlahnya,
karena menyebarnya tempat domisili mereka di berbagai daerah, sebagaimana
tidak dapat bintang-bintang di langit.
وَقَدْ قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِنَّ اللهَ تَعَالَى لَا
يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ، وَيَدُ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ، مَنْ شَذَّ
شَذَّ إِلَى النَّارِ} رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ. زَادَ ابْنُ مَاجَهْ: {فَإذَا
وَقَعَ الإِخْتِلاَفُ فَعَلَيْكَ بِالسَّوَادِ الأَعْظَمِ} مَعَ الْحَقِّ
وَأَهْلِهِ. وَفِي الْجَامِعِ الصَّغِيْرِ: {إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَجَارَ
أُمَّتِيْ أَنْ تَجْتَمِعَ عَلَى ضَلَالَة}
Rasulullah Saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak akan menghimpun umatku di atas kesesatan. Dan Yad
Allah di atas al-Jama’ah.” (HR. at-Tirmidzi). Ibn Majah menambahkan (riwayat):
“Maka jika terjadi perselisihan, berpeganglah pada as-Sawadul A’dzam yaitu
al-haq dan ahlul haq.”
Di dalam kitab al-Jami’ ash-Shaghir
disebutkan: “Sesungguhnya Allah menyelamatkan umatku dari bersepakat atas
perbuatan sesat.”
وَأَكْثَرُهُمْ
أَهْلُ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ، فَكَانَ الْإِمَامُ الْبُخَارِيُّ
شَافِعِيًّا، أَخَذَ عَنِ الْحُمَيْدِيِّ وَالزَّعْفَرَانِيِّ
وَالْكَرَابِيْسِيِّ. وَكَذَلِكَ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالنَّسَائِيُّ.
وَكَانَ الْإِمَامُ
الْجُنِيْدُ ثَوْرِيًّا، وَالشِّبْلِيُّ مَالِكِيًّا، وَالْمُحَاسِبِيُّ شَافِعِيًّا،
وَالْجَرَيْرِيُّ حَنَفِيًّا، وَالْجِيْلَانِيُّ حَنْبَلِيًّا، وَالشَّاذِلِيُّ
مَالِكِيًّا .
Mayoritas dari mereka adalah pengikut
al-Madzahib al-Arba’ah (madzhab yang empat). Imam Bukhari adalah bermadzhab
Syafi’i. Beliau mengambil dari Imam Humaidi, az -Za’farani dan Karabi’isi. Demikian juga Imam Ibnu Khuzaimah
dan Imam Nasa’i.
Imam Junaid adalah pengikut Imam
Tsauri, Imam Syibli adalah pengikut madzhab Maliki, Imam Muhasibi adalah
pengikut madzhab Syafi’i, Imam al-Jariry merupakan penganut Imam Abu Hanifah
(Hanafi), Syaikh Abdul Qadir al-Jailani bermadzhab Hanbali dan Imam Abu
al-Hasan asy-Syadzili pengikut madzhab Maliki.
فَالتَّقَيُّدُ
بِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ أَجْمَعُ لِلْحَقِيْقَةِ، وَأَقْرَبُ لِلتَّبَصُّرِ،
وَأَدْعَى لِلتَّحْقِيْقِ، وَأَسْهَلُ تَنَاوُلًا. وَعَلَى هَذَا دَرَّجَ
اَلْأَسْلَافُ الصَّالِحُوْنَ، وَالشُّيُوْخُ الْمَاضُوْنَ رِضْوَانُ اللهِ
تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ.
Maka dengan mengikuti satu madzhab
tertentu akan lebih dapat terfokus pada satu nilai kebenaran yang haqiqi, lebih
dapat memahami secara mendalam dan akan lebih memudahkan dalam
mengimplementasikan amalan. Dengan menentukan pada satu pilihan madzhab inilah
berarti ia telah pula melakukan jalan yang juga ditempuh oleh salafunas shalih.
Mudah-mudahan keridhaan Allah terlimpahcurahkan pada mereka semua.
فَنَحْنُ نَحُضُّ
إِخْوَانَنَا عَوَامَّ الْمُسْلِمِيْنَ أَنْ يَتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ،
وَأَنْ لَا يَمُوْتُوْا إِلَّا وَهُمْ مُسْلِمُوْنَ، وَأَنْ يُصْلِحُوْا ذَاتَ
الْبَيْنِ مِنْهُمْ، وَأَنْ يَصِلُو الْأَرْحَامَ، وَأَنْ يُحْسِنُوْا إِلَى
الْجِيْرَانِ وَالْأَقَارِبِ وَالْإِخْوَانِ، وَأَنْ يَعْرِفُوْا حَقَّ
الْأَكَابِرِ، وَأَنْ يَرْحَمُوْا الضُّعَفَاءَ وَالْأصَاغِرَ وَنَنْهَاهُمْ عَنِ
التَّدَابُرِ وَالتَّبَاغُضِ وَالتَّقَاطُعِ وَالتَّحَاسُدِ وَالْإفْتِرَاقِ
وَالتَّلَوُّنِ فِي الدِّيْنِ،
Kami menghimbau kepada kawan-kawan
kami, orang awam dari mayoritas kaum Muslimin agar senantiasa bertakwa kepada
Allah dengan sebenar-benarnya takwa. Dan senantiasa berharap agar tidak
meninggalkan dunia yang fana ini kecuali sebagai orang Islam.
Dan agar melakukan rekonsiliasi
dengan orang yang berselisih antara mereka, merekatkan
tali persaudaraan, bersikap dan berperilaku baik terhadap semua tetangga,
kerabat dan seluruh teman, dapat memahami dan melaksanakan hak-hak para
pemimpin, bersikap santun dan belas kasihan terhadap kaum dhu’afa dan kalangan
wong cilik.
Kita berusaha mencegah mereka dari
segala bentuk permusuhan, saling benci-membenci, memutuskan hubungan,
hasut-menghasut, sekterianisme dan membentuk sekte-sekte baru yang
mengkotak-kotakkan agama.
وَنَحُثُّهُمْ أَنْ
يَكُوْنُوْا إِخْوَانًا، وَعَلَى الْخَيْرِ أَعْوَانًا، وَأَنْ يَعْتَصِمُوْا
بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعًا، وَأَنْ لَا يَتَفَرَّقُوْا، وَأَنْ يَتَّبِعُوا
الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَمَا كَانَ عَلَيْهِ عُلَمَاءُ الْأُمَّةِ كَالْإِمَامِ
أَبِيْ حَنِيْفَةَ وَمَالِكِ بْنِ أَنَسٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ بْنِ
حَنْبَلٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ، فَهُمْ اَلَّذِيْنَ قَدْ
اِنْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى امْتِنَاعِ الْخُرُوْجِ عَنْ مَذَاهِبِهِمْ،
Kami menghimbau pada mereka semua untuk
bersatu, bersahabat, tolong-menolong dalam kebaikan, berpegang teguh pada agama
Allah yang kokoh dan menghindari perpecahan. Hendaknya tetap eksis berpedoman
pada al-Kitab dan as-Sunnah, dan apa saja yang menjadi tuntunan para ulama
panutan umat semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i dan
Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallaahu ‘anhum. Ijma’ menetapkan larangan keluar
dari madzhab-madzhab mereka.
وَأَنْ
يُعْرِضُوْا عَمَّا أُحْدِثَ مِنَ
الْجَمْعِيَّةِ الْمُخَالِفَةِ لِمَا عَلَيْهِ الْأَسْلَافُ الصَّالِحُوْنَ،
فَقَدْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {مَنْ شَذَّ شَذَّ
إِلىَ النَّارِ}،
Hendaknya mereka juga berpaling dari segenap bentuk
organisasi-organisasi baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang
dibangun oleh Salafus Shalih. Rasulullah Saw.: “Barangsiapa memisahkan diri
(dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka.”
وَأَنْ يَكُوْنُوْا
مَعَ الْجَمَاعَةِ الَّتِيْ عَلَى طَرِيْقَةِ الْأَسْلَافِ الصَّالِحِيْنَ، فَقَدْ
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَأَنَا آمُرُكُمْ
بِخَمْسٍ أَمَرَنِيَ اللهُ بِهِنَّ: اَلسّمْعِ وَالطَاعَةِ وَالْجِهَادِ
وَالْهِجْرَةِ وَالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ قِيْدَ شِبْرٍ،
فَقَدْ خَلَعَ رِبْقَةَ الْإِسْلاَمِ مِنْ عُنُقِهِ}، وَقَالَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: {عَلَيْكُمْ بِالْجَماعَةِ، وَإِيَّاكُمْ
وَالْفُرْقَةَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مَعَ الْاِثْنَيْنِ
أَبْعَدُ. وَمَنْ أَرَادَ بُحْبُوْبَةَ الْجَنّةِ فَلْيَلْزَمِ الْجَماعَةَ}.
Untuk itu hendaknya mereka tetap
konsisten memegangi al-Jama’ah ‘ala Thariqah as-Salaf ash-Shalihin. Rasulullah
Saw. bersabda: “Aku perintahkan pada kalian semua untuk melaksanakan lima hal,
dimana Allah telah memerintahkan hal itu padaku, yakni bersedia untuk
mendengarkan, taat dan siap untuk berjihad, melakukan hijrah dan bergabung
masuk dalam bingkai al-Jama’ah. Sesungguhnya seseorang yang berpisah dari
jamaah walaupun hanya sejengkal, berarti sungguh ia telah melepaskan ikatan
tali keislamannya dari lehernya.”
Sayyidina Umar bin Khatthab Ra.
berkata: “Berpegangteguhlah kalian semua pada al-Jama’ah. Hindarkan diri kalian
dari segala bentuk perpecahan. Karena sesungguhnya setan ketika menyertai anda
seorang diri saja, maka dengan sangat mudah ia menaklukkannya dibanding ketika
ia menyertai dua orang yang bersekutu. Barangsiapa bermaksud dan ingin mendapat
kenikmatan hidup di dalam surga maka tetaplah bersama al-Jama’ah.”
5.
Pasal Menjelaskan Wajibnya Taqlid bagi Orang yang Tidak Memiliki
Keahlian untuk Berijithad
فَصْلٌ) فِيْ
بَيَانِ وُجُوْبِ التَّقْلِيْدِ لِمَنْ لَيْسَ لَهْ أَهْلِيَّةُ الْإِجْتِهَادِ)
يَجِبُ عِنْدَ
جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ الْمُحَقِّقِيْنَ عَلَى كُلِّ مَنْ لَيْسَ لَهُ
أَهْلِيَّةُ الْإِجْتِهَادِ
الْمُطْلَقِ، وَإِنْ
كَانَ قَدْ حَصَلَ بَعْضُ الْعُلُوْمِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي الْإِجْتِهَادِ
تَقْلِيْدُ قَوْلِ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَالْأَخْذُ بِفَتْوَاهُمْ لِيَخْرُجَ عَنْ
عُهْدَةِ التَّكْلِيْفِ بِتَقْلِيْدِ أَيِّهِمْ شَاءَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:
{فَاسْأَلوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ}،
فَأَوْجَبَ السُّؤَالَ
عَلَى مَنْ لَمْ يَعْلَمْ ذَلِكَ، وَذَلِكَ تَقْلِيْدٌ لِعَالِمٍ، وَهُوَ عَامٌّ
لِكُلِّ الْمُخَاطَبِيْنَ،
Menurut pandangan jumhur ulama, setiap
orang yang tidak memiliki keahlian untuk sampai pada tingkat kemampuan sebagai
mujtahid mutlak, sekalipun ia telah mampu menguasai beberapa cabang keilmuan
yang dipersyaratkan di dalam melakukan ijtihad, maka wajib baginya untuk
mengikuti (taqlid) pada satu qaul dari para imam mujtahid dan mengambil fatwa
mereka agar ia dapat keluar dan terbebaskan dari ikatan beban (taklif) yang
mewajibkannya untuk mengikuti siapa saja yang ia kehendaki dari salah satu imam
mujtahid. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala: “Maka bertanyalah kalian
semua kepada ahli ilmu jika kalian semua tidak mengetahui.”
Allah mewajibkan bertanya bagi orang
yang tidak mengetahui. Nah bertanya itu merupakan perwujudan sikap taqlid
seseorang kepada orang yang alim. Firman Allah ini berlaku secara umum untuk
semua golongan yang dikhithabi (obyek sasaran perintah).
وَيَجِبُ أَنْ
يَكُوْنَ عَامًّا فِي السُّؤَالِ عَنْ كُلِّ مَا لَا يُعْلَمُ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى
أَنَّ الْعَامَّةَ لَمْ تَزَلْ فِيْ زَمَنِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَكُلِّ
حُدُوْثِ الْمُخَالِفِيْنَ يَسْتَفْتُوْنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ وَيَتَّبِعُوْنَهُمْ
فِي الْأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ وَالْعُلَمَاءَ، فَإِنَّهُمْ يُبَادِرُوْنَ إِلَى
إِجَابَةِ سُؤَالِهِمْ مِنْ غَيْرِ إِشَارَةٍ إِلَى ذِكْرِ الدَّلِيْلِ، وَلَا
يَنْهَوْنَهُمْ عَنْ ذَلِكَ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ، فَكَانَ إِجْمَاعًا عَلَى
اتِّبَاعِ الْعَامِّيِّ لِلْمُجْتَهِدِ،
Secara umum pula, firman Allah ini
mewajibkan kita untuk bertanya dan mempertanyakan segala sesuatu yang tidak
kita ketahui, sesuai dengan kesepakatan/konsensus jumhurul ‘ulama. Karena
sesungguhnya orang yang beridentitas awam itu pasti ada sejak zaman generasi
sahabat, tabi’in dan hingga zaman setelahnya. Mereka wajib meminta fatwa kepada
para mujtahid dan mengikuti fatwa-fatwa mereka dalam hukum-hukum syari’ah dan
mengimplementasikannya sesuai dengan petunjuk ulama.
Karena sesungguhnya para mujtahid dan
ulama bersegera menjawab pertanyaan mereka tanpa memberi isyarah untuk
menuturkan dalil. Para mujtahid dan ulama tidak melarang orang awam minta fatwa tanpa ada pengingkaran.
Kondisi yang sedemikianlah yang lantas disepakati adanya kewajiban bagi orang awam
untuk mengikuti pendapat seorang mujtahid.
وَلِأَنَّ فَهْمَ
الْعَامِّيِّ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ سَاقِطٌ عَنْ حَيْزِ الْإِعْتِبَارِ،
إِنْ لَمْ يُوَافِقْ أَفْهَامَ عُلَمَاءِ أَهْلِ الْحَقِّ الْأَكَابِرِ
الْأَخْيَارِ
Dan
orang awam itu tidak memiliki kemampuan dan otoritas untuk memahami
al-Kitab dan as-Sunnah dan tentunya pemahamannya tidaklah dapat diterima jika
tidak cocok dengan pemahaman ulama ahlul haq yang agung dan terpilih.
فَإِنَّ كُلَّ
مُبْتَدِعٍ وَضَالٍّ يَفْهَمُ أَحْكَامَهُ الْبَاطِلَةَ مِنَ الْكِتَابِ
وَالسُّنَّةِ وَيَأْخُذُ مِنْهُمَا وَالْحَالُ أَنَّهُ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ
شَيْئًا.
Karena sesungguhnya orang yang ahli
bid’ah dan orang yang sesat, mereka memahami hukum-hukum secara bathil dari
al-Kitab dan as-Sunnah. Pada kenyataannya apapun yang diambil oleh ahli bid’ah
tidaklah dapat dipegangi sebagai kebenaran.
وَلَا يَجِبُ عَلَى
الْعَامِّيِّ إِلْتِزَامُ مَذْهَبٍ فِيْ كُلِّ حَادِثَةٍ، وَلَوْ اِلْتَزَمَ
مَذْهَبًا مُعَيَّنًا كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى لَا
يَجِبُ عَلِيْهِ الْإِسْتِمْرَارُ، بَلْ يَجُوْزُ لَهُ الْإِنْتِقَالُ إِلَى
غَيْرِ مَذْهَبِهِ.
Bagi orang awam tidak diwajibkan untuk
tetap konsisten mengikuti satu madzhab saja dalam menyikapi setiap masalah baru
yang muncul. Walaupun ia telah menetapkan untuk mengikuti satu madzhab tertentu
seperti madzhabnya Imam Syafi’i rahimahullaahu, tidaklah selamanya ia harus
mengikuti madzhab ini. Bahkan diperkenankan baginya untuk pindah pada madzhab
yang lain selain madzhab Syafi’i.
وَالْعَامِّيُّ
الَّذِيْ لَمْ يَكُنْ لَهُ نَظَرٌ وَاسْتِدْلَالٌ وَلَمْ يَقْرَأْ كِتَابًا فِيْ
فُرُوْعِ الْمَذْهَبِ إِذَا قَالَ: أَنَا شَافِعِيٌّ، لَمْ يُعْتَبَرْ هَذَا
كَذَلِكَ بِمُجَرَّدِ الْقَوْلِ،
Seorang awam yang tidak memiliki
kemampuan untuk melakukan pengkajian masalah dan istidlal (melakukan pencarian
sumber dalil) atau ia juga tidak memiliki kemampuan membaca sebuah kitabpun
yang ada sebagai referensi dalam sebuah madzhab, lantas ia mengatakan bahwa
saya adalah bermadzhab Syafi’i, maka pernyataan yang sedemikian itu tidaklah absah
sebagai pengakuan bilamana hanya sekedar ucapan belaka.
وَقِيْلَ: إِذَا
الْتَزَمَ الْعَامِّيُّ مَذْهَبًا مُعَيَّنًا يَلْزَمُهُ الْإِسْتِمْرَارُ
عَلَيْهِ لِأَنَّهُ إِعْتَقَدَ أَنَّ الْمَذْهَبَ الَّذِيْ اِنْتَسَبَ إِلَيْهِ
هُوَ الْحَقُّ، فَعَلَيْهِ الْوَفَاءُ بِمُوْجَبِ اعْتِقَادِهِ. وَلْلْمُقَلِّدِ
تَقْلِيْدُ غَيْرِ إِمَامِهِ فِيْ حَادِثَةٍ، فَلَهُ أَنْ يُقَلِّدَ إِمَامًا فِيْ
صَلَاةِ الظُّهْرِ مَثَلًا وَيُقَلِّدَ إِمَامًا آخَرَ فِيْ صَلَاةِ الْعَصْرِ.
Tetapi menurut sebuah pendapat yang
lain menyatakan bahwa ketika seorang awam itu konsisten mengikuti satu madzhab
tertentu maka wajiblah baginya untuk menetapkan madzhab pilihannya. Karena
jelas seorang awam itu meyakini bahwa madzhab yang ia pilih adalah madzhab yang
benar. Maka konsekuensi yang harus ia terima adalah wajib menjalankan apa yang
menjadi ketentuan madzhab yang ia yakini.
Bagi seseorang yang taqlid boleh mengikuti selain imamnya dalam sebuah
masalah yang timbul padanya. Misalnya saja ia taqlid pada satu imam dalam
melaksanakan shalat Dzuhur, dan ia taqlid dan mengikuti imam lain dalam
melaksanakan shalat Ashar.
وَالتَّقْلِيْدُ
بَعْدَ الْعَمَلِ جَائِزٌ، فَلَوْ صَلَّى شَافِعِيٌّ ظَنَّ صِحَّةَ صَلَاتِهِ
عَلَى مَذْهَبِهِ ثُمَّ تَبَيَّنَ بُطْلَانُهَا فِيْ مَذْهَبِهِ وَصِحَّتُهَا
عَلَى مَذْهَبِ غَيْرِهِ فَلَهُ تَقْلِيْدُهُ وَيَكْتَفِيْ بِتِلْكَ الصَّلَاةِ.
Jadi taqlid setelah selesainya
melakukan sebuah amal atau ibadah adalah boleh. Untuk memahami hal ini dapatlah
digambarkan sebuah masalah: “Bila seorang yang bermadzhab Syafi’i melakukan
shalat dan ia menyangka atas keabsahan shalatnya menurut pandangan madzhabnya,
ternyata kemudian menjadi jelas bahwa shalatnya adalah batal menurut madzhab
yang dianutnya dan sah bila menurut pendapat yang lain, maka baginya boleh
langsung taqlid pada madzhab lain yang mengesahkan shalatnya. Dengan demikian
cukup terpenuhilah kewajiban shalatnya.”
6.
Pasal Menjelaskan Perpecahan Umat Nabi Muhammad Saw. Menjadi 73 Sekte
dan Penjelasan tentang Pokok-pokok Sekte yang Sesat dan Penjelasan Golongan
yang Selamat, Yakni Ahlussunnah wal Jama’ah
فَصْلٌ) فِيْ بَيَانِ
افْتِرَاقِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى ثَلَاثٍ)
وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً، وَبَيَانِ أُصُوْلِ الْفِرَقِ الضَّالَّةِ وَبَيَانِ الْفِرْقَةِ
النَّاجِيَةِ وَهُمْ
أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
رَوَى أَبُوْ
دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
{اِفْتَرَقَتِ
الْيَهُوْدُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرّقَتِ النَّصَارَى عَلَى
اِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرّقَتِ أُمّتِيْ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِيْنَ
فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلَّا وَاحِدَةٌ، قَالُوْا: وَمَنْ هُمْ يَا
رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: هُمْ اَلَّذِيْ أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ}.
Imam Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu
Majah telah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah Ra., sesungguhnya
Rasulullah Saw. bersabda: “Kaum Yahudi telah terpecah menjadi 71 golongan, dan
kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73
golongan, semua golongan tersebut masuk neraka kecuali hanya satu golongan
saja. Para sahabat bertanya: “Siapa (satu golongan yang selamat itu) wahai
Rasulullah?” Rasulullah Saw. menjawab: “Golongan yang selamat itu adalah
kelompok yang komitmen dalam mengikutiku dan para sahabatku.”
قَالَ الشِّهَابُ
الْخَفَاجِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى فِي نَسِيْمِ الرِّيَاضِ: وَالْفِرْقَةُ
النَّاجِيَةُ هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ.
Imam Syihab Khafaji rahimahullah
berkata di dalam kitabnya Nasim ar-Riyadh: “Golongan yang selamat itu adalah
kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah.”
وَفِيْ حَاشِيَةِ
الشَّنْوَانِيِّ عَلَى مُخْتَصَرِ ابْنِ أَبِيْ جَمْرَةَ: هُمْ أَبُو الْحَسَنِ
الْأَشْعَرِيُّ وَجَمَاعَتُهُ أَهْلُ السُّنَّةِ وَأَئِمَّةُ الْعُلَمَاء، لِأَنَّ
اللهَ تَعَالَى جَعَلَهُمْ حُجَّةً عَلَى خَلْقِهِ، وَإِلَيْهِم تَفْزَعُ
الْعَامَّةُ فِيْ دِيْنِهِمْ، وَهُمْ اَلْمَعْنِيُّوْنَ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {إِنَّ اللهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلَالَةٍ}.
Dalam kitab Hasyiyah asy-Syanwani ‘ala
Mukhtashar Ibn Abi Jamrah dinyatakan bahwa golongan yang selamat itu adalah
mereka yang berafiliasi kepada Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan jamaahnya yaitu
Ahlussunnah dan aimmatul ‘ulama. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan mereka sebagai hujjah bagi makhlukNya. Dan kepada
merekalah masyarakat memiliki kecondongan dalam mengembalikan berbagai permasalahan
agama mereka.
Golongan inilah yang dikehendaki
Rasulullah Saw. dengan sabda beliau: “Sesungguhnya Allah tidak akan
mengumpulkan ummatku untuk sepakat dalam berbuat kesesatan.”
قَالَ الْإمَامُ
أَبُوْ مَنْصُوْرِ بْنُ طَاهِرٍ اَلتَّمِيْمِيُّ فِيْ شَرْحِ هَذَا الْحَديْثِ:
قَدْ عَلِمَ أَصْحَابُ هَذِهِ الْمَقَالَاتِ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ لَمْ يُرِدْ بِالْفِرَقِ
الْمَذْمُوْمَةِ اَلْمُخْتَلِفِيْنَ فِيْ فُرُوْعِ الْفِقْهِ مِنْ أَبْوَابِ
الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ، وَإِنَّمَا قَصَدَ بِالذَّمِّ مَنْ خَالَفَ أَهْلَ
الْحَقِّ فِيْ أُصُوْلِ التَّوْحِيْدِ، وَفِيْ تَقْدِيْرِ الْخَيْرِ وَالشَّرِّ،
وَفِيْ شُرُوْطِ النُّبُوَّةِ وَالرِّسَالَةِ، وَفِيْ مُوَالَاةِ الصَّحَابَةِ
وَمَا جَرَى مَجْرَى هَذِهِ الْأَبْوَابِ، لِأَنَّ الْمُخْتَلِفِيْنَ فِيْهَا قَدْ
كَفَّرَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا بِخِلَافِ النَّوْعِ الْأَوَّلِ، فَإِنَّهُمْ
اِخْتَلَفُوْا فِيْهِ مِنْ غَيْرِ تَكْفِيْرٍ وَلَا تَفْسِيْقٍ لِلْمُخَالِفِ
فِيْهِ، فَيُرْجَعُ تَأْوِيْلُ الْحَدِيْثِ فِي افْتِرَاقِ الْأُمَّةِ إِلَى هَذَا
النَّوْعِ مِنَ الْإِخْتِلَافِ.
Imam Abu Mansur bin Thahir at-Tamimi
dalam menjelaskan hadits ini mengemukakan: “Sungguh orang-orang yang memiliki
maqalah ini mengetahui bahwa Rasulullah Saw. tidak bermaksud mengidentifikasi
golongan yang tercela itu ditujukan kepada golongan yang berselisih dalam
menyikapi masalah-masalah fiqh yang bersifat furu’iyyah, yang berkaitan dengan
hukum halal dan haram. Akan tetapi beliau Saw. menghendaki dengan pencelaan
tersebut untuk orang yang menentang ahlul haq di dalam permasalahan dasar-dasar
tauhid, di dalam masalah taqdir baik dan buruk, di dalam memberikan
batasan-batasan/syarat-syarat kenabian dan kerasulan, di dalam masalah
bagaimana mencintai para sahabat, dan hal apa saja yang berkaitan dengan
masalah-masalah tersebut di atas. Karena mereka yang berselisih dalam
masalah-masalah ini telah saling mengkafirkan satu sama lainnya. Berbeda dengan
perselisihan yang terjadi pada golongan pertama. Mereka berbeda pendapat dalam
masalah-masalah fiqh tanpa mengkafirkan yang lain dan tanpa menfasiq-kan golongan
lain yang berbeda pendapat. Oleh karena itulah interpretasi yang benar adalah
disandarkan pada perbedaan-perbedaan pendapat macam ini (perbedaan aqidah,
bukan perbedaan furu’iyyah dalam fiqh).”
وَقَدْ حَدَثَ فِيْ
آخِرِ أَيَّامِ الصَّحَابَةِ خِلَافَ الْقَدَرِيَّةِ مِنْ مَعْبَدٍ اَلْجُهَنِيّ
وَأَتْبَاعِهِ، وَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ اَلْمُتَأَخِّرُوْنَ مِنَ الصَّحَابَةِ
كَعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَجَابِرٍ وَأَنَسٍ وَنَحْوِهِمْ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.
Pada masa akhir era sahabat terjadilah perselisihan, yaitu
Qodariyyah yang dicikalbakali oleh Ma’bad
al-Juhani dan para pengikutnya. Dalam perselisihan ini sejumlah sahabat
mutaakhirin berlepas tangan dari golongan tersebut, seperti Abdullah bin Umar,
Jabir, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum ajma’in dan lain-lain.
ثُمَّ حَدَثَ
الْخِلَافُ بَعْدَ ذَلِكَ شَيْئًا شَيْئًا إِلَى أَنْ تَكَامَلَتْ اَلْفِرَقُ
الضَّالَّةُ اِثْنَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُوْنَ
هُمْ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ، وَهُمْ اَلْفِرَقُ النَّاجِيَةُ
Setelah itu, bermuncullah
perbedaan-perbedaan pendapat, dan sedikit demi sedikit hingga sempurnalah
perpecahan di antara ummat Islam itu menjadi 72 golongan yang sesat, dan
golongan yang ke 73 adalah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai kelompok yang
selamat.
فَإِنْ قِيْلَ:
هَذِهِ الْفِرَقُ مَعْرُوْفَةٌ؟ فَالْجَوَابُ: إِنَّا نَعْرِفُ الْإِفْتِرَاقَ
وَأُصُوْلَ الْفِرَقِ، وَأَنَّ كُلَّ طَائِفَةٍ مِنَ الْفِرَقِ اِنْقَسَمَتْ إِلَى
فِرَقٍ وَإِنْ لَمْ نُحِطْ بِأَسْمَاءِ تِلْكَ الْفِرَقِ وَمَذَاهِبِهَا.
Jika ditanyakan: “Apakah sekte-sekte
itu kesemuanya diketahui dan populer di tengah-tengah kita?” Maka jawabannya:
“Kita mengetahui perpecahan dan
pokok-pokok sekte-sekte tersebut, dan kita mengetahui setiap kelompok
dari sekte-sekte tersebut terbagi lagi dalam beberapa kelompok, walaupun secara
detail kita tidak mengetahui nama dari masing-masing sekte itu sekaligus
madzhab yang mereka anut masing-masing.”
وَأُصُوْلُ
الْفِرَقِ اَلْحَرُوْرِيَّةُ، وَالْقَدَرِيَّةُ، وَالْجَهْمِيَّةُ،
وَالْمُرْجِئَةُ، وَالرَّافِضَةُ، وَالْجَبَرِيَّةُ. وَقَدْ قَالَ بَعْضُ أَهْلِ
الْعِلْمِ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالَى: أُصُوْلُ الْفِرَقِ الضَّالَّةِ هَذِهِ
السِّتُّ، وَقَدْ اِنْقَسَمَتْ كُلُّ فِرْقَةٍ مِنْهَا اِثْنَتَيْ عَشْرَةَ
فِرْقَةً فَصَارَتْ إِلَى اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.
Pokok-pokok sekte tersebut ialah golongan Haruriyah, Qadariyah,
Jahmiyah, Murji’ah, Rafidhah dan Jabariyah. Sebagian dari ahli ilmu menegaskan
bahwa pokok-pokok sekte yang sesat adalah enam golongan tersebut. Masing-masing
dari 6 kelompok terpecah menjadi 12 sekte hingga terhitunglah jumlah menjadi 72
sekte.
قَالَ ابْنُ
رُسْلَانَ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: قِيْلَ إِنَّ تَفْصِيْلَهَا عِشْرُوْنَ،
مِنْهُمْ رَوَافِضُ، وَعِشْرُوْنَ مِنْهُمْ خَوَارِجُ، وَعِشْرُوْنَ قَدَرِيَّةٌ،
وَسَبْعَةٌ مُرْجِئَةٌ، وَفِرْقَةٌ نَجَّارِيَّةٌ، وَهُمْ أَكْثَرُ مِنْ عَشْرِ
فِرَقٍ وَلَكِنْ يُعَدُّوْنَ وَاحِدَةً، وَفِرْقَةٌ حَرُوْرِيَّةٌ، وَفِرْقَةٌ
جَهْمِيَّةٌ، وَثَلَاثُ فِرَقٍ كَرَّامِيَّةٌ، فَهِذهِ اِثْنَتَانِ وَسَبْعُوْنَ
فِرْقَةً.
Imam Ibnu Ruslan rahimahullaah
berkata: “Sebuah pendapat mengemukakan bahwa secara rinci golongan-golongan
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 20 golongan. Diantara mereka termasuk
golongan Rawafidh (Rafidhah), 20 sekte golongan Khawarij, 20 golongan Qadariyah,
7 golongan Murji’ah dan satu golongan Najjariyah. Masing-masing itupun
tersekat-sekat menjadi lebih dari 10 golongan, tetapi perpecahan
kelompok-kelompok itu hanya dihitung sebagai satu sekte, dan satu golongan
Haruriyah, dan satu golongan Jahmiyah, dan 3 golongan Karramiyah. Dari rincian
inilah secara keseluruhan terhitung jumlah sekte adalah 72 golongan.
وَاللهُ أَعْلَمُ
بِالصَّوَابِ
***
_______________________________________
Sumber Penulisan: Irsyad as-Sari fi
Jam’ Muallafat asy-Syaikh Hasyim Asy’ari halaman 5-24 oleh Gus Ishom (KH.
Ishomuddin Hadziq) cucu Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Dan
dialihbahasakan oleh KH. Abdullah Afif Pekalongan pada tanggal 21 Syawwal 1434
H/28 Agustus 2013 M