Oleh:
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah
Bicara sejarah, adalah bicara yang siapa yang membuat sejarah tersebut, hitam putihnya sejarah yang nanti dibuat, itu tergantung siapa yang menulis dan menuangkannya. jujur atau munafiknya sejarah itu tinggal tergantung moral sang pembuat sejarah tersebut. Sejarah tergantung dari niat sang penguasa, penulis atau sang penutur. Merekalah yang nanti mewarnai isi dari sejarah tersebut. Masih ingat dalam ingatan saya betapa dahulu ketika masa orde baru begitu berjayanya, sejarah banyak yang suram dan terdistorsikan, sehingga pada masa orde baru, semua sejarah harus berdasarkan kemauan mutlak sang penguasa yang kemudian diikuti oleh sejarawan sejarawan penganut mazhab orde baru, sehingga dapat dikatakan hampir semua materi buku sejarah manut manut apa kata orde baru. Demikianlah pula pada masa Kolonial Penjajah, hampir semua sumber sejarah selalu berdasarkan pesanan dari penjajah. Semua sumber sejarah yang kiranya membahayakan penjajah, dirampas atau dirampok untuk dibawa kenegara-negara tersebut, Sehingga tidak heran manuskrip manuskrip penting sejarah Nusantara kini berada ditangan mereka. Dan sampai kapanpun negara negara yang dulu pernah merampas "harta karun" bangsa ini tidak akan pernah mengembalikan lagi milik bangsa itu, entah dengan alasan apapun termasuk dengan alasan keamanan dan keilmiahan.
Sejarah memang tidak ada yang mutlak, tergantung sudut pandang, Bangsa Jepang bagi bangsa China adalah penjajah dan monster, Bangsa Jepang memandang bangsa Amerika adalah penjagal bangsanya dengan bom Atomnya, Bangsa Jerman dianggap sebagai bangsa yang kejam oleh eropa karena telah banyak membunuh warga eropa dengan mesin perangnya, sebaliknya bangsa Jerman memandang bangsa Rusia adalah bangsa barbar karena tentara merahnya telah banyak memperkosa ribuan wanita jerman pasca perang dunia kedua...
Bagaimana dengan bangsa kita ini. Ternyata terjadi juga perbedaan perbedaan cara pandang dalam penulisan sejarah. Sebenarnya cara pandang itu sah sah saja, namun ketika perbedaan itu tidak didasari dengan tidak adanya sebuah pemahaman, kejujuran, keterbukaan, analisa, kritik, maka sejarah itu akan menjadi tidak berkembang, sehingga ketika bicara sejarah, pokoknya itu dan itu!!
Padahal bicara sejarah, bicara hati nurani, kejujuran dan fakta, apapun yang terjadi harus diungkap. Kujujuran memang begitu pahit..Namun akan menjadi manis jika itu dirasakan sebagai sebuah kebutuhan hidup yang hakiki. Jujur memang berat, namun itu wajib.
Pada kasus walisongo, pada beberapa buku yang saya perhatikan, rupanya masih banyak yang menulis tentang walisongo, mereka masih berdasarkan persepsi yang bertolak belakang dengan kenyataan yang sesungguhnya dari walisongo, Kebanyakan penulisan biografi tentang walisongo lebih banyak sisi irasionalnya ketimbang prestasi dakwah mereka. Jangan heran gara gara tulisan yang banyak irasional ini, banyak dari orang orang yang berasal dari FRONT PEMBELA PENJAGA AKIDAH (tahulah kita siapa mereka....) mengatakan jika WALISONGO adalah PERUSAK AQIDAH BANGSA INDONESIA....ck..ck...ck....lu
Disamping ketiga buku ini sebenarnya ada juga beberapa buku terdahulu yang membahas tentang walisongo seperti karyanya sholihin salam, atau umar hasyim, widji Saksono, atau Hadi Sutrisno, rahimsyah, dll namun lagi lagi saya masih melihat jika pembuatan biografi itu banyak yang tidak bersumber dari ulama ahli nasab, yang biasa meneliti nasab walisongo. lebih banyak bersumber dari satu buku kebuku lain, jadi bisa dibilang seolah olah seperti tukar tukaran daftar pustaka saja. Apakah saya anti dengan hal demikian? oh tidak...saya hanya ingin menggugat dan mengkritik, kenapa jika bicara tentang nasab dan sejarah walisongo, data data ulama ahli nasab tidak dilirik? padahal data nasab dan sejarah ulama ahli nasab, jauh lebih lengkap dan terpercaya, dan banyak yang masuk logika sejarah, kenapa demikian??? karena data tersebut mempunyai sanad dan terjaga secara turun temurun oleh keturunan walisongo, baru baru sekarang saja saya lihat banyak yang yang selalu menisbatkan beberapa datanya kepada ulama ahli nasab, sebelum sebelumnya hampir tidak ada.
Jadi ada baiknya dalam setiap pembuatan biografi walisongo sudah saatnya data data tentang walisongo itu justru lebih banyak yang berasal dari tulisan dan penelitian ahli nasab, bukan dari dari sumber sumber yang memang memang dipertanyakan kredibilitasnya....walisongo adalah fakta, bukan legenda, walisongo adalah organisasi berarti ada sistem yang bisa dipelajari, walisongo adalah gerakan dakwah yang multikultural, itu yang harus diangkat, walisongo adalah gerakan agama yang menjadikan budaya sebagai strategi cerdas, walisongo adalah Fam atau keluarga besar yang nasabnya masih terjaga dengan baik dimasing masing keturunan mereka, jadi data mereka masih terus terjaga dengan baik...
So.....sudah saatnya merubah cara penulisan tentang biografi walisongo, agar kedepannya gak bikin orang bingung dan tidak rancu dan pada akhirnya justru bisa dipakai sebagai kajian yang ilmiah..Semoga....
Wallahu A'lam bisshowab...