Oleh:
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan
Bukannya Azmatkhan itu mastur?, bukannya hampir mayoritas nasab Walisongo itu mastur? Setahu saya rata rata keluarga besar Walisongo itu mastur deh...
Begitulah gambaran singkat kata-kata yang sering saya dengar dan saya baca dari beberapa tulisan. Saking begitu masturnya sampai-sampai kalau ditanya nasabnya, kebingungan...hehehe..
Mastur sendiri dalam pengertian bahasa Indonesianya adalah tersembunyi/menutup/menyamar dan arti-arti yang memiliki sinonim yang tidak jauh berbeda. Kata Mastur ini berasal dari bahasa arab. Kata-kata Mastur ini dalam dunia sufi cukup akrab dan sering sekali dibahas. Dalam beberapa buku yang pernah saya baca tentang Manaqib para wali, seperti buku Jami’ karomatul Aulia oleh Assayid Yusuf Annabhani yang kemudian telah diterjemahkan oleh Yunus Ali Al Muhdor menjadi KISAH KERAMAT PARA WALI, Penerbit Toha Putra Semarang, kata-kata mastur sering saya temukan, terutama pada wali-wali yang tidak ingin jati dirinya diketahui masyarakat ramai. Pada manaqibnya Mbah Hamid Pasuruan yang pernah saya baca, bahkan ada seorang Wali yang “jengkel” pada beliau, gara-gara Mbah Hamid memberikan salam kepada beliau yang berpura pura sebagai pengemis, padahal beliau waliyullah, sehingga Sang waliyullah yang sedang menyamar itu sampai mengucapkan kalimat “kurang ajar si hamid itu”, namun Mbah Pasuruan ketika mendengar kalimat itu menjadi tersenyum simpul. Dan Pasca pemberian salam kepada “sang pengemis” itu, sang pengemis menghilang. KH SAID AGIL SIRAJ, bahkan menjadi saksi hidup ketika Gus Dur meminta doa kepada seorang waliyullah di Mekkah, padahal penampilan waliyullah tidak mencerminkan ulama besar, bahkan sang wali itu bersikap ketus kepada KANG SAID. Bahkan setelah Gus Dur minta didoakan, orang yang meminta doa itu bicara dengan bahasa arab mesir dengan nada bertanya ‘YA ALLAH...DOSA APA HAMBAMU HARI INI, SEHINGGA ADA ORANG TAHU KEDUDUKAN HAMBA???”
Secara umum digambarkan bahwa yang dimaksud dengan mastur adalah menyembunyikan diri. Namun memang kebanyakan kalimat ini lebih identik dengan sikap tawadhu dan kehati-hatian. Berapa banyak dengan adanya sikap yang mastur ini, kita sering tidak tahu atau bahkan pangling jika yang kita hadapi itu adalah ulama besar, atau wali-wali yang sedang menyamar. Berapa banyak “gara-gara” sikap mastur ini banyak yang tidak tahu jika banyak tokoh tokoh di Indonesia ini adalah keturunan walisongo. Sikap mastur disamping berkaitan dengan akhlak dan kehati-hatian, kata ini juga merambah kepada dunia nasab. Akibatnya dengan adanya sikap mastur pada nasab, banyak nasab-nasab yang sebenarnya nasab terkenal menjadi nasab yang “Termasturi”.
Salahkah sikap menutup diri atau memasturkan diri dalam nasab?
Menurut saya tidak salah, apapula yang haru disalahkan dengan sikap seperti ini???
Kita harus melihat masalah ini secara jernih dan fair. Bila dibandingkan dengan nasab-nasab lain, dalam sejarahnya, nasab keluarga besar walisongo atau AZMATKHAN memang sering menjadi incaran-incaran dari fihak fihak yang membenci mereka, siapa sajakah mereka yang membenci walisongo dan keturunan keturunannya? Siapa lagi kalau bukan penjajah dan keroco keroconya. Keluarga Besar walisongo memang sering menjadi TO oleh kaum kafir licik ini. Penjajah sangat benci kepada Walisongo dan Keturunannya, karena dari mereka inilah kebanyakan perlawanan-perlawanan digelorakan. Para Ulama dan Sultan-Sultan, bangsawan dan tokoh keturunan walisongo inilah yang sering membuat pusing pemerintah kolonial penjajah baik itu dimulai pada masa portugis sampai belanda. Perlawanan keluarga besar walisongo atau AZMATKHAN sendiri dipelopori oleh Kesultanan Demak, dimana pada tahuun 1518 Masehi dilakukan penyerangan kepada portugis untuk membebaskan dari Kerajaan Katolik ini. Walaupun hasilnya kurang memuaskan namun penyerangan ini rupanya cukup membuat portugis jengkel, apalagi pasca penyerangan ini Ratu Kalinyamatpun ikut “melabrak “ armada laut Kerajaan Katolik Portugis. Setelah perlawanan ini maka perlawanan lain juga ikut menyusul seperti kesultanan Banten, Cirebon, Palembang, Ternate, dll. Keempat kesultanan yang disebut ini semua merupakan keturunan Walisongo Azmatkhan disamping juga Demak. Jangan kira penjajah kolonial tidak tahu perkembangan silsilah keluarga besar walisongo. Siapa bilang penjajah tidak mengerti dunia geneologi, karena mereka mengerti dunia geneologi inilah jadi mereka tahu siapa musuh yang paling militan terhadap pemerintah mereka.
Begitu bencinya penjajah sampai-sampai nasab-nasab yang ada hubungannya dengan AZMATKHAN banyak yang mereka kaburkan melalui tangan para ilmuannya dan juga tangan-tangan “trampil” yang mengerti sejarah dan budaya bangsa ini namun mereka membenci Islam dan juga keluarga besar walisongo. Informasi dan buku-buku yang kiranya sangat penting dan benar sebisa mungkin dilenyapkan, dirampok atau dibawa kenegeri mereka. Beberapa korban distorsi nasab walisongo yang dilakukan penjajah adalah Raden Fattah, Sunan Kalijaga dan beberapa walisongo lainnya, sehingga sampai sekarang banyak orang lebih percaya versi ilmuwan yang berasal dari penjajah ketimbang versi ulama. Para sejarawan bahkan beberapa orang yang “katanya” ahli nasab lebih percaya Data Primer yang berasal dari Penjajah ketimbang data dari ulama yang bersanad yang sanad ilmu nasabnya sampai kepada Rasulullah SAW. Saya sendiri kadang sering geleng geleng kepada sikap fanatik atau pasrah bongkokkan para Sejarawan dan yang “katanya” ahli nasab kepada sumber data primer dari penjajah. Boleh boleh saja percaya kepada data itu, namun mbok ya juga dikritisi jika ada yang tidak sesuai dengan logika sejarah, psikologi masyarakat, agama, antroplogi, sosilogi dll. Mbok ya kalau menerima data dari penjajah itu, tolong dianalisa dan dicerna dengan seksama. Kita harus tahu, Para penjajah itu pasti tahu benar peta geografis dan diaspora keluarga besar walisongo, apalagi mereka juga bekerjasama dengan Yahudi untuk menghancurkan Islam di Indonesia. Jangan kira Yahudi dan Penjajah tidak tahu dan tidak tertarik dengan dunia dunia geneologi. Sebagai bukti jika mereka peduli terhadap dunia geneologi, ilmuwan dan cendekiawan mereka yang bernama Van Der Berg, bahkan sampai meneliti peta penyebaran Arab hadramaut (asal muasal walisongo) dan juga peta penyebaran walisongo. Hanya Saja Van Der Berg harus gigit jari dalam penelitiannya itu, karena data-data keturunan walisongo sangat sulit dia dapati. Bahkan saking begitu semangatnya pemerintah kolonial belanda, begitu mendengar ada ulama yang menemukan lembaran silsilah kesultanan palembang yang ditulis oleh Tuan Faqih Jalaludin (Mufti Kesultanan Palembang di era itu), mereka berupaya memburu silsilah itu untuk mengetahui siapa saja keturunan kesultanan palembang. Snouck Horgronje bahkan sampai harus ke Mekkah untuk mempelajari siapa siapa saja ulama yang memberikan pengaruh kepada bangsa Indonesia. Dan Memang yang memberikan pengaruh besar pada bangsa ini ternyata ulama-ulama keturunan walisongo seperti Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani, dan Sayyid Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Kyai Marogan, dll.
Saking begitu bahaya kedudukan keturunan walisongo, banyak dari mereka memang benar-benar memasturkan diri secara militan, artinya keberadaan mereka betul betul sulit untuk “dibongkar” nasabnya. Beberapa orang yang mengaku nasabnya ada hubungan dengan sunan ampel pernah bertemu dengan saya saat di makam Sunan Ampel mengatakan, bahwa kakek-kakeknya dulu dalam menyembunyikan nasab keluarganya betul betul rapi, sampai –sampai anak cucunya dibuat “galau” dengan disimpannya nasab mereka itu. Kalau ditanya tentang nasab itu, kakek-kakek mereka Cuma jawab, “SING PENTING AKHLAK LE...” SING PENTING IMAN”...Bahkan ada yang dimarahi kakeknya karena ia ingin mengetahui nasabnya....Si Kakek bahkan berkata ketus sama cucunya dengan mengatakan “BUAT APA NASAB, KALAU KELAKUAN KAMU GAK BENAR”, atau “JANGAN-JANGAN KALAU KAMU TAHU NASABMU KAMU AKAN SOMBONG” serta kalimat-kalimat yang cukup “nyelekit” didengar telinga. Kebanyakan orang-orang terdahulu lebih senang menjadi masyarakat biasa, ketimbang diketahui sebagai keturunan walisongo, apalagi mereka yang ada hubungan dengan kesultanan dan Trah walisongo.
Masturisasi di era Penjajahan memang sangat melekat kuat, hal ini untuk menghindarkan diri dari buruan para penjajah. Syekh Nawawi Banten dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini yang Disusun oleh AL Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafizh dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Hafizh (TheGrand-Mufti Kesultanan Palembang), Penerbit Madawis , tahun 2011, tertulis dalam kitab ini bahwa Syekh Nawawi Banten tidak memakai gelar Azmatkhan atau gelar-gelar Ahlul Bait lainnya salah satu tujuannya adalah untuk menghindari dari buruan penjajah. Dan kitab ini memang benar, karena dalam sejarahnya Syekh Nawawi Banten setelah naik haji pertama dan belajar beberapa tahun di Mekkah sempat pulang ke banten Tanara untuk mengajar, Namun karena suasana yang tidak kondusif dimana beliau selalu diawasi dan diincar oleh penjajah karena sikapnya yang anti penjajah, beliau akhirnya memutuskan kembali ke Mekkah dan hidup disana sampai akhir hayatnya. Walaupun beliau hidup dan mengajar di Mekkah, namun semangat perlawanan dia tanamkan kepada murid-muridnya termasuk KH HASYIM ASY’ARI (PENDIRI NU) dan KH MUHAMMAD DAHLAN (PENDIRI MUHAMMADIYAH) serta murid-murid beliau yang lain. Di Mekkah beliau lebih senang memakai gelar Al Jawi Al Bantani, ketimbang gelar dari keraton atau FAM AZMATKHAN. Di Mekkah saja keberadaan beliau masih sempat dimatai-matai oleh Snouk Horgronye yang pura-pura masuk islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Masturisasi akhirnya terus dilakukan oleh keluarga besar walisongo diberbagai daerah, baik itu di Jawa, Sumatra, Sulawesi, ternate dan daerah-daerah lain, mereka keturunan walisongo lebih senang memakai nama yang lokal, mereka lebih senang berpenampilan khas Nusantara, ada memang yang masih mempertahankan busana takwa ala walisongo seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol. Namun mayoritas memang lebih senang menjadi bagian Nusantara.
Penjajahan memang kejam, sehingga akhirnya muncullah sikap masturisasi ini, namun dibalik sikap ini, juga kita harus teladani sikap mereka yang mastur namun tetap memberikan sumbangsih kepada bangsa dan negaranya.
Kini eranya sudah mulai terbuka, orang-orang yang dahulunya leluhurnya banyak yang mastur, mereka kini banyak yang sudah mulai terbuka karena kesadaran akan ilmu nasab dan mengerti hikmahnya sebuah silaturahim dengan ilmu nasab. Bagi mereka mastur itu boleh boleh saja, namun keterbukaan untuk kebaikan juga perlu. Kini banyak keturunan walisongo banyak yang tidak malu memakai FAM nenek Moyangnya yaitu AZMATKHAN. Sekalipun AZMATKHAN sering dihina oleh orang orang yang Jahil, namun banyak dari mereka tetap bertahan, kebanyakan mereka mengatakan bahwa dicantumkan nama AZMATKHAN itu adalah untuk TABARUKKAN kepada nama tersebut yang telah berjasa menurunkan ulama ulama besar dari walisongo..Dan memang sebaiknya ketika FAM itu dipakai mereka keturunan walisongo harus menjunjung tinggi akhlanya. Ingat Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ketika di India terkenal akan akhlaknya, sehingga Sayyid Abdul Malik mendapatkan nama AZMATKHAN (BANGSAWAN KHAN DARI KETURUNAN YANG MULIA/Nabi Muhammad SAW)
Di Era yang sudah modern ini memang sikap mastur ini sudah sebagian terbuka, namun demikian walaupun sudah mulai terbuka, sikap ketawadhuan dan kehati-hatian tetaplah wajib dijaga oleh keturunan walisongo. Era Penjajahan sudah berlalu, namun jangan lupa penjajah lain juga sudah mulai menggejala di kita baik penjajahan dalam bidang sejarah, arkeologi, budaya, seni, aliran agama, pemikiran bahkan sampai tingkatan ilmu nasab atau silsilah saja, banyak orang atau fihak fihak ingin menjajah dan merusak pemikiran keluarga besar walisongo...semoga kita bisa terselamatkan dari penjajahan penjajahan seperti ini..
Wallahu A’lam Bisshowab....