Jumat, 23 Agustus 2013

Syekh Subakir Versi Slamet Moentadhim

Oleh:
Slamet Moentadhim


SIAPAKAH WALI YANG tidak hanya dikaitkan dengan mitos penanaman “bibit” manusia di Tanah Jåwå, melainkan juga masuk senarai Walisångå angkatan pertama dan berusaha mengislamkan Raja Småråtunggå yang membangun candi Båråbudhur? Ia termasyhur dari zaman ke zaman dan dari generasi ke generasi hingga kini sebagai Syèkh Subakir.

“Di antara kemungkinan… raja di Jåwå yang sudah masuk Islam… adalah Raja Småråtunggå (k. 800--825 M) pada era Kerajaan Mataram Kuna (tepatnya: Medang Mataram, GM) di Jåwå Tengah sesudah Piagam Canggal tahun 732 M, yang berdialog dengan Syèkh Subakir,” begitu ditulis oleh Kiai Haji (K.H.) Muhammad Sholikhin. Pada catatan kaki, ia menambahkan “(Pada) tahun 820 M, Raja Småråtunggå membangun candi terbesar, Båråbudhur. Tampaknya kedatangan Syèkh Subakir dan kontaknya dengan Sang Raja terjadi pada… masa akhir pemerintahan Raja Småråtunggå.”[1]

Sayang, hanya satu alinea itu plus catatan kaki tersebut yang ditulisnya. Bahkan, ia sama sekali tidak menyebutkan sumbernya. Tampaknya Sang Kiai benar-benar hanya menyodorkan kemungkinan. Memang, secara logika tidaklah mungkin raja yang membangun sarana ritual keagamaan yang begitu besar seperti Båråbudhur pernah memikirkan kemungkinan meninggalkan kepercayaannya untuk merengkuh agama baru.

Di ranah literatur, misalnya di Tatar Sundå, nama Småråtunggå muncul dipersamakan dengan Rakè Garung (k. 794--820 M), måhåråjå Mataram Purbå. Småråtunggå ini ayah yogini Pramodåwardani (k. 820--842 M), istri Rakè Pikatan (k. 842--856 M). “Kaisar” yang terakhir ini mertua Dyah Lokåpålå Rakai Kayuwangi (k. 856--886 M).[2]

Akan tetapi, ini tak sesuai dengan senarai dalam Prasasti Wanua Tengah III 830 Ç (908 M) yang ditemukan petani di sawah Dukuh Dunglo, Desa Gandulan, Kecamatan Kaloran, Kabupatèn Temanggung, Jåwå Tengah, pada bulan November 1983. Prasasti dua lempeng tembaga 53,5x23cm2 bertulisan Jåwå Kuno ini memang mengubah catatan sejarah.[3]

Daftar raja dalam Prasasti Wanua Tengah III dimulai dengan pendiri Mataram Purbå, Rahyangta ri Medang, yang dalam Prasasti tembaga Mantyasih 829 Ç (907 M) disebut Rakai Mataram Sang Ratu Sanjåyå atau Rahyangta Rumuhun ri Medhang ri Poh Pitu. Kedua prasasti ini peninggalan Rakai Watukurå Dyah Balitung.

Senarai raja dan tahun pelantikannya itu berlanjut dengan nama Rakai Panangkaran (746 M), Rakai Panaraban (784 M), Rakai Warak Dyah Manårå (803 M), Dyah Gulå (827 M), Rakai Garung (828 M), Rakai Pikatan Dyah Saladu (846 M), Rakai Kayuwangi Dyah Lokåpålå (855 M), Dyah Tagwas (885 M), Rakai Panumwangan Dyah Déwåndrå (885 M), Rakai Gurunwangi Dyah Bådrå (886 M), Rakai Wungkai Dyah Jobang (894 M), dan Rakai Watukurå Dyah Balitung Sri Iswåråkesåwåtunggåréndråmurti (898 M), yang mendirikan kerajaan baru, Balitung.

Apa yang salah pada penulis sastra kuna kita, sehingga kesalahan ini terjadi, mengingat prasasti lebih valid (sahih) dari karya tulis. Yang teraba hanyalah tradisi tulis baru datang kemudian setelah tradisi lisan. Dengan kata lain, karya sastra yang didasarkan pada fakta sejarah baru ditulis beberapa abad setelah peristiwa terjadi, berdasarkan ingatan yang tertinggal melalui tradisi lisan.

Akan halnya Syèkh Subakir, wali yang berasal dari Persia (kini: Iran) itu,[4] konon, datang untuk berdakwah di Tanah Jåwå pada tahun 808 H (1404 M), bersama delapan Walisångå periode pertama yang lain atas perintah Sultan Muhammad I dari Turki. Begitu, lagi-lagi konon, menurut Kanzul ‘Ulum karya Ibnu Bathuthåh (h. 1304--1378),[5] yang penulisannya diteruskan oleh Mawlana Muhammad Al-Magråbi.

Setiba di Jåwå, mereka berbagi tugas. Syèkh Subakir berkeliling, menumbali tempat angker. Ia memilih tanah yang bagus untuk dijadikan pesantren. Padahal, lahan itu ditempati jin yang cenderung menyesatkan manusia. Syèkh Subakir membuat tumbal dari batu.[6] Setelah banyak tempat ditumbali, ia pulang ke Persia pada tahun 1462 M dan wafat di sana.

Membuat tumbal dari batu? Agak sulit menjawab pertanyaan ini. Tradisi agåmå Adam ajaran Samin Suråsentikå (h. 1859--1914), yang hidup di Blora, tetapi pengaruhnya merebak hingga Pati, Bojonegoro, dan Madiun, misalnya, justru mewariskan do’a Nabi Zakaria dalam hal mencari lahan yang baik untuk ditempati. Doa’ ini diselipkannya dalam buku pandom (pedoman) kehidupan yang diwariskannya, Serat Lampahing Urip.

“Bila tanah berwarna hitam, berbau amis, singkiri saja, tak bisa dihuni. Ini do’a Nabi Zakaria untuk menumbali tanah. Saratnya garam segenggam, do’anya dibaca tujuh kali, garam ditaburkan ke kiri, puasa sehari semalam atau sehari. Insya-Ållåh ta’ala, tidak kekurangan. Ini do’anya: Ållåhumma ma’alaihi nasirun. Anna firqun firqun qådirun, minnu ya Ållåh ya råbbal ‘alamin, waya khåirun nashirin, biråhmatika ya arham ar-råhimin.”[7]

Begitu sedikit diceritakan orang tentang Syèkh Subakir. Kalaupun ada yang tertulis, seperti yang telah diceritakan di atas, kisahnya bercampur dengan mitos dan legenda. Lebih parah dari itu, kedatangannya dikaitkan dengan penempatan pertama “bibit” manusia di Tanah Jåwå,[8] yang terjadi pada paro kedua abad pertama Masèhi atau menjelang awal tahun Çåkå.

Padahal, mayoritas orang Jåwå tahu, terjadinya tahun Çåkå berkaitan dengan kedatangan Aji Çåkå dari Pallawa di India selatan. Ia mengalahkan raja raksasa Déwåtå Cengkar, yang konon suka memakan manusia rakyatnya sendiri. Aji Çåkå lalu bertakhta di kerajaan Medang Kamulan itu, menetapkan hari kedatangannya sebagai awal tahun Çåkå, menyebarkan agama Hindu, dan menciptakan huruf Jåwå.[9]

Versi kuna asal-usul manusia Tanah Jåwå yang bersifat bellum omnium contra omnes (perang pemusnahan jenis manusia yang satu oleh yang lain), bukan evolusi (perubahan pelan-pelan dari kera) seperti yang diduga oleh ilmuwan Inggris Charles Robert Darwin (h. 1809--1882), diceritakan oleh sejarahwan Cirebon, Pangéran Wångsåkertå (w. 1713) dan Pangéran Sulaéman (P.S.) Sulèndråningrat.

Versi lain dari “penanaman” manusia di Tanah Jåwå malahan melibatkan Radèn Ngusman Haji dari Bani Isråil.[10] Dongeng yang banyak diceritakan orang di wilayah Madiun dan Yogyåkartå ini sangat boleh jadi berasal dari serat Paråmåyogå tulisan Radèn Mas Ngabèhi (R.M.Ng.) Rånggåwarsitå (h. 1802--1873) yang baru “terbit”di Suråkartå pada tahun 1884.

Padahal, banyak sumber lain menyatakan Radèn ‘Utsman Haji itu tak lain dari Sunan Ngudhung, ayah Sunan Kudus II.
Yang pasti, baik Wångsåkertå, Sulèndråningrat, maupun Rånggåwarsitå menggunakan sumber yang sama: Jitapsårå karya Begawan Pålåsårå, yang mengutip Puståkå Daryå asal Tanah Hindustan, serta Miladuniren asal Najran, Silsilatul Guyub asal Sailan, Musarår, dan Jus al-Gubet asal Tanah Rum (-Asia) alias Turki.[11]


(1)       Syèkh Subakir versus Semar dan Togog[12]

BERIKUT INI kisah Syèkh Subakir “menanam” manusia di dan menumbali Tanah Jåwå yang ditulis oleh Pangéran Sulaéman (P.S.) Sulèndråningrat, guru Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon.[13]

“… Pada suatu malam… Raja dari Rum Asia, yakni Turki, dalam mimpinya dapat ilham perintah dari Illahi agar Pulau Jåwå diisi dengan manusia. Pada esok harinya, ia memanggil patihnya dan… menyelenggarakan pengumpulan 20.000 orang untuk diberangkatkan ke Pulau Jåwå dengan kapal layar. … manusia pertama itu… tertumpas… oleh siluman. … hanya tersisa 40 orang… lari ke negeri Turki dan menghadap Raja….”

Raja pun memanggil Syèkh Subakir, memerintahkan kepadanya agar bersama Sang Patih mengambil 20.000 orang Keling untuk dimukimkan di Jåwå. Mereka berlabuh di Tanah Jåwå pada tahun 1 Jåwå, yang menurut naskahnya sama dengan tahun 87 Masèhi.[14]

“Kemudian Syèkh Subakir menuju Gunung Tidar. Di puncaknya, ia menanam tumbal. Demikian pula di tiap-tiap gunung lain. … ternyatalah keampuhan tumbal… terjadilah hujan, angin ribut besar, menggelegar suaranya, gunung runtuh, kilat, geledek, guruh mengobrak-abrik, bersahut-sahutan, mendung gelap gulita meliputi Pulau Jåwå.”

“… geger panik seluruh lelembut, jin, setan, banaspati, ilu-ilu, janggitan, kemangmang, wéwé gombèl, iprit, dan kebanyakan merkayangan lari tunggang langgang menuju ke laut, sedangkan gendruwo pada bubar, banyak siluman… mengosongkan Pulau Jåwå. … ketuanya ialah Sanghyang Semar dan Sanghyang Togog yang berdedukuh di hutan Gunung Merbabu.”

“Sanghyang Semar memberitahu, ‘… ada pendeta dari Rum Turki telah datang di Pulau Jåwå untuk merusak dedemit dengan tumbal… yang ditanam di puncak gunung… Mari kita lihat, kita jumpai Sang Pandhitå utusan Raja Rum yang menenung… merusak brakasakan/merkayangan. Semua dedemit Nuså Jåwå ketakutan dan gègèr.’ … Kemudian sampai mereka ke tempat Syèkh Subakir dan bertemu di Gunung Tidar.”

Mereka bertegur sapa. Sang Pandhitå berkata pula, “Menurut kabar, di Pulau Jåwå, belum ada manusia, masih kosong, dan masih berhutan besar belaka.”

Sanghyang Semar berkata, “Sesungguhnya kami adalah orang Jåwå dari zaman kuno, lama sebelum Tuan datang, menetap di… puncak gunung, sudah sembilan ribu tahun lamanya (sejak Sanghyang Wenang, mengingat Bathårå Semar adalah… titisan… Sanghyang Wenang), juga di Gunung Tidhar, kami punya padépokan sudah selama seribu tahun lebih hingga sekarang.”

Syèkh Subakir heran. “Kalian ini orang apa. Betulkah kalian manusia, karena umurmu… kelewatan. Saya belum melihat ada orang berumur sepuluh ribu tahun. Nabi Adam berusia panjang, tapi cuma seribu tahun. Anda itu, Kaki, harap berterus terang kepadaku, kalian bukan manusia, karena umurmu kelewatan berlebih-lebihan amat sangat panjang sekali. Kalau manusia, belum ada yang berumur sepuluh ribu tahun.”

Sanghyang Semar pun menjawab, “Sesungguhnya, aku ini… bukan manusia, Raja Dahyang (Jan) Tanah Jåwå, aku… Dahyang Sepuh, titisan dari Jengkåwå Dèwi (Babu Håwå) yang berdosa. Nama Manikmåyå adalah aku. Sanghyang Nurcahyå ialah aku. Sanghyang Wenang ialah aku. Sanghyang Srigati ialah aku. Wargutåmå ialah aku. Råjå Jåyåkusumå, Ki Jåkå Pandhak, Sanghyang Ismåyå ialah aku, pula adalah aku yang bernama Sanghyang Semar. Pada zaman purba kuna, sejak ibuku dahulu mengeluarkan benihnya, yang… telah diambil Idajil, kemudian akhirnya menjelma jadi aku. Inilah proses kejadian dari… aku… para dewa itu semua darahku. Juga semua dahyang di tanah seberang dan Jåwå itu adalah turunanku, beserta seluruh lelembut adalah cucuku. Jin, iprit, seluruh dedemit, ilu-ilu, gendruwo, bergola, dan lain-lain juga adalah cucuku. Adapun kakak ini adalah titisan Siti Sundari, lahirnya masih sekeluarga denganku. Kami berdua berdedukuh di Jåwå. Kami berdua datang menjumpai Tuan di sini, mohon tanya kepada Tuan dengan sesungguhnya, apa sebabnya Tuan datang merusak negara. Seluruh anak cucuku pada ketakutan oleh tenung… Tuan yang ampuh. Mereka semua wadyå lelembut mengungsi ke laut.”

Syèkh Subakir menjawab, “Saya ini, Kaki, diutus oleh Raja Rum. Saya diperintah untuk mengisikan manusia di Pulau Jåwå ini, agar berkembang biak membuka hutan. Yang saya isikan ini adalah orang dari Keling, ... 20.000 orang, lelaki dan perempuan. Ini adalah karya Hyang Widi, kalian tidak boleh menghalang-halanginya.”

Sanghyang Semar berkata, “Syukur setuju beribu setuju, kalau kehendak Raja Rum itu adalah perintah Hyang Widi, diperintah ke Pulau Jåwa, agar membuka hutan. Hanya aku mohon, turunanku supaya diperbolehkan turut menetap di Pulau Jåwå.”

Itulah kisah yang ditulis oleh Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, yang sebetulnya secara turun-temurun didongengkan dari mulut ke mulut di hampir semua wilayah orang berbicara dalam bahasa Jåwå. Bagian mana yang benar dari kisah ini? Wållåhu a’lam bish-shåwwab.


(2)       Serat Sèh Subakir dan Petilasannya

KISAH SERUPA ditulis orang menjadi Serat Sèh Subakir dalam huruf Jåwå, yang menilik jenis kertasnya, mungkin dibuat pada dasawarsa 1930-an. Naskah kitab ini ditemukan dan disimpan orang di Gandusari, Kabupatèn Blitar, Jåwå Timur. Jilidannya sudah copot. Sebagian lembarannya hilang. Separo halaman tulisan pada naskah sisanya sudah luntur terkena air.[15]

Dibanding naskah Cirebon, ada perbedaan tentang asal manusia yang ditanam, yakni bukan orang Keling, melainkan orang Arab. Kisah dalam Serat Sèh Subakir itu lalu berlanjut ke sejarah keraton di Jåwå mulai dari Medang Kamulan hingga Mataram.

Masih di Kabupatèn Blitar, 11 kilometer dari kota ke utara, tepatnya di Kecamatan Nglegok, ada petilasan yang dianggap dan dihias seperti makam Syèkh Subakir. Letaknya masih di dalam kompleks candi Penataran, tetapi di sebelah utaranya.
Petilasan ini, yang hanya salah satu dari banyak maqåm wali itu di seantero Jåwå Timur dan Jåwå Tengah, serta masjid dan halamannya yang menyatu, diperbaiki bersamaan dengan pemugaran candi Penataran pada era Bupati Siswanto Adi. Yang masih asli mungkin tinggal batu tempat Syèkh Subakir bersujud saat bersembahyang.

Anda mau tawasulan ngalap berkah di sana? Silakan, maqåm itu memang kian rutin dikunjungi orang untuk tawasul serta membaca surat Yasin dan tahlil.

(Gus Moen)


Catatan Kaki:

[1]       K.H. Muhammad Sholikhin, Manunggaling Kawulå-Gusti: Filsafat Kemanunggalan Syèkh Siti Jenar, Penerbit Narasi, Yogyåkartå, cetakan pertama, 2008, halaman 58, 58 catatan kaki 5.

[2]       Yongki Y., Menyingkap Misteri Ratu Laut Selatan: Banyu Bening Gelang Kencånå, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, cetakan pertama, 2003, halaman 508. Sayang, buku ini sama sekali tidak menyebut sumber penulisannya.

[3]       Lebih jauh mengenai pembicaraan ini, baca Djoko N. Witjaksono, Menuliskan Kembali Sejarah Mataram (Kuno): Beberapa Prasasti yang Mengubah Jalannya Penulisan Sejarah, katalog Pameran Keliling Budaya Tulis dan Benda Cagar Budaya di Jåwå Tengah di Blora, 5--9 Mei 2004, Museum Jåwå Tengah Ronggowarsito dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jåwå Tengah, Semarang dan Prambanan, halaman 6--14.

[4]       K.H. Dachlan Abdul Qohar, Wali Sångå, dalam Ibrohim Ghozi, Kenang-kenangan Haul Agung Sunan Ampèl Ke-539, Panitia Haul Agung Sunan Ampèl, Suråbåyå, 1989, halaman 12.

[5]       Abu Abdullåh Muhammad Ibn Bathuthåh (h. 704--780 H/1304--1378 M) itu pengembara bangsa Arab yang lahir di Tangiers, Aljazair, dan mulai mengembara pada usia 21 tahun dan baru kembali 24 tahun kemudian, lalu berangkat lagi ke Spanyol dan lalu ke Timbuktu dan Nigeria. Pada masa akhir hidupnya, ia menulis kisah perjalanannya, Tuhfatal-Nuzzarfi Gharå’ib al-Amshår wa’ajaib al-Ashfar. Ini karyanya yang pertama, belakangan di Aljazair ditemukan naskah yang lebih lengkap. Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (The Concise Encyclopaedia of Islam), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Desember 1996, terjemahan Ghufron A. Mas'adi, halaman 146--147.

[6]       Dachlan A.Q., op.cit., dalam Ibrohim Ghozi, op.cit., 1989, halaman 22.

[7]       Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo, Tradisi dari Blora, Penerbit Citra Almamater, Semarang, cetakan pertama, 1996, halaman 31--32, dengan mengutip Samin Suråsentikå, Serat Lampahing Urip.

[8]       Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, Beralihnya Pulau Jåwå dari Agama Sanghiyang kepada Agama Islam, diktat, Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon, Cirebon, 1978, dalam Drs. Yoseph Iskandar, Drs. Dedi Kusnadi Aswin, R. Soenarto Martaatmadja, S.E., Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta H. Gozali Sumarta Winata dan Hj. Mutiah Siti Wulandari (editors), Negara Gheng Islam Pakungwati Cirebon, Padepokan Sapta Rengga Ciapus, Banjaran, Bandung, cetakan pertama, Mei 2000, halaman 97--101.

[9]       Kisah ini saya dengar sebagai dongeng ketika saya masih sekolah di Taman Kanak-Kanak Perwari, Blora, dan kemudian saya dengar lagi dari guru saya, Bambang Soenaryo Kayoenpoetra, di Sekolah Rakyat (SR) Negeri No. 2, nJethis, desa tempat saya lahir. Pak Bambang adalah wartawan (foto) pertama di Blora yang bekerja untuk harian Suara Merdeka yang terbit di Semarang.

[10]     Prof. Dr. Hasanu Simon, Misteri Syèkh Siti Jenar: Peran Wali Songo dalam Mengislamkan Tanah Jåwå, Pustaka Pelajar, Yogyåkartå, cetakan pertama, September 2004, halaman 13.

[11]     Otto Sukatno Cr. (penerjemah), Paråmåyogå Ronggowarsito: Mitos Asal-Usul Manusia Jåwå, Yayasan Bentang Budaya, Yogyåkartå, cetakan pertama, Oktober 2001, halaman 1 dan P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 105.

[12]     Kisah ini saya dengar pertama kali ketika saya disunat pada kelas 4 SD Negeri 2 (mBalun) Cepu kira-kira pada tahun 1964. Pada malam setelah saya disunat, Bapak --mungkin bersama kakak kelasnya di Pesantren Raudlåt al-Thålibin, Rembang, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) K.H. Bisri Mustofa-- membacakan naskah mitos Syèkh Subakir tawar-menawar di Gunung Tidar dengan Semar dan Togog, minta izin untuk "menanam" manusia di Tanah Jåwå. Saya tidak tahu naskah berhuruf Arab pegon apa yang dibacakan oleh Bapak saat itu. Bapak hanya menyebutnya Jåyåbåyå Syèkh Subakir. Berbilang tahun kemudian, tepatnya pada hari Senin 19 Maret 2001, di Teluk Angsan Permai, Bekasi Jaya, tempat rentetan kisah yang sekarang salah satu bagiannya Anda baca ini mulai ditulis, barulah saya mendapatkan buku yang diterbitkan oleh bukan penerbit resmi itu yang membicarakan karya sejarahwan Cirebon abad ke-17, Pangéran Wångsåkertå (w. 1713), yang menceritakan kisah yang sama.

[13]     P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 97--101.

[14]     Inilah keanehan naskah Pangéran Sulaéman Sulèndråningrat, selisih tahun Jåwå dan tahun Masèhi itu 87 tahun, bukan 78 tahun sebagaimana lazimnya. Menurut dia, tahun Jåwå baru disebut tahun Çåkå kurang lebih pada 700 M dan bahwa Sultan Agung mengubah perbedaan tahun itu dari 87 tahun ke 78 tahun. P.S. Sulèndråningrat, op.cit., dalam Yoseph Iskandar, Dedi Kusnadi Aswin, Soenarto Martaatmadja, Harry Supriadi, Tony S. Martakusumah, serta Gozali Sumarta Winata dan Mutiah Siti Wulandari (eds.), op.cit., Mei 2000, halaman 101.

[15]     Agus Prasmono, Petilasan Sèh Subakir ing Penataran Salah Kaprah Dikirå Pesaréyan, dalam majalah Mingguan Kulåwargå Båså Jåwå, Jåyå Båyå, Suråbåyå, No. 49/LIX, Minggu I (7--13) Agustus 2005, halaman 14--15.