Minggu, 31 Januari 2016

LAW OF HOPE IN ISLAM


By. Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Husaini / Syaikh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam
Tema tulisan: Leadership Islam
Hukum Allah adalah sebuah sistem hidup yang paling rapi, otomatis, dan tersistem dengan baik. Siapa yang mengikuti hukum-hukum Allah, maka ia akan selamat, dan siapa yang melanggar hukum Allah, ia akan hancur.
Law of hope adalah satu di antara hukum-hukum kehidupan yang Allah buat sebagai software kehidupqn.
Bagaimana pandangan Islam tentang law of hope?
MAKNA HARAPAN
Harapan sangat erat ikatannya dengan keyakinan. Yakni kita bekerja dengan akal dan hati kita untuk menggantungkan harapan yang kita miliki kepada Sang Pencipta Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar apa yang kita harapkan dapat terwujud.
Harapan merupakan bagian dari fitrah manusia yang tidak mungkin ditinggalkan oleh setiap manusia. Orang yang tidak mempunyai suatu harapan pada hakekatnya adalah manusia yang mati, mengingat harapan merupakan titik awal manusia untuk selalu berkembang menuju kehidupan yang lebih baik.
Islam sendiri menganjurkan manusia untuk selalu berharap, namun dalam Islam yang dimaksud berharap yaitu berharap pada kemurahan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah Tuhan yang maha kuasa atas segalanya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Insyirah ayat 8:
وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
“Dan hanya kepada Tuhanmulah (Allah Subhanahu Wa Ta’ala) hendaknya kamu berharap”. (QS. Al-Insyirah: 8)
Imam Baihaqi menyebutkan dalam kitab “Syu’b Al-Iman” bahwa berharap pada Allah merupakan cabang iman ke-12. Jadi kalau kita tidak berharap pada Allah atau sedikit harapan kita pada Allah berarti tidak sempurna imannya.
CARA MENGGAPAI SEBUAH HARAPAN
Islam berpendapat bahwa jika seseorang mempunyai suatu harapan maka seseorang tersebut harus melakukan 3 (tiga) hal untuk mewujudkan harapan tersebut, yakni :
1. Ikhtiar (Usaha)
Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi, jika usaha tersebut gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Agar ikhtiar atau usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik.
2. Doa
Di samping kita melakukan usaha-usaha untuk mewujudkan harapan tersebut, kita juga tidak boleh melupakan doa.
Ibnu Athoillah As-Sakandari, ulama sufi mengatakan dalam kitabnya (Al-Hikam) bahwa, “ Agar doa kita dapat dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka doa tersebut memerlukan rukun, sayap, waktu, dan sebab. Apabila doa cocok (sesuai) dengan sayapnya maka doa tersebut akan terbang ke langit (menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala), Apabila doa cocok (sesuai) dengan waktunya maka doa tersebut akan diterima, Apabila doa cocok (sesuai) dengan sebabnya maka doa tersebut akan dikabulkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala ”.
3. Tawakkal
Setelah kita melakukan ikhtiar (usaha) untuk mewujudkan suatu harapan, dan meminta pada Allah agar Allah merealisasikan harapan tersebut. Maka kita hanya tinggal melakukan satu hal yakni tawakkal pada Allah. Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakkala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan. (Munawir, 1984 : 1687).
Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala mempunyai hak mutlaq untuk mewujudkan atau meniadakan suatu hal di dunia ini.
Jika kita sudah melakukan ketiga hal tersebut maka kita tinggal menunggu keputusan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, apakah Allah berkehendak mewujudkan harapan kita, ataukah justru meniadakan harapan kita.
CONTOH HARAPAN ALA RASULULLAH
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah banyak mengajarkan umatnya untuk memiliki harapan. Seperti yang telah terjadi ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hijrah ke Thaif dan tak seorang pun yang mau menerima beliau, padahal beliau membawa sesuatu yang paling baik di dunia yaitu Islam. Namun, mereka mengecam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahkan mengusir beliau dan melempari beliau dengan batu hingga Rasulullah saw terluka. Dan pada saat itu malaikat datang menghibur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan berkata: “Wahai Rasulullah, kalaulah engkau bersedia, aku akan menimpa mereka dengan dua gunung yang mengapit kota Thaif, agar mereka binasa.” Namun, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Jangan! Aku memiliki harapan yang besar terhadap mereka, dan keturunan mereka, bahwa suatu saat nanti mereka akan beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Dari siroh di atas jelas digambarkan akan besarnya ketegaran serta kesabaran Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam menyampaikan risalatullah, meskipun harus menghadapi pukulan, lemparan, hinaan, dsb. yang datang bertubi-tubi menghujam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau tak pernah putus asa, bahkan terus menaruh harapan besar terhadap mereka.
HARAPAN DAN KONSEKWENSINYA
Di antara yang perlu diketahui bahwa barang siapa mempunyai harapan terhadap sesuatu, harapan tersebut menuntut adanya tiga hal:
a) Rasa cinta pada apa yang diharapkan.
b) Takut kehilangannya.
c) Usaha sebisa mungkin dalam meraihnya.
Bilamana harapan tidak disertai dengan tiga kriteria tersebut maka disebut angan-angan kosong. Harapan dan angan-angan adalah dua hal yang sangat berbeda. Setiap orang yang berharap pasti takut kehilangan atas apa yang ia harapkan, dan setiap orang berjalan yang takut ketertinggalan/keterlambatan, pasti ia akan mempercepat perjalanannya.
Dalam Jaami' at-Tirmidzi, diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu. bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. bersabda, "Barang siapa yang takut, hendaknya ia terus berjalan, dan barang siapa yang terus berjalan, ia akan sampai ke tempat tujuannya. Ingatlah! Barang dagangan Allah itu mahal, dan barang dagangan-Nya adalah surga."
CARA ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA MEWUJUDKAN HARAPAN
Persoalannya, yang sering alfa dalam pengetahuan sebagian orang adalah, bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala memperkenan atau mewujudkan harapan-harapan itu? Pemahaman terhadap jawaban pertanyaan ini penting, agar terhindar dari prasangka buruk (su’uzzhan) terhadap diri apatah lagi terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Cara Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan harapan (do’a) tersebut adalah:
Pertama, harapan itu langsung dikabulkan atau dalam waktu yang tidak berapa lama. Di antara golongan manusia yang mendapat prioritas cepatnya terkabul harapannya, sesuai dengan beberapa penjelasan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu orangtua, orang yang teraniaya, pemimpin yang adil, juga harapan kebaikan dari seseorang kepada orang lain yang jauh dari dirinya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Tidaklah seorang Muslim mendo’akan saudaranya yang tidak berada dihadapannya, melainkan malaikat akan berkata: ‘Dan engkau juga mendapatkan yang seperti itu.” (HR. Muslim).
Kedua, harapan itu ditunda di dunia dan menjadi tabungan pahala yang akan diterima di akhirat nanti. Seringkali misalnya, keadilan di dunia sulit didapatkan, namun percayalah keadilan akhirat pasti ada. Pengadilan akhirat tidak pernah pandang bulu bahkan menerima sogokan dalam memvonis kasus kehidupan di dunia. Kesadaran ini seharusnya memupuk optimis atau harapan dalam hidup. Sebab, senantiasa berharap (raja’) atas nikmat dan ridho dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala merupakan akhlak yang terpuji yang mampu memupuk keimanan dan mendekatkan diri seorang hamba kepada-Nya. Hasil kebaikan ini senantiasa akan mendapatkan balasannya. Tidak di dunia, di akhirat pasti.
Ketiga, dijauhkan dari keburukan yang sebanding dengan harapan itu. Dengan kata lain, Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengabulkan harapan dengan mengganti sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan, yaitu terhindar dari musibah yang seharusnya menimpa kita. Atau mengganti harapan itu dengan sesuatu yang tidak pernah kita harapkan. Mengapa? Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala lebih tahu apa yang terbaik bagi kehidupan hamba-Nya (QS. Al-Baqarah: 216). Sebab, Dia-lah zat yang menguasai yang awal, yang akhir, yang zahir, yang bathin, dan Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadid: 3).
RENCANA ALLAH LEBIH HEBAT
Apa yang diharapkan oleh seorang hamba boleh jadi hal itu sesuatu yang buruk baginya. Sebaliknya, apa yang tidak diharapkan boleh jadi itulah yang terbaik untuk kita.
Perhatikanlah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang mulia ini.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. (Mengapa?) Allah maha mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-baqarah: 216).
Ayat ini mengajarkan kepada kita bahwa, rencana Allah Subhanahu Wa Ta’ala terhadap diri kita lebih hebat dari rencana yang kita buat. Oleh sebab itu, logis jika kita dilarang berhenti berharap karena hal itu tidak akan mendatangkan kebaikan apapun.
Ada di antara kita, bahkan boleh jadi kita pernah melakukannya. Mengeluh dan dengan tega mengatakan: “Saya tidak memiliki apa-apa dan siapa-siapa lagi dalam hidup ini”.
Padahal, bumi masih gratis untuk kita pijak. Langit tidak dibayar memayungi kita. Oksigen masih tersedia untuk nafas kita. Angin masih kita rasakan hembusannya. Waktu masih tersisa untuk berkarya. Raga masih ada bukti kita nyata. Lalu, pantaskah kita mendustakan nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala tanpa ada alasan? Allah Subhanahu Wa Ta’ala berulang kali mempertanyakan persoalan ini agar kita senantiasa bersyukur dan berpikir (perhatikan QS. Ar-Rahman).
SEGALANYA INDAH
Akhirnya, kehidupan yang kita lalui akan senantiasa bermuara kepada dua hal, yakni bahagia dan kecewa. Begitulah kodrat perasaan manusia. Namun rasa bahagia dan kecewa bisa menjerumuskan manusia ke dalam kubang kemaksiatan bila hal itu tidak disikapi dengan bijak. Karenanya, seorang Muslim harus mampu menjaga keadaan dirinya dalam kondisi apapun untuk senantiasa menumbuhkan ladang kebaikan dan pahala. Caranya, senantiasa berdzikir dengan menjadikan sabar dan shalat sebagai perantara untuk menghadirkan pertolongan Allah Subhanahu Wa Ta’ala (QS. Al-Baqarah: 153).
Dalam sebuah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh menakjubkan perkara orang-orang mukmin. Karena segala urusannya merupakan kebaikan. Ketika mendapat nikmat ia bersyukur, karena bersyukur itu baik baginya. Ketika mendapatkan musibah ia bersabar, karena sabar itu juga baik bagi dirinya.”
Dengan kata lain, perkara apapun bagi seorang mukmin sejati, seluruhnya menjadi indah di hati. Wallaahu a’lam. *
REFERENSI:
Law Of Hope In Islam, karya Syaikh Shohibul Faroji Azmatkhan, 2005