Sabtu, 28 September 2013

Ilmu-Ilmu Yang Wajib Dipelajari


Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)
  1. Menurut Sayyid Bakri Al-Makki, Dalam Kitab Kifayatul Atqiya Wa Minhajul Ashfiya: "Ada tiga ilmu yang harus dipelajari dan hukumnya "Fardhu 'Ain", yaitu: 1. Ilmu yang dapat menghantarkan kepada sahnya ibadah, yaitu ilmu syari'at atau ilmu fiqih, 2. Ilmu yang dapat menghantarkan kepada sah atau validnya berkeyakinan, yaitu ilmu tauhid atau ilmu aqidah, 3. Ilmu yang dapat membersihkan atau mensucikan hati, yaitu ilmu tasawuf. {Keterangan dari kitab "Kifayatul Atqiya' wa Minhajul Asfiya', karya Sayyid Bakri al-Makki Ibnu Sayyid Muhammad Syatha'
  2. Menurut Syekh Muhammad at Tamimi, Dalam Kitab Tsalatsah al Ushul, " Sesungguhnya ada empat perkara yang wajib untuk kita mempelajarinya, yaitu : 1. Ilmu, yaitu ilmu agar kita mengenal Allah, mengenal RasulNya serta mengenal agama islam dengan berpijak diatas dalil-dalil. 2. Beramal dengan ilmu tersebut. 3.Kita mendakwahkan ilmu tersebut. 4.Kita bersabar untuk tiga perkara di atas. Adapun dalil akan wajibnya mempelajari empat perkara diatas adalah firman Allah : “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, dan beramal saleh, dan saling mewasiatkan kebenaran serta saling berwasiat untuk bersabar”. Al ‘ashr : 1-3. Al Imam Asy Syafi’i berkata tentang surat ini : “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah melainkan hanya surat ini saja, maka sungguh hal itu sudah cukup bagi manusia”. Al Imam Al Bukhari membuat sebuah bab dalam kitab shohihnya; “berilmu sebelum berucap dan beramal”, berdalilkan dengan ayat : “Ketahuilah, bahwasanya tiada Ilah yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan mohonlah ampunan untuk dosamu”. Muhammad : 19. Maka wajiblah seorang Muslim agar berilmu sebelum ia berucap dan beramal.
  3. Syaikh Abu Muhammad Dr. Falah bin Ismail Mandakar (Ulama besar Kuwait yang lahir pada tahun 1950 masehi). Di antara yang wajib dipelajari adalah : Ilmu aqidah, Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ibadah seperti shalat dan puasa, Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan ibadah wajib yang terkait oleh suatu kondisi atau keadaan seperti waktu, tempat dan kemampuan semisal Haji, Zakat ataupun Jihad; dan Ilmu tentang mengenal halal dan haram.
  4. Imam Abu Umar ibnu Abdil Barr dalam buku beliau, Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi, menyebutkan bahwa para ulama bersepakat bahwa ada bagian ilmu yang fardhu ‘ain (wajib atas setiap individu), ada pula yang hukumnya fardhu kifayah. Kemudian para ulama bersilang pendapat tentang perinciannya. Kewajiban yang menyeluruh atas setiap muslim adalah perkara agama yang tidak ada kelonggaran bagi siapa pun untuk tidak mengetahuinya. Yaitu ilmu yang berkaitan tentang pokok-pokok keagamaan berupa lima rukun Islam dan enam rukun iman sekaligus lawannya berupa pembatal-pembatal keislaman dan keimanan tersebut. Secara ringkas ilmu yang wajib tersebut sebagai berikut: 1. Mengucapkan syahadat dengan lisan, mengimaninya dalam kalbu bahwa Allah satu-satunya sesembahan yang berhak diibadahi, tiada sekutu bagi-Nya, tiada yang menandingi, dan menyerupai. Allah tidak beranak dan diperanakkan tidak ada sesuatupun yang menyamainya. Pencipta segala sesuatu, kepada-Nya lah semua akan kembali. Yang menghidupkan dan mematikan, Yang Maha Hidup tidak mati. Yang Maha Mengetahui alam ghaib dan nyata. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sedikitpun apa yang di langit dan bumi. Menetapkan bagi Allah semua sifat-sifat yang maha sempurna dan nama-nama yang maha mulia. Sebagaimana yang Allah tetapkan dalam Al Qur’an dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam tetapkan dalam hadits-hadits beliau. Tanpa menyerupakannya dengan makhluk, mempertanyakan bagaimana, menyelewengkan maknanya, atau bahkan menolaknya. Serta menyucikan Allah dari seluruh sifat cacat, aib, dan kekurangan. 2. Wajib pula mengilmui syahadat Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai hamba dan Rasul-Nya. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam adalah penutup para nabi. Mengimani pula para nabi dan rasul yang diutus sebelum beliau sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al Qur’an. Mengimani hari kebangkitan setelah kematian untuk pembalasan amal, kekekalan di akhirat bagi orang yang beruntung dengan keimanan dan ketaatannya dalam surga, dan kekelan bagi orang yang binasa karena kekafiran serta pembangkangannya dalam neraka. 3. Al Qur’an adalah kalamullah (firman Allah). Semua yang ada di dalamnya adalah kebenaran yang datang dari sisi Allah sehingga harus diimani seluruhnya, mengamalkan semua ayat yang sifatnya muhkan (yang diketahui tafsirnya) serta mengimani semua ayat yang bersifat mutasyabih (yang belum jelas maksudnya). 4. Shalat lima waktu adalah kewajiban, harus mengilmui tata cara shalat dan segala yang berkaitan dengan kesempurnaannya, seperti thaharah (bersuci) dan seluruh hukum-hukumnya. Ilmu tentang kewajiban puasa Ramadhan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kesempurnaan dan segala yang merusak serta membatalkannya. 6. Apabila memiliki harta dan kemampuan, ia wajib belajar tentang haji, sebagaimana kewajibannya belajar zakat. Kapan diwajibkan dan berapa kadarnya. Harus tahu pula bahwa haji adalah kewajiban yang wajib ditunaikan sekali dalam hidup. 7. Mengimani para malaikat dan kitab-kitab-Nya yang disebutkan dalam Al Qur’an, serta beriman pula terhadap takdir Allah. Bahwa segala sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi adalah takdir dari Allah. Semua itu terjadi atas keinginan dan kehendak-Nya. Allah telah tetapkan segalanya dengan segala hikmah dan kebijaksanaan-Nya yang maha sempurna. Demikian juga mengetahui secara global perkara yang memang harus diketahui seperti haramnya zina, minum khamr (segala yang memabukkan), daging babi, makan bangkai (termasuk binatang yang tidak disembelih atas nama Allah), haramnya semua yang najis. Dilarangnya mencuri, riba (bunga pinjaman atau hutang), merampas, menyuap, kesaksian palsu, memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar dan tanpa keridhaannya. Dia harus tahu pula haramnya seluruh kezaliman yaitu segala sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Haramnya menikahi ibu, anak, saudara kandung dan semua yang disebutkan dalam surat An Nisa’ ayat 23, haram pula membunuh seorang muslim dan semua perkara semacam yang disebutkan dalam Al Qur’an dan disepakati umat tentang keharamannya. Adapun mempelajari ilmu selain yang disebutkan, mengajarkannya kepada kaum muslimin, mengarahkan mereka pada maslahat agama dan dunia mereka, hukumnya adalah fardhu kifayah sebagaimana ditunjukkan oleh ayat di atas.
Wallahu A'lamu Bish-Shawwab

Ahlus Sunnah wal Jamaah dan Ijtihad Perspektif KH. A. Muchith Muzadi


Ditulis kembali oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

Sebagian kecil masyarakat ada yang mengidentikkan pengertian Ahlus Sunnah wal Jamaah dengan masalah khilafiyah sekitar tahlil, talqin, qunut, bacaan ushalli dalam mengawali salat, dan lain sebagainya. Sebenarnya masalah yang terkait dengan Ahlus sunnah wal jamaah jauh lebih mendasar, bukan hanya permasalahan yang sering dipertentangkan sebagai khilafiyah tersebut. Karena itu kiranya generasi muda perlu mendapatkan pemahaman yang wajar tentang masalah ini guna menghindari pertikaian, perselisihan, dan percekcokan yang tidak diketahui permasalahan yang sebenarnya.

Asal kata

Nabi Muhammad saw dalam salah satu haditsnya bersabda bahwa umat Islam nantinya terpecah dalam berbagai kelompok yang berbeda pendapat sebanyak 73 golongan. Dari seluruh golongan tersebut, yang selamat, tidak di neraka, hanya satu yaitu yang disebut dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Ketika ditanya tentang artinya, beliau menjawab singkat:
مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ


Segala yang aku berada di atasnya sekarang bersama para sahabatku, atau segala yang aku lakukan bersama sahabat-sahabatku.

Dari hadits tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:

* istilah ahlus sunnah wal jamaah sudah pernah dipergunakan oleh Nabi saw sendiri.* secara garis besar sudah diterangkan pula artinya.

Pengertian

Berdasar hadits tersebut dapat diuraikan pengertian sebagai berikut:

* Kata ahlun, ahlu atau ahli, berarti kaum atau golongan.* Kata assunnah artinya tingkah laku, kebiasaan, ucapan, perbuatan atau sikap Nabi saw. Sama persis dengan arti hadits, bahkan ada pendapat bahwa assunnah lebih mendalam dari pada hadits, yaitu sikap yang berulang-ulang menjadi kebiasaan atau karakteristik.* Kata wa atau wal adalah kata sambung, berarti "dan".* Kata aljamaah, semula berarti kelompok. Dalam hal ini pengertiannya sudah mengkhusus menjadi kelompok sahabat Nabi. Istilah sahabat Nabi artinya sudah mengkhusus pula, yaitu mereka yang beriman kepada Nabi dan hidup sezaman atau pernah berjumpa dengan beliau.

Analisis

Arti kata demi kata tersebut dapat dianalisis sebagai berikut:

* Kata ahlu sudah jelas.

* Kata assunnah dalam arti sempit hanya mencakup hadits, belum mencakup al-Quran, sumber pertama dari ajaran Islam. Tetapi kalau diingat bahwa Nabi Muhammad saw sebagai utusan Allah tidak pernah seujung rambut pun berbeda sikap dengan firman Allah (al-Quran), maka dapat dipastikan bahwa mengikuti assunnah pasti mengikuti al-Quran. Bahkan al-Quran itu dapat sampai kepada kita melalui beliau. Jadi ahlussunnah pasti ahlul Quran, tidak bisa lain.

* Kata wa menunjukkan bahwa kedua hal yang disebut sebelum dan sesudahnya adalah sama, meskipun tidak sederajat.* Kata aljamaah berarti para sahabat, terutama sahabat terkemuka. Mereka adalah orang-orang paling dekat dan selalu bersama Nabi. Mereka buka saja membaca atau mendengar sesuatu hadits, tetapi juga menghayati sesuatu yang tersurat pada hadits karena para sahabat, terutama sahabat terkemuka mengetahui:o sebab musabab sesuatu hadits timbul,o situasi pada saat timbul sesuatu hadits, dano hubungan sesuatu hadits dengan hadits yang lain, dengan ayat al-Quran, dengan kebiasaan atau tingkah laku Nabi sehari-hari dan sebagainya.

Kalau kita membaca sebuah hadits diibaratkan melihat sebuah potret, maka mereka lebih mengetahui obyek yang dipotret dan mengenal daerah sekitarnya, mengenal orang-orang yang ada pada potret itu. Mereka lebih menghayati hadits atau sunnah.

Faktor penghayatan mereka sangat penting sekali nilainya sebagai bahan pertimbangan utama untuk menyimpulkan sesuatu pendapat mengenai arti sesuatu hadits. Memang penghayatan atau pendapat para sahabat terkemuka tidak termasuk sumber hukum agama Islam sebagaimana al-Quran dan al-Hadits yang sahih. Tetapi mengabaikan atau meremehkan pendapat/penghayatan para sahabat terkemuka adalah suatu sikap yang kurang bijaksana. Apalagi kalau pengabaian atau peremehan hanya berdasar atas pendapat pihak yang meyakinkan penghayatan dan ketajaman analisisnya.

Bukan suatu hal yang mustahil ada sesuatu sikap atau tingkah laku Nabi yang dilihat dan dihayati oleh para sahabat terkemuka tetapi beritanya tidak sampai kepada kita. Mungkin tidak terbaca oleh kita, atau mungkin tidak tercatat oleh para pencatat hadits. Itulah antara lain sebabnya, masalah tarawih 20 rakaat, berdasar pendapat atau penghayatan sahabat Umar bin Khattab dan tidak ditentang oleh para sahabat lainnya diterima sebagai sesuatu yang benar. Demikian pula adzan dua kali untuk salat Jumat berdasar pendapat sahabat Utsman bin Affan. Sudah tentu nash sharih selalu didahulukan dari pendapat siapa pun.

Penilaian yang tinggi terhadap penghayatan para sahabat terbukti dengan bunyi hadits di atas, yang oleh Nabi sendiri dirangkaikan antara assunnah dengan aljamaah. Nabi pernah bersabda yang maksudnya bahwa para sahabatnya adalah ibarat bintang-bintang, yang dengan siapa saja kalau kamu sekalian mau ikut, maka kamu sekalian akan mendapat petunjuk. Meskipun demikian, tetaplah al-Hadits merupakan sumber kedua dari agama Islam di samping al-Quran, sedangkan penghayatan para sahabat terkemuka adalah petunjuk utama untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.

Dengan pengertian inilah kata assunnah dengan aljamaa dirangkaikan. Assunnah diartikan sebagaimana diuraikan di atas, dan aljamaah diartikan penghayatan dan amalan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk pembantu untuk mencapai ketepatan memahami dan mengamalkan assunnah. Oleh karena itu disimpulkan pengertian:

• assunnah wal jamaah: persis sama dengan

مَا اََنَا عَلَيْهِ اْليَوْمَ وَاَصْحَابِيْ


, yaitu:

1. ajaran yang dibawa, dikembangkan, dan diamalkan oleh Nabi Muhammad saw, dan2. dihayati, diikuti, dan diamalkan pula oleh para sahabat.

* ahlussunnah wal jamaah ialah golongan yang berusaha selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Secara popular dan mudah, tetapi berbau reklame dan agitasi dapat dirumuskan bahwa ahlussunnah wal jamaah adalah golongan yang paling setia kepada Nabi Muhammad saw.

Proses perkembangan

Sinyalemen Nabi tentang golongan dan perbedaan yang timbul ternyata benar. Maklum, bahwa hal yang disabdakan oleh beliau selalu berdasar wahyu Allah. Setelah beliau wafat mulai timbul orang-orang yang kemudian menjadi kelompok dan golongan, yang berangsur-angsur membedakan diri, memisahkan diri, dan mulai menyimpang dari garis lurus assunnah wal jamaah.

Faktor utama yang menyebabkan pembedaan, pemisahan, dan penyimpangan ialah sikap tatharruf atau ekstrimisme, berlebih-lebihan di dalam memegang pendirian atau melakukan sesuatu perbuatan. Sebagaimana adat dunia, tiap ada yang berlebihan ke kanan, biasanya timbul pihak yang berlebihan ke kiri.

Hal yang menonjol dalam sejarah ialah kebangkitan golongan Syiah yang berlebihan mencintai famili Nabi, sehingga menyalahkan sahabat Abu Bakar ra dan lain-lain. Sikap berlebihan ini makin lama makin hebat dan menimbulkan tandingan yang berlebihan pula, tetapi berlawanan arah.

Kemudian muncul golongan Khawarij yang terlalu kaku, radikal. Semula mereka tergolong Syiah, tetapi ketika ada usaha kompromi antara Syiah dan anti Syiah, maka golongan ini melepaskan diri dan menamakan diri Khawarij. Kalau golongan Syiah dapat disebut terlalu emosional sentimental atau terlalu mengikuti perasaan, maka golongan Khawarij dapat disebut terlalu radikal anarkis yang memusuhi semua pihak, tidak mau diatur.

Pada zaman berikutnya muncul lagi golongan Mu'tazilah yang terlalu memuja akal, sehingga kalau ada dalil nash yaitu al-Quran dan al-Hadits yang tidak atau kurang sesuai dengan selera pikiran, maka dipaksakan penafsiran menurut selera mereka yang terlalu rasionalistis.

Semula perbedaan atau penyimpangan kecil, makin lama membesar dan makin parah. Tiap penyimpangan disusul dengan penyimpangan, bercabang-cabang menjadi semrawut.

Hal-hal lain yang menambah keparahan perbedaan atau penyimpangan, bahkan penyelewengan dan bentrokan adalah:

* Kepentingan famili, politik, dan kekuasaan, Kepentingan politik telah menimbulkan golongan pro dan kontra Utsman bin Affan dan Ali bin Abu Thalib, berkelanjutan dengan golongan Umawiyah dan Abbasiyah.

* Infiltrasi kaum munafik yang berpura-pura Islam. Infiltrasi kaum munafik secara halus telah banyak menimbulkan pertentangan antara lain pernah ada 'anti Aisyah'.

* Sisa-sisa kepercayaan lama dan israiliyat yang sedikit banyak masih ada pada pemeluk Islam baru dari berbagai unsur seperti Majusi, Yahudi, Nasrani, dan lain-lain terselundup di kalangan kaum muslimin baik disengaja maupun tidak. Dongeng-dongeng yang tidak ada dasarnya dalam Islam adakalanya dianggap seperti dari Islam.

* Pengaruh filsafat barat, Yunani. Filsafat Yunani yang diungsikan dari barat karena dimusuhi oleh kaum Masehi banyak diterima, diterjemahkan, dan dikembangkan oleh sarjana-sarjana Islam. Disamping kemajuan berpikir yang positif, hal ini berakibatsampingan timbul sikap terlalu akal-akalan sehingga akidah Islam yang mudah dan logis menjadi rumit dan sulit.

Disamping penyimpangan dan penyelewengan yang semrawut, masih cukup kuat dan besar kaum muslim yang tetap berada pada jalan lurus dengan tokoh para ulama shalihin mukhlishin, ahli agama yang beramal saleh dan yang ikhlas. Mereka juga disebut ulama salaf yang berusaha, berjuang, dan bekerja keras memelihara, mempertahankan, menyiarkan, dan mengembangkan assunnah wal jamaah serta membentengi umat Islam dari unsur-unsur penyelewengan.

Prinsip kebenaran

Selain perjuangan praktis insidental mengajarkan assunnah wal jamaah dan menolak serangan atau penyelewengan, mereka juga berusaha keras mempersenjatai umat Islam dengan prinsip, metoda, dan haluan untuk tetap berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah agar terbentengi dari penyelewengan. Metoda, haluan atau pedoman dimaksud antara lain:

* nash yang qath'iy, yaitu al-Quran dan hadits sahih yang jelas tegas artinya selalu didahulukan.

* ar-ra'yu, akal pikiran dipergunakan dalam hal nash tidak qath'iy atau tidak ada /nash/nya.

* penggunaan ar-ra'yu untuk menyimpulkan hukum agama yang lazim disebut ijtihad hanya dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat yang ketat supaya hasilnya selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah.

* bagi yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut dipersilakan mengikuti hasil ijtihad para ahli yang memenuhi syarat.

* sikap tawassuth yaitu sikap tegak lurus yang tidak membelok ke kanan atau ke kiri dan sikap tawazun yaitu sikap berkeseimbangan yang tidak berat sebelah harus selalu menjadi pedoman dalam segala hal ketika menghadapi segala masalah agar tidak terjerumus kepada penyelewengan.

Metoda yang dibekalkan oleh para ulama salaf, shalihin, mukhlishin kepada umat Islam adalah agar selalu berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah. Tokoh paling terkenal di kalangan Islam yang pendapat dan hasil ijtihadnya diakui oleh dunia Islam sepanjang sejarah sebagai pendapat yang berada pada garis kebenaran assunnah wal jamaah antara lain:

* Bidang akidah, tauhid, atau kepercayaan: Imam Abul Hasan al-Asy'ariy dan Imam Abu Mansur al-Maturidiy.

* Bidang syariah, fikih, atau hukum: Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi'iy, dan Imam Hambali.

Sebenarnya masih banyak lagi selain yang disebut di atas, namun merekalah yang paling terkenal yang pendapat, hasil ijtihadnya, dan hasil perumusannya dapat dibukukan serta dipelajari sampai sekarang.

Argumentasi

Berdasarkan pedoman yang telah dibekalkan oleh para ulama salaf shalihin mukhlishin tersebut dapat dikemukakan argumentasi:

1. Nash qath'iy yang harus didahulukan sebelum penggunaan akal pikiran adalah memang sudah menjadi konsekuensi wajar atas syahadat kita, yaitu bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Quran; dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah yang membawa konsekuensi taat kepada al-Hadits.

2. Ar-ra'yu yang dipergunakan adalah berdasar hadits ketika Nabi Muhammad saw mengutus sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman. Sahabat tersebut memberikan jawaban atas ujian yang dilakukan oleh Nabi, bahwa ia akan selalu memberikan hukum berdasar al-Quran dan al-Hadits; kalau tidak ditemukan maka dia akan berijtihad yaitu menggunakan ra'yu. Nabi membenarkan jawaban sahabat Muadz.

3. Penggunaan ar-ra'yu yang harus dilakukan dengan memenuhi syarat ketat adalah wajar, karena dalam hal ini yang dicari bukanlah hal-hal duniawi tetapi hukum agama yang membawa konsekuensi ukhrawi. Hadits Nabi menerangkan bahwa barang siapa menafsirkan al-Quran dengan pendapat atau selera sendiri, maka baginya disiapkan tempat di neraka. Kesembronoan dalam menggunakan ra'yu atau ijtihad akan membawa konsekuensi yang berat, bukan saja dosa akibat salah karena sembrono, tetapi juga dosa para pengikutnya yang harus terpikul.

4. Keharusan seseorang yang tidak mampu memenuhi syarat berijtihad sendiri dan dipersilakan untuk mengikuti pendapat para ahli agama yang ahli ijtihad adalah wajar. Orang yang tidak tahu harus bertanya kepada yang tahu, yang tidak ahli harus bertanya kepada yang ahli. Firman Allah dalam al-Anbiya' ayat 7 yang artinya:Bertanyalah kepada ahli agama kalau kamu sekalian tidak tahu.

Siapakah yang ahli agama itu? Mereka adalah para ulama mujtahidin, yang memenuhi persyaratan ijtihad dan hasil ijtihadnya dapat diketahui dengan mudah karena terbukukan dengan lengkap. Mengikuti hasil ijtihad ahli agama inilah yang disebut bermadzhab atau taklid.

5. Umat Islam yang harus bersikap tawassuth, jalan tengah lurus, dan tawazun, berkeseimbangan, adalah memang watak atau karakteristik agama Islam dan demikian pula perintah Allah. Banyak ayat yang menunjukkan karakteristik Islam dan kaum muslim. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa tiap kebenaran itu selalu berada di tengah-tengah antara dua kesalahan. Kebenaran selalu berada pada yang berkeseimbangan. Sikap tawassuth dan tawazun adalah karakteristik yang menonjol bagi ahlus sunnah wal jamaah dalam semua bidang. Bahkan gaya hidup dan kehidupannya ditandai dengan karakter ini. Sudah barang tentu sikap tawassuth harus tidak menyeleweng dari kaidah agama yang lebih mutlak.

Perilaku ahlus sunnah wal jamaah

Seorang ahlus sunnah wal jamaah dalam realisasi kongkrit berperilaku sebagai berikut:

1. Mula-mula belajar pada seorang ulama atau guru agama yang memberikan pelajaran berdasar atas hasil ijtihad seorang mujtahid dan menerima kebenaran semua pelajaran tersebut.2. Kemudian mempelajari dalil yang menjadi dasar pelajaran tersebut sehingga lebih mantap.3. Bagi yang berkemampuan atau berkesempatan dapat dilanjutkan dengan memperbanding sesuatu pedapat dengan pendapat lain, menilai argumentasinya dan seterusnya.4. Mungkin kalau benar-benar dapat mencapai syarat-syarat kemampuan dan keikhlasan dapat berijtihad sendiri. Tetapi pada umumnya hanya sampai kepada kemampuan 'punya pendapat' sendiri di dalam satu hal tetapi masih dalam rangkaian pendapat para mujtahid sebelumnya.5. Berhati-hati dalam mengemukakan sesuatu pendapat sendiri karena harus pula mengakui kekuatan pendapat pihak lain sehingga selalu bersikap toleran, tawassuth, dan tawazun.

Dengan berbekal pedoman dari ulama salaf dalam proses pembinaan yang berabad-abad lamanya, terwujudlah golongan yang lazim disebut kaum kiyahi dengan santri-santrinya yang pada umumnya disebut dan menyebut diri ahlus sunnah wal jamaah. Suatu sebutan yang sama sekali tidak salah, tetapi harus segera diingatkan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidaklah terbatas hanya pada mereka saja. Mereka dengan tekun dan penuh disiplin ketat belajar dan memperdalam ilmu agama Islam serta pengamalannya menurut garis assunnah wal jamaah. Tetapi setiap muslim dapat menjadi ahlus sunnah wal jamaah yang baik asal mau mengikuti jejak dan mengikuti bekal yang diberikan oleh ulama salaf, tokoh pembela dan pejuang assunnah wal jamaah. Dengan mengikuti jejak mereka kita akan tetap berada di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah.

Anggapan bahwa ahlus sunnah wal jamaah tidak menggunakan akal pikirannya, hanya bertaklid buta saja, adalah suatu anggapan yang keliru. Anggapan bahwa kaum kiyahi dan santri tidak tahu dalil sesuatu masalah, hanya ikut-ikutan saja adalah anggapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.

Mungkin di kalangan mereka masih sedikit orang yang pandai berkomunikasi, berdialog, dan menyampaikan pikirannya dalam media massa modern seperti buku, majalah, dan sebagainya dengan menggunakan bahasa banyak dan mudah dipahami oleh masyarakat yang disebut masyarakat modern. Mereka lebih mengarahkan sasaran komunikasinya di kalangan intern. Hal ini merupakan tantangan bagi ahlus sunnah wal jamaah dan juga bagi semua pihak agar komunikasi menjadi lebih lancar, lebih terbuka, dan lebih baik. Saling pengertian yang lebih baik secara timbal balik sangat diperlukan.

Kaum muslim di Indonesia wajib melipatgandakan rasa syukur kepada Allah, karena pada umumnya tidak terdapat perbedaan pendapat yang besar dalam masalah keagamaan. Hal yang perlu kita garap adalah penyempurnaan kehidupan beragama kita, bukan mempertajam perbedaan pendapat. Untuk itu perlu memperdalam pengetahuan dan memperbanyak amal keagamaan, bukan perdebatan yang emosional. Diharapkan pengertian bagi generasi muda Islam terhadap hal seperti ini agar tidak membuat sempalan sendiri dengan jaringan liberal. 

Berijtihad vs bermadzhab

Berbicara tentang ahlus sunnah wal jamaah lazim dikaitkan dengan masalah ijtihad dan madzhab. Memang kedua hal tersebut ada hubungannya. Ijtihad yang pada uraian yang lalu diartikan juga penggunaan ra'yu adalah usaha keras untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu hal berdasar dari al-Quran dan/atau hadits, karena hal yang dicari hukumnya tidak ada nash yang sharih, jelas, tegas, atau qath'iy, pasti.

Ijtihad adalah usaha yang diperintahkan oleh agama Islam untuk mendapat hukum sesuatu yang tidak ada nash sharih dan qath'iy dalam al-Quran dan/atau hadits. Ijtihad dilakukan dengan beberapa metoda, yang paling terkenal adalah cara qiyas atau analogi dan ijma' atau kesepakatan para mujtahidin. Hasil berijtihad yang berwujud pendapat hukum itulah yang disebut madzhab yang asal artinya tempat berjalan.

Hasil ijtihad atau madzhab seorang mujtahid biasanya diterima dan diikuti oleh orang lain. Sementara orang lain yang tidak berkemampuan berijtihad sendiri yang menerima dan mengikuti hasil ijtihad disebut bermadzhab kepada mujtahid tersebut. Ibaratnya yang berijtihad adalah produsen dan yang bermadzhab adalah konsumen.

Persyaratan ijtihad

Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menurut ahlus sunnah wal jamaah bahwa ijtihad atau penggunaan ra'yu dalam menyimpulkan hukum agama harus disertai persyaratan yang ketat agar hasilnya tidak menyalahi assunnah wal jamaah. Persyaratan ijtihad cukup banyak, tetapi pada pokoknya adalah:

1. Kemampuan ilmu agama dengan al-Quran dan al-Hadits dan segala kelengkapannya seperti bahasa Arab, tafsir, dan lain-lain.2. Kemampuan menganalisis, menghayati, dan menggunakan metoda kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan.3. Semuanya dilakukan atas dasar akhlak atau mental yaitu keikhlasan mengabdi kepada Allah dalam mencari kebenaran, bukan sekedar mencari-cari argumentasi untuk membenar-benarkan kecenderungan selera dan nafsu atau kepentingan lain.

Jika dikomparasikan dengan produsen, persyaratan yang diperlukan adalan memiliki bahan baku, pengetahuan tentang bahan, dan teknologi yang benar untuk menghasilkan produksi yang benar dan bermanfaat. Kiranya tidak sulit dipastikan bahwa tidak semua orang dapat dan mampu melakukan ijtihad. Padahal semua orang Islam sudah harus melakukan perintah dan menjauhi larangan Allah, meskipun belum mampu berijtihad. Karena itu ada dua alternatif:

* Berijtihad sendiri, yang dapat dilakukan oleh mereka yang memenuhi persyaratan. Jumlah mereka sangat sedikit.* Menerima dan mengikuti hasil ijtihad atau madzhab orang lain, yang dapat dilakukan oleh semua orang. Kenyataan juga menunjukkan bahwa hampir semua orang Islam melakukannya, setidak-tidaknya pada waktu permulaan yang cukup panjang, bahkan seumur hidup karena tidak pernah mencapai kemampuan untuk berijtihad sendiri.

Mungkin ada orang yang merasa mampu berijtihad sendiri. Tetapi kalau diteliti, seringkali baru mencapai taraf 'merasa' mampu, namun belum benar-benar mampu. Oleh karena itu ahlus sunnah wal jamaah mengambil haluan bermadzhab bagi kebanyakan kaum muslimin, yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Bermadzhab sering disebut dengan bertaklid. Pengertian taklid hendaknya jangan digambarkan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, taklid buta, atau membuta tuli tanpa ada kesempatan menggunakan akal pikiran, tanpa boleh mempelajari dalil al-Quran dan al-Hadits. Pada taraf permulaan memang demikian. Setiap pelajaran yang diberikan oleh ulama, kiyahi, serta guru hendaknya diterima dan diikuti. Selanjutnya setiap muslim didorong dan dianjurkan untuk mempelajari dalil dan dasar pelajaran tersebut dari al-Quran dan al-Hadits.

Bermadzhab bukanlah tingkah laku orang bodoh saja, tetapi merupakan sikap yang wajar dari seorang yang tahu diri. Ahli hadits paling terkenal, Imam Bukhari masih tergolong orang yang bermadzhab Syafi'iy. Jadi, ada tingkatan bermadzhab. Makin tinggi kemampuan seseorang, makin tinggi tingkat bermadzhabnya sehingga makin longgar keterikatannya, dan mungkin akhirnya berijtihad sendiri.

Ada alternatif lain yang disebut ittiba', yaitu mengikuti hasil ijtihad orang lain dengan mengerti dalil dan argumentasinya. Beberapa hal yang dapat dikemukakan tentang ittiba' antara lain:

* Usaha untuk menjadikan setiap muslim dapat melakukan ittiba' adalah sangat baik, wajib didorong dan dibantu sekuat tenaga. Namun mewajibkan ittiba' atas setiap muslim dengan pengertian bahwa setiap muslim harus mengerti dan mengetahui dalil atau argumentasi semua hal yang diikuti kiranya tidak akan tercapai. Kalau sudah diwajibkan, maka yang tidak dapat melakukannya dianggap berdosa. Jika demikian, berapa banyak orang yang dianggap berdosa karena tidak mampu melakukan ittiba'?* Sebenarnya ittiba' adalah salah satu tingkat bermadzhab atau taklid yang lebih tinggi sedikit. Dengan demikian hanya terjadi perbedaan istilah, bahwa ittiba' tidak diwajibkan, melainkan sekedar anjuran dan didorong sekuat tenaga.

Kalau kita hayati kenyatannya, perbedaan faham mengenai masalah ijtihad dan taklid atau bermadzhab lebih banyak bersifat teoritis saja, sedangkan dalam praktek tidak banyak berbeda. Tak ada pihak anti ijtihad dan anti bermadzhab dalam arti murni dan mutlak. Pihak yang menamakan diri golongan bermadzhab sesungguhnya ingin juga mampu berijtihad karena hal tersebut diperintahkan agama sebagaimana disebut dalam hadits. Namun ketahudirian dan melihat kenyataan kemampuan yang dimiliki, ditempuhlah jalan yang lebih selamat dari kekeliruan di bidang agama yang membawa konsekuensi ukhrawi dan hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan berdasar al-Quran dan al-Hadits. Jalan tersebut adalah sistem bermadzhab.

Pihak yang menamakan diri sebagai golongan ijtihad sebenarnya dalam kenyataannya tidak mampu berijtihad sendiri. Mereka tetap mengikuti hasil ijtihad orang lain juga, melepaskan diri dari madzhab lama dan mengikuti madzhab baru. Di antara mereka ada yang dapat mengerti atau mengetahui beberapa dalil serta argumentasi 'hasil ijtihad' baru, tetapi lebih banyak yang tidak mengetahuinya.

Pertentangan yang timbul biasanya tidak bertitik tolak pada inti masalah, namun sudah berada di luarnya. Permasalahan yang timbul sering disebabkan ulah dan sikap mereka yang sok tahu, tetapi sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa.

Penyakit lain di kalangan umat Islam yang sangat mengganggu usaha kerukunan umat adalah terlalu berorientasi atau berkiblat kepada kepentingan golongan dan kurang berorientasi kepada pendirian keagamaan dan kepada agama. Upaya yang dilakukan adalah terlalu ingin memenangkan golongan masing-masing atau orang-orang di dalam golongan tersebut dan kurang terarah kepada kemenangan agama Islam dan pendirian keagamaan. Mereka akhirnya merasa puas kalau berhasil menyingkirkan golongan atau orang lain dan dapat merebut posisinya tanpa banyak memikirkan apakah posisi tersebut menguntungkan atau merugikan umat dan agama.

Penyakit yang sangat parah tersebut menghasung upaya pembinaan generasi muda yang penuh pengertian atas tanggung jawabnya pada masa depan. Penanganan dan pemupukan serta pengembangan bibit pengertian ke arah persatuan umat mutlak diperlukan demi kejayaan umat masa depan. Di tengah kerisauan menghadapi masalah generasi muda yang terkadang merisaukan kiranya perlu dipelihara sikap optimisme. Jika sikap optimisme hilang, maka menyebabkan kehilangan antusiasme, semangat, dan gairah yang berakibat kehilangan segala-galanya.

Sepanjang sejarah, tiap generasi tua yang pasti akan mengakhiri kiprahnya dalam peredaran zaman selalu melihat dengan telti kesalahan generasi muda yang akan menggantikan dengan penuh rasa khawatir. Kekhawatiran seperti itu adalah wajar, namun tidak boleh berlebihan yang dapat mengarah kepada peremehan, tidak percaya kepada generasi muda yang pasti akan menggantikan.

Karena itu generasi tua yang sadar akan memberikan bimbingan dengan penuh kasih sayang dan penuh kepercayaan. Dengan demikian tidak perlu meremehkan dan mencurigai generasi muda. Keberhasilan generasi tua dapat diceritakan, namun kegagalannya tidak boleh disembunyikan. Hal ini dimaksudkan untuk membuat generasi muda dapat mengambil pelajaran secara wajar, baik dari sisi keberhasilan maupun kegagalan atau kebelumberhasilan generasi tua. Keberhasilan perlu dikembangkan dan kegagalan perlu dipelajari penyebabnya serta dicari solusi agar dapat keluar dari kegagalan.

Reorientasi agamawi

Salah satu hal yang dipandang belum berhasil adalah kerukunan umat secara mantap. Berulangkali umat Islam Indonesia berhasil membentuk wadah kerukunan, namun belum berhasil memelihara dan mengembangkannya secara mantap. Melihat gelagat yang dapat dibaca dari situasi dunia Islam pada umumnya dan kaum muslimin Indonesia khususnya, kita dapat menancapkan harapan bahwa proses sejarah mengarah kepada masa depan Islam yang gemilang.

Terkadang kita perlu prihatin melihat beberapa kondisi yang tidak mengenakkan, terutama melihat posisi berbagai organisasi Islam, meski potensi sesuatu umat tidak hanya bergantung kepada posisi organisasinya saja. Banyak faktor lain yang ikut menentukan potensi tersebut.

Mari kita coba untuk merenungkan diri kembali. Orientasi umat Islam yang selama ini terpencar dan berserakan kiranya perlu dikembalikan ke pusatnya, yaitu masalah agamawi, atau berorientasi agamawi. Kita perlu berusaha dan bekerja keras, belajar, dan berupaya meningkatkan potensi agama Islam di Indonesia.

Perjuangan untuk menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan potensi agama dan umat bukan hanya tugas satu generasi saja. Perjuangan adalah tugas seluruh generasi secara berkesinambungan. Generasi tua harus sadar bahwa umur dan kesempatan sudah hampir pupus dan pada gilirannya pasti habis. Kemudi dan tanggung jawab pasti beralih ke tangan generasi muda, bagaimana pun kondisi generasi muda saat ini.

Karena itu kiranya perlu menjadikan generasi muda sebagai manusia sejarah dan manusia pejuang yang sanggup berdiri sendiri. Mereka tidak boleh menjadi anak-anak yang hanya pandai membanggakan hasil karya nenek moyangnya. Pepatah Arab mengatakan:

اِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا اَنَا ذَا * لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ اَبِيْ ...


Generasi muda ialah mereka yang berani berkata: "Inilah aku!", bukan mereka yang hanya dapat berkata: "Aku keturunan tokoh anu ..."

Kesimpulan

1. Ahlus sunnah wal jamaah adalah golongan yang selalu berusaha tetap di atas garis kebenaran assunnah wal jamaah, yaitu yang mempergunakan dasar al-Quran dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam serta penghayatan para sahabat terkemuka sebagai petunjuk untuk mencapai garis kebenaran yang ada pada al-Quran dan al-Hadits.2. Penggunaan ar-ra'yu atau akal untuk menyimpulkan hukum agama atas sesuatu masalah yang tidak ada nash sharih/jelas dalam al-Quran dan al-Hadits disebut dengan ijtihad; yang dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain qiyas/analogi dan ijmak atau kesepakatan para mujtahid. Karena hanya sedikit orang yang mampu memenuhi persyaratan mujtahid, maka ada alternatif untuk menerima dan mengikuti hasil ijtihad orang lain yang disebut dengan bermadzhab.3. Generasi muda perlu memahami akar masalah antara mampu berijtihad, merasa mampu berijtihad, atau tahu diri tentang kemampuannya dalam memahami masalah agama agar tidak terjadi pertikaian dan membuat kelompok-kelompok baru yang menyendiri.4. Generasi tua perlu memberikan bimbingan terhadap generasi muda yang pada gilirannya akan menggantikan kemudi dalam perjalanan sejarah berikutnya, bagaimanapun kondisi keberagamaan generasi mudanya saat ditinggalkan.

Nilai-Nilai Ahlussunnah Wal Jama'ah Perspektif KH.Sahal Mahfuzh


Ditulis kembali dari tulisan KH.Sahal Mahfuzh Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

ASWAJA atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagai paham keagamaan, mempunyai pengalaman tersendiri dalam sejarah Islam. Ia sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep ‘aqidah, syari’ah dan tasawuf dengan corak moderat. Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan ‘aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal.

Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.

Fleksibilitas Aswaja juga tampak dalam konsep ‘ibadah. Konsep ibadah menurut Aswaja, baik yang individual maupun sosial tidak semuanya bersifat muqoyadah -terikat oleh syarat dan rukun serta ketentuan lain- tapi ada dan bahkan lebih banyak yang bersifat bebas (mutlaqoh) tanpa ketentuan-ketentuan yang mengikat. Sehingga teknik pelaksanaannya dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi perkembangan rnasyarakat yang selalu berubah.

Demikian sifat-sifat fleksibilitas itu membentuk sikap para ulamanya. Karakter para ulama Aswaja menunut Imam Ghazali menunjukkan bahwa mereka mempunyai ciri faqih fi mashalih al-khalqi fi al-dunya. Artinya mereka faham benar dan peka terhadap kemaslahatan makhluk di dunia. Pada gilirannya mereka mampu mengambil kebijakan dan bersikap dalam lingkup kemaslahatan. Dan karena kemaslahatan itu sering berubah, maka sikap dan kebijakan itu menjadi zamani (kontekstual) dan fleksibel.
Aswaja juga meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Takdir dalam arti ukuran-ukuran yang telah ditetapkan, Allah meletakkan hidup dan kehidupan manusia dalam suatu proses. Suatu rentetan keberadaan, suatu urutan kejadian, dan tahapan-tahapan kesempatan yang di berikan-Nya kepada manusia untuk berikhtiar melestarikan dan memberi makna bagi kehidupan masing-masing.
Dalam proses tersebut, kehidupan manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan aspek yang walaupun dapat dibedakan, namun saling kait-mengait. Di sini manusia dituntut untuk mengendalikan dan mengarahkan aspek-aspek tersebut untuk mencapai kelestarian sekaligus menemukan makna hidupnya.
Sedang dalam berikhtiar mencapai kelestarian dan makna hidup itu, Islam Aswaja merupakan jalan hidup yang menyeluruh, menyangkut segala aspek kehidupan manusia sebagai makhluk individual mau pun sosial dalam berbagai komunitas bermasyarakat dan berbangsa. Aktualisasi Islam Aswaja berarti konsep pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami, yang pada gilirannya Islam Aswaja menjadi sebuah komponen yang mernbentuk dan mengisi kehidupan masyarakat, bukan malah menjadi faktor tandingan yang disintegratif terhadap kehidupan.
***
DALAM konteks pembangunan nasional, perbincangan mengenai aktualisasi Aswaja menjadi relevan, justru karena arah pelaksaan pembangunan tidak lepas dari upaya membangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa ia tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah (sandang, pangan, papan) semata, atau (sebaliknya) hanya membangun kepuasan batiniah saja, melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya.
Pandangan yang mengidentifikasikan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi belaka atau dengan berdirinya industri-industri raksasa yang memakai teknologi tinggi semata, cenderung mengabaikan keterlibatan Islam dalam proses pembangunan. Pada gilirannya sikap itu menumbuhkan perilaku individualistis dan materialistis yang sangat bertentangan dengan falsafah bangsa kita.
Proses pembangunan dengan tahapan pelita demi pelita telah mengubah pandangan masyarakat tradisional berangsur-angsur secara persuasif meninggalkan tradisi-tradisi yang membelenggu dinnya, kemudian mencari bentuk-bentuk lain yang membebaskan dirinya dari himpitan yang terus berkembang dan beragam. Dari satu sisi, ada perkembangan positif, bahwa masyarakat terbebas dari jeratan tradisi yang mengekang dari kekuatan feodalisme. Namun dari segi lain, sebenarnya pembangunan sekarang ini menggiring kepada jeratan baru, yaitu jeratan birokrasi, jeratan industri dan kapitalisme yang masih sangat asing bagi masyarakat.
Konsekuensi lebih lanjut adalah, nilai-nilai tradisional digeser oleh nilai-nilai baru yang serba ekonomis. Pertimbangan pertama dalam aktivitas manusia, diletakkan pada “untung-rugi” secara materiil. Ini nampaknya sudah menjadi norma sosial dalam struktur masyarakat produk pembangunan. Perbenturan dengan nilai-nilai Islami, dengan demikian tidak terhindarkan Secara berangsur-angsur etos ikhtiar menggeser etos tawakal, mengabaikan keseimbangan antara keduanya.
Konsep pembangunan manusia seutuhnya yang menuntut keseimbangan menjadi terganggu, akibat perbenturan nilai itu. Karena itu pembangunan masyarakat model apa pun yang dipilih, yang tentu saja merupakan proses pembentukan atau peningkatan -atau paling tidak menjanjikan- kualitas masyarakat yang tentu akan melibatkan totalitas manusia, bagaimana pun harus ditempatkan di tengah-tengah pertimbangan etis yang berakar pada keyakinan mendasar, bahwa manusia -sebagai individu dan kelompok- terpanggil untuk mempertanggungjawabkan segala amal dan ikhtiarnya kepada Allah, pemerintah dan masyarakat lingkungan sesuai dengan ajaran dan petunjuk Islam.
Manusia yang hidup dalam kondisi seperti terurai di atas dituntut agar kehidupannya bermakna. Ia sebagai khalifah Allah di atas bumi ini justru mempunyai fungsi ganda, pertama ‘ibadatullah yang kedua ‘imaratu al-ardl. Dua fungsi yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan fungsi yang kedua sangat rnempengaruhi kualitas fungsi yang pertama dalam rangka rnencapai tujuan hidup yakni sa’adatud darain. Makna hidup manusia akan tergantung pada kemampuan melakukan fungsinya sesuai dengan perkembangan kehidupan yang selalu berubah seiring dengan transformasi kultural yang menuntut pengendalian orientasi dan tata nilai yang Islami.
Dalam konteks ini, Aswaja harus mampu mendorong pengikutnya dan umat pada umumnya agar mampu bergaul dengan sesamanya dan alam sekitarnya untuk saling memanusiawikan. Aswaja juga harus menggugah kesadaran umat terhadap ketidakberdayaan, keterbelakangan serta kelemahan mereka yang merupakan akibat dari suatu keadaan dan peristiwa kemanusiaan yang dibuat atau dibentuk oleh manusia yang sudah barang tentu dapat diatasi oleh manusia pula.
Tentu saja, penumbuhan kesadaran tersebut masih dalam konteks melaksanakan ajaran Islam Aswaja, agar mereka tidak kehilangan nilai-nilai Islami. Justru malah potensi ajaran Islam Aswaja dikembangkan secara aplikatif ke dalam proses pengembangan masyarakat. Pada gilirannya pembangunan manusia seutuhnya akan dapat dicapai melalui ajaran Islam Aswaja yang kontekstual di tengah-tengah keragaman komunitas nasional.
Untuk melakukan pembangunan masyarakat sekarang mau pun esok, pendekatan yang paling tepat adalah yang langsung mempunyai implikasi dengan kebutuhan dari aspek-aspek kehidupan. Karena dengan demikian masyarakat terutama di pedesaan akan bersikap tanggap secara positif.
Kondisi dinamis sebagai kesadaran yang muncul, merupakan kesadaran masyarakat dalam transisi yang perlu diarahkan pada pemecahan masalah, pada gilirannya mereka di sarnping menyadari tema-tema zamannya juga menumbuhkan kesadaran kritis. Kesadaran ini akan meningkatkan kreativitas, menambah ketajaman menafsirkan masalah dan sekaligus menghindari distorsi dalam memahami masalah itu. Kesadaran kritis ini memungkinkan masyarakat memahami faktor-faktor yang melingkupi aktivitasnya dan kemudian mampu melibatkan diri atas hal-hal yang membentuk masa depannya.
***
KEBUTUHAN akan rumusan konsep aktualisasi Islam Aswaja, menjadi amat penting adanya. Konsep itu akan menyambung kesenjangan yang terjadi selama ini, antara aspirasi keagamaan Islam dan kenyataan ada. Suatu kesenjangan yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin dalam proses pembangunan masyarakat, yang cenderung maju atas dorongan inspirasi kebutuhan hidup dari dimensi biologis semata.
Merumus kan konsep-konsep yang dimaksud, memang tidak semudah diucapkan. Identifikasi masalah-masalah sosial secara general dan spesifik masih sulit diupayakan, sehingga konsep aktualisasi secara utuh pun tidak mudah diformulasikan. Akan tetapi secara sektoral aktualisasi itu dapat dikonseptualisasikan secara jelas dalam konteks pendekatan masalah yang dilembagakan secara sistematis, terencana dan terarah sesuai dengan strategi yang ingin dicapai.
Kemampuan melihat masalah, sekaligus kemampuan menggali ajaran Islam Aswaja yang langsung atau tidak langsung bisa diaktualisasikan dalam bentuk kegiatan implementatif yang dilembagakan, menjadi penting. Masalah yang sering disinggung oleh berbagai pihak dan menarik perhatian adalah keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan yang ada pada garis lingkarbalik (daur). Rumusan Khittah 26 pasal ke-6 juga menyinggung keprihatinan NU atas manusia yang terjerat oleh tiga masalah itu.
Aktualisasi Islam Aswaja dalam hal ini menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep motivator untuk menumbubsuburkan kesadaran kritis dan membangkitkan kembali solidaritas sosial di kalangan umat yang kini cenderung melemah akibat perubahan nilai yang terjadi.
Dari sisi lain, ada yang menarik dari konsep Aswaja mengenai upaya penanggulangan kemiskinan. Konsep ini sangat potensial, namun jarang disinggung, bahkan hampir-hampir dilupakan. Yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menakahi kaum fakir miskin, bila tidak ada baitul mal al muntadzim. Konsep ini mungkin perlu dilembagakan. Dan masih banyak lagi konsep-konsep ibadah sosial dalam Islam Aswaja yang mungkin dilembagakan sebagai aktualisasinya.
Ajaran Islam Aswaja bukan saja sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam pembangunan masyarakat, namun ia secara multi dimensional sarat juga dengan norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan. Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial. Karena syariat Islam itu sendiri, justru mengatur hubungan antara manusia individu dengan Allah, antara sesama manusia dan antara manusia dengan alam lingkungannya.
Hubungan yang kedua itu terumuskan dalam prinsip mu’amalah yang bila dijabarkan mampu membongkar kelemahan sekaligus memberi solusi bagi paham kapitalisme dan sosialisme. Konsep itu terumuskan dalam prinsip mu’asyarah yang tercermin dalam berbagai dimensi hubungan interaktif dalam struktur sosial yang kemudian dipertegas oleh rumusan Khittah 26 butir empat, tentang sikap kemasyarakatan NU sebagai aktualisasinya.
Tentang hubungan ketiga antara manusia dengan alam lingkungannya terumuskan dalam prinsip kebebasan mengkaji, mengelola dan memanfaatkan alam ini untuk kepentingan manusia dengan tata keseimbangan yang lazim, tanpa sikap ishraf (melampaui batas) dan tentu saja dengan lingkungan maslahah. Dalam pengelolaan dan pemanfaatan alam itu tentu saja berorientasi pada prinsip mu’asyarah maupun mu’amalah yang menyangkut berbagai bentuk kegiatan perekonomian yang berkembang. Berarti diperlukan konsep mu’amalah secara utuh yang mampu mengadaptasikan perkembangan perekonomian dewasa ini sebagai aktualisasi ajaran Islam Aswaja.

Umat Islam Terpecah Menjadi 73 Firqoh, dan 1 Firqah Yang Selamat Yaitu Ahlussunnah Wal Jamaah


Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّيٰ الله عَلَيْهِ وَسلَّمْ  : وَالذِّي نَفْسِيْ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقُ اُمَّتِيْ عَليٰ ثَلَثٍ وَسبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ قِيْلَ  :  مَنْ هُمْ يَارَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ        ( رواه الطبرَني )
Artinya : Rosululloh saw bersabda : demi Tuhan yang menguasai jiwa Muhammad, sungguh umatku nanti akan pecah menjadi 73 golongan, satu golongan masuk surga dan yang 72 golongan akan masuk neraka, seorang sahabat bertanya “ siapakah mereka yang masuk surga itu, ya Rosulalloh ? “ Rosul menjawab “ Mereka itu adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah “ ( H. R. Imam Thobroni ).

Hadits tersebut menyatakan bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua akan masuk neraka kecuali satu golongan, yakni golongan yang mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ( Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah ). Apakah Hadits tersebut dapat dipertanggungjawabkan ke-shahih-annya?…Memang ada banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini. Semuanya menggunakan redaksi yang berbeda.

Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi:
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ، قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. اِنَّ بَنِيْ  اِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَليٰ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرَقَتْ اُمَّتِيْ عَليٰ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِيْ النَّارِ اِلاَّ مِلَّةً وَاحِيْدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ مَا اَنَا عَليْهِ وَاَصْحَبِيْ  
“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Israil telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, “(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku,” (Sunan al-Tirmidzi, 2565)

Mayoritas ulama menyatakan bahwa hadits ini dapat dijadikan pegangan, karena diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi Muhammad SAW. Seorang ahli Hadits, Syaikh Muhammad bin Ja’far al-Hasani al-Kattani mengatakan:
“Hadits yang menjelaskan sabda Nabi SAW tentang umatnya yang akan menjadi tujuh puluh tiga golongan, satu di surga dan tujuh puluh dua masuk neraka, diriwayatkan dari hadits amiril mu’min ‘Ali bin Abi Thalib RA, Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibnu ‘Umar, Abi al-Darda, muawwiyah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Abi Umamah, Watsilah, ‘Awf bin Malik dan Amr bin Awf al-Muzanni. Mereka semua meriwayatkan bahwa satu golongan yang akan masuk surga, yakni al-jama’ah.” (Nazh al-Mutanatsir min al-Hadits al-Mutawattir, 58. dikutip dari Syarh Aqidah al-Saffarini).

Hadits tentang sejumlah 73 golongan yang terpecah dalam Islam


Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Orang-orang Yahudi terpecah kedalam 71 atau 72 golongan, demikian juga orang-orang Nasrani, dan umatku akan terbagi kedalam 73 golongan.” HR. Sunan Abu Daud.


Dalam sebuah kesempatan, Muawiyah bin Abu Sofyan berdiri dan memberikan khutbah dan dalam khutbahnya diriwayatkan bahwa dia berkata, “Rasulullah SAW bangkit dan memberikan khutbah, dalam khutbahnya beliau berkata, 'Millah ini akan terbagi ke dalam 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, (hanya) satu yang masuk surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-Jamaa’ah. Dan dari kalangan umatku akan ada golongan yang mengikuti hawa nafsunya, seperti anjing mengikuti tuannya, sampai hawa nafsunya itu tidak menyisakan anggota tubuh, daging, urat nadi (pembuluh darah) maupun tulang kecuali semua mengikuti hawa nafsunya.” HR. Sunan Abu Daud.

Dari Auf bin Malik, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:"Yahudi telah berpecah menjadi 71 golongan, satu golongan di surga dan 70 golongan di neraka. Dan Nashara telah berpecah belah menjadi 72 golongan, 71 golongan di neraka dan satu di surga. Dan demi Allah yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya umatku ini pasti akan berpecah belah menjadi 73 golongan, satu golongan di surga dan 72 golongan di neraka." Lalu beliau ditanya: "Wahai Rasulullah siapakah mereka ?" Beliau menjawab: "Al Jamaah." HR Sunan Ibnu Majah.


Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Orang-orang Bani Israil akan terpecah menjadi 71 golongan dan umatku akan terpecah kedalam 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, kecuali satu, yaitu Al-Jamaa’ah.” HR. Sunan Ibnu Majah.


“Bahwasannya bani Israel telah berfirqah sebanyak 72 firqah dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya akan masuk Neraka kecuali satu.”  Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Ya Rasulullah?”  Nabi menjawab: ” Yang satu itu ialah orang yang berpegang sebagai peganganku dan pegangan sahabat-sahabatku.” HR Imam Tirmizi.


Abdullah Ibnu Amru meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda : “Umatku akan menyerupai Bani Israil selangkah demi selangkah. Bahkan jika seseorang dari mereka menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, seseorang dari umatku juga akan mengikutinya. Kaum Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya akan masuk neraka, hanya satu yang masuk surga.” Kami (para shahabat) bertanya, “Yang mana yang selamat ?” Rasulullah Saw menjawab, “ Yang mengikutiku dan para sahabatku.” HR Imam Tirmizi.


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda:  “Orang-orang Yahudi terbagi dalam 71 golongan atau 72 golongan dan Nasrani pun demikian. Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan.” HR Imam Tirmizi.


Diriwayatkan oleh Imam Thabrani, ”Demi Tuhan yang memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berpecah umatku sebanyak 73 firqah, yang satu masuk Syurga dan yang lain masuk Neraka.” Bertanya para Sahabat: “Siapakah (yang tidak masuk Neraka) itu Ya Rasulullah?” Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal Jamaah.” (HR ath-Thabarani)


Mu’awiyah Ibnu Abu Sofyan meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :  “Ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam masalah agamanya terbagi menjadi 72 golongan dan dari umat ini (Islam) akan terbagi menjadi 73 golongan, seluruhnya masuk neraka, satu golongan yang akan masuk surga, mereka itu Al-Jamaa’ah, Al-Jamaa’ah. Dan akan ada dari umatku yang mengikuti hawa nasfsunya seperti anjing mengikuti tuannya, sampai hawa nafsunya itu tidak menyisakan anggota tubuh, daging, pembuluh darah, maupun tulang kecuali semua mengikuti hawa nafsunya. Wahai orang Arab! Jika kamu tidak bangkit dan mengikuti apa yang dibawa Nabimu…”HR.Musnad Imam Ahmad.

Berdasarkan beberapa hadist yang saling menguatkan dengan pertimbangan ini, sudah selayaknya kalau kita meyakini bahwa Hadits tersebut memang shahih, sehingga dapat dijadikan pedoman.
Sebagian Ulama memang menpertanyakan kesahihan hadis tersebut. Namun mengingat banyaknya riwayat, para ulama menetapkan sahihnya hadis tersebut. Kemudian dalam hadis lain, Nabi telah menyebutkan secara eksplisit, golongan-golongan yang sesat, seperti kelompok qadariyah yang primitif.

Pada awalnya golongan yang sesat tersebut terdiri dari 6 kelompok kemudian dari 6 kelompok masing - masing terbagi dan berkembang menjadi 12 golongan sehingga menjadi 72 golongan yang sesat....6 kelompok tersebut adalah : 1. Al Haruriyah....2. Al Qadariyah....3. Al Jahmiyah....4. Al Murji'ah....5. Ar Rafidhah....6. Al Jabariyah.


I. Kelompok Al Haruriyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka  :
  1. Al Azraqiyah : Mereka berkata bahwa kami tidak mengenal seorangpun yang kami anggap sebagai orang mukmin. Mereka mengkafirkan semua orang mukmin kecuali orang yang mau menerima ucapan ( pendapat ) mereka.
  2. Al Abadhiyah : Mereka berkatasiapa yang menerima pendapat kami maka dia beriman sedangkan yang berpaling dan mengingkari pendapat kami adalah munafiq.
  3. Ats Tsa'labiyah : Mereka berkata bahwa sesungguhnya Allah tidak menetapkan dan juga tidak tidak mentakdirkan segala sesuatu.
  4. Al Khazimiyah : Mereka berkata bahwa kami tidak mengenal apa itu iman dan akhlaq. Semua orang kami anggap salah.
  5. Al Khalfiyah : Mereka menganggap bahwa orang yang tidak melakukan jihad baik laki - laki maupun perempuan berarti dia telah kafir.
  6. Al Kuziayah : Mereka berkata bahwa seseorang tidak boleh menyentuh orang lain karena dia tidak tahu apakah orang lain itu suci atau najis.
  7. Al Kanziyah : Mereka berkata bahwa seseorang hendaknya tidak memberikan hartanya kepada orang lain karena bisa jadi orang itu sebenarnya tidak berhak. Akan tetapi hendaknya hartanya disimpan ditimbun di dalam tanah hingga ditemukan oleh orang yang benar dan berhak memilikinya.
  8. Asy Syamrakhiyah : Mereka berkata bahwa tidak masalah jika menyentuh wanita walaupun bukan mahram karena mereka baunya wangi.
  9. Al Akhnasiyah : Mereka berkata bahwa orang yang meninggal tidak diikuti oleh kebaikan dan keburukan apapun setelah kematiannya.
  10. Al Hukmiyah : Mereka berkata bahwa siapa saja yang meminta keputusan fatwa hukum kepada makhluq maka berarti dia kafir.
  11. Al Mu'tazilah : Mereka berkata bahwa kelompok Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bagi kami sama ( Perang Siffin ), jadi kami memilih untuk terlepas dari kedua kelompok tersebut dengan tidak mengakuinya.
  12. Al Maimuniyah : Mereka berkata bahwa tidak ada kepemimpinan melainkan dengan pemimpin ( imam ) dari orang - orang yang kami cintai.

II. Kelompok Al Qadariyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka   :
  1. Ahmariyah : Mereka beranggapan bahwa syarat keadilan dari Allah adalah dengan cara menguasai dan menghalangi dengan kemaksiatan.
  2. Tsanawiyah : Mereka menyatakan bahwa kebaikan itu dari Allah dan keburukan berasal dari syetan.
  3. Mu'tazilah : Mereka mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluq dan mengingkari sifat rububiyah Allah.
  4. Kaisaniyah : Mereka yang mengatakan bahwa tidak mengetahui apakah perbuatan - perbuatan ini berasal dari Allah atau berasal dari hamba dan tidak mengetahui apakah manusia mendapatkan pahala atau sebaliknya akan memperoleh hukuman.
  5. Syaithaniyah : Mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan syetan.
  6. Syarikiyah : Mereka yang mengatakan bahwa keburukan semuanya telah ditakdirkan kecuali kekufuran.
  7. Wahmiyah : Mereka yang mengatakan bahwa perbuatan dan ucapan tidak berbentuk dzat dan demikian pula dengan kebaikan dan keburukan juga tidak memiliki dzat.
  8. Zabriyah : Mereka berkata bahwa Seluruh kitab suci yang diturnkan Allah maka mengamalkannya adalah suatu perbuatan yang benar baik yang nasikh maupun mansukh.
  9. Mas'adiyah : Merekan menganggap bahwa orang yang berbuat maksiat kemudian bertaubat maka taubatnya tetap tidak diterima.
  10. Nakitsiyah : Mereka beranggapan bahwa orang yang melanggar pembaitan Rasulullah maka dia tidak berdosa.
  11. Qasithiyah : Mereka mengikuti Ibrahim bin Nizam dengan perkataan bahwa siapa saja yang menganggap Allah adalah sesuatu maka berarti dia telah kafir.
  12. Qashriyah : Mereka yang mengubah jumlah rakaat shalat fardhu yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat saja.

III. Kelompok Jahmiyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :
  1. Mu'athalah : Mereka beranggapan bahwa setiap yang terbersit dalam bayangan ( dugaan ) seseorang maka ia adalah makhluq dan seseorang yang menganggap bahwa Allah dapat dilihat adalah kafir.
  2. Marisiyah : Mereka yang mengatakan bahwa kebanyakan sifat - sifat Allah adalah makhluq.
  3. Multaziqah : Mereka menegaskan bahwa Allah berada di segala tempat.
  4. Waridiyah : Mereka yang mengatakan bahwa tidak akan masuk neraka orang yang mengenal Tuhannya dan siapa saja yang masuk ke dalam neraka maka dia tidak akan dapat keluar darinya selamanya.
  5. Zanadiqah : Mereka berkata bahwa tidak seorangpun yang dapat menetapkan bahwa dirinya ada yang memiliki karena penetapan itu tidak dapat dilakukan kecuali setelah diketahui oleh panca indera. Sesuatu yang tidak diketahui oleh panca indera maka tidak dapat ditetapkan.
  6. Harqiyah : Mereka beranggapan bahwa orang yang kafir akan dibakar oleh api neraka sekali dan kemudian dia akan terus dalam keadaan terbakar selamanya.
  7. Makhluqiyah : Mereka menganggap bahwa Al Qur'an adalah makhluq.
  8. Faniyah : Mereka menganggap bahwa syurga dan neraka itu fana dan mereka beranggapan bahwa syurga dan neraka itu belum diciptakan.
  9. Abadiyah : Mereka yang mengingkari para rasul. Mereka mengatakan bahwa mereka hanyalah para hakim atau penguasa.
  10. Waqifiyah : Mereka mengatakan bahwa kami tidak tahu bahwa Al Qur'an itu makhluq atau bukan makhluq.
  11. Qabriyah : Mereka mengingkari adzab kubur dan syafaat.
  12. Lafzhiyah : Mereka mengatakan bahwa lafazh kami dalam mengucapkan Al Qur'an adalah makhluq.

IV. Kelompok Murji'ah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :
  1. Tarikiyah : Merka mengatakan bahwa Allah tidak mewajibkan kepada makhluq Nya kecuali beriman kepada Nya. Siapa saja yang beriman maka Dia akan melakukan dan menetapkan sesuai dengan kehendak Nya.
  2. Saibiyah : Mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah membebaskan kepada makhluq Nya untuk melakukan apa yang mereka inginkan.
  3. Raj'iyah : Mereka yang mengatakan bahwa orang yang taat maka tidak dapat disebut sebagai orang yang taat dan orang yang suka bermaksiat tidak dapat disebut sebagai ahli maksiat karena kami tidak mengetahui kedudukannya disisi Allah.
  4. Salibiyah : Mereka berkata bahwa ketaatan bukan bagian dari keimanan.
  5. Bahisyiyah : Mereka berkata bahwa keimanan itu adalah ilmu dan siapa saja yang tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram maka berarti dia kafir.
  6. Amaliyah : Mereka mengatakan bahwa keimanan adalah amal perbuatan.
  7. Manqushiyah : Mereka mengatakan bahwa keimanan itu tidak bertambah dan tidak berkurang.
  8. Mustatsniyah : Mereka mengatakan bahwa pengecualian adalah bagian dari iman.
  9. Musyabbahah : Mereka mengatakan bahwa penglihatan ( mata ), pendengaran ( telinga ), tangan, kaki adalah sama dengan apa yang diketahui makhluq sebagaimana lazimnya.
  10. Hasyawiyah : Mereka berkata bahwa hukum hadits - hadits adalah satu. Bagi mereka meninggalkan sunnah berarti sama saja telah meninggalkan yang wajib.
  11. Zhahriyah : Mereka yang menafikan dan mengingkari qiyas atau majaz.
  12. Bada'iyah : Mereka yang pertama kali menciptakan hal - hal bid'ah pada umat ini yang suka menambahkan sesuatu yang baru yang tidak selaras dengan Al Qur'an dan Hadits.

V. Kelompok Rafidhah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :
  1. Alawiyah : Mereka mengatakan bahwa risalah kenabian sebenarnya ditujukan kepada Ali dan Jibril telah melakukan kesalahan.
  2. Amiriyah : Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Ali adalah rekan Nabi Muhammad dalam hal kenabian.
  3. Syiah : Mereka mengatakan bahwa Ali adalah penerima wasiat sebagai pengganti Rasulullah setelah belaiau wafat. Umat Islam yang membaiat kepemimpinan ( khilafah ) setelah Rasulullah kepada selain Ali berarti dia telah kafir.
  4. Ishaqiyah : Mereka mengatakan bahwa kenabian itu tidak berakhir dan akan terus bersambung hingga hari kiamat. Oleh karena itu setiap orang yang memiliki ilmu tentang ahlul bait maka berarti dia seorang nabi.
  5. Nawusiyah : Mereka yang mengatakan bahwa Ali adalah umat terbaik. Siapa saja yang lebih mengistimewakanyang lainnya maka berarti dia telah kafir.
  6. Imamiyah : Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak mungkin tanpa seorang pemimpin yang berasal dari keturunan Husein. Dan seorang imam diajarkan langsung oleh malaikat Jibril. Jika seorang imam wafat maka kedudukannya digantikan oleh yang lainnya.
  7. Zaidiyah : Mereka mengatakan bahwa anak keturunan Husein seluruhnya adalah pemimpin ( imam ) dalam shalat. Oleh karenanya jika mendapatkan salah seorang dari keturunan Husein maka keturunan Husein tidak boleh melakukan shalat di belakang orang lain.
  8. Abbasiyah : Mereka yang menganggap bahwa Abbas adalah orang yang paling berhak memimpin kekhilafahan Islam daripada yang lainnya.
  9. Tanasukhiyah : Mereka mengatakan bahwa ruh - ruh manusia dapat ber reinkarnasi. Oleh karena itu jika orang itu baik maka ruh nya akan keluar dan masuk ke dalam tubuh makhluq yang membuatnya dapat berbahagia dalam kehidupannya.
  10. Raj'iyyah : Mereka menganggap bahwa Ali dan sahabat - sahabatnya akan kembali ke dunia dan akan membalas dendam kepada musuh - musuh mereka.
  11. La'inah : Mereka yang melaknat Abu Bakar, Umar, Ustman, Thalhah, Zubair, Mu'awiyah, Abu Musa, Aisyah dan yang lainnya.
  12. Mutarabbishah : Mereka yang berpenampilan dengan mengenakan pakaian seperti ahli ibadah. Setiap tahun mereka mengangkat seseorang yang menjadi tempat sandaran mereka dalam setiap urusan mereka ( amir / mursyid ). Jika orang itu wafat akan digantikan dan diserahkan kedudukannya kepada yang lainnya.

VI. Kelompok Jabariyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :
  1. Mudhtharibah : Mereka yang mengatakan bahwa manusia sebenarnya tidak dapat berbuat apa - apa akan tetapi Allah lah yang melakukan segala sesuatu untuknya.
  2. Af'aliyah : Mereka yang mengatakan bahwa kita dapat melakukan sesuatu akan tetapi pada hakekatnya kita tidak memiliki kemampuan. Kita seperti hewan yang diikat.
  3. Mafrughiyah : Mereka yang mengatakan bahwa segala sesuatu sudah diciptakan dan sekarang tidak ada sesuatupun yang baru diciptakan.
  4. Nujariyah : Mereka mengatakan bahwa Allah akan memberikan adzab kepada manusia atas perbuatannya bukan atas perbuatan orang lain.
  5. Mananiyah : Mereka mengatakan bahwa kamu wajib melakukan sesuatu yang terbersit dalam hatimu. Maka laksanakanlah jika yang terdetik itu merupakan kebaikan.
  6. Kasbiyah : Mereka mengatakan bahwa seorang hamba tidak dapat mengusahakan pahala dan hukuman.
  7. Sabiqiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang berkeinginan maka lakukanlah keinginan itu. Siapa saja yang tidak mau melakukannya maka janganlah melakukannya. Sesungguhnya orang yang bahagia ( ahli syurga ) tidak akan bermanfaat kebaikannya.
  8. Habbiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang meminum gelas kecintaan kepada Allah maka gugurlah kewajibannya dalam beribadah melaksanakan rukun - rukun agama yang telah ditetapkan.
  9. Khufiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang mencintai Allah maka dia tidak akan memiliki kemampuan untuk takut kepada Nya. Karena seorang kekasih tidak akan takut kepada kekasihnya.
  10. Fikriyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang keilmuannya bertambah maka gugurlah kewajiban ibadah baginya sesuai dengan tingkat keilmuannya.
  11. Khasyabiyah : Mereka mengatakan bahwa dunia ini bagi para hamba adalah sama, tidak ada keistimewaan bagi sebagian dari mereka tanpa sebagian yang lain sesuai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
  12. Maniyah : Mereka mengatakan bahwa dari kita suatu perbuatan dilakukan dan kita memiliki kemampuan untuk melakukannya.

Sumber : [ Al Milal wa An Nihal, Asy Syahrustani dan I'tiqad Firaq Al Muslimin wal Musyrikin,Fakhruddin Ar Razi ]

Dalam menafsirkan hadis tersebut para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud kelompok sesat, bukanlah kelompok-kelompok Islam yang muncul karena perbedaan masalah fiqh. Namun yang dimaksud kelompok sesat, adalah kelompok yang memang telah keluar dari ajaran-ajaran pokok Islam. Seperti kelompok yang mengingkari rukun-rukun Islam dan Iman. Jadi kelompok yang mengamalkan rukun Islam dan mempercayai rukun-rukun iman, mereka ini termasuk kelompok yang selamat. Adapun kelompok-kelompok Islam yang ada sekarang ini, kita juga harus melihatnya melalui kacamata di atas. JIka penyimpangan yang terjadi sesuai dengan kriteria diatas, maka aliran tersebut masuk dalam Firqah/golongan tersebut diatas. Sejauh mereka mengamalkan syariat Islam serta berakidah dengan aqidah yang islami, maka kita tidak boleh memberinya cap sebagai kelompok yang sesat.

Berikut ini beberapa etika bila menemukan beda pendapat antar kelompok:
  1. Memulai dengan "husnuzzan" (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
  2. Menghargai pendapat kelompok lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
  3. Tidak memaksakan kehendak bahwa kelompoknyalah yang paling benar, karena pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang, sejauh dalam diskursus syariah.
  4. Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkannya.
  5. Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan "Laailaaha illallah".
  6. Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
  7. Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
  8. Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.


AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH

Jika dilihat dari segi bahasa, Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah terdiri dari tiga kata :
1.       Ahlun  (اَهْلٌ ) artinya golongan, keluarga atau orang yang mempunyai atau orang yang menguasai, misalnya :
-          اَهْلُ الْبَيْتِ  Artinya : Keluarga atau kaum kerabat
-          اَهْلُ اْلاَمْرِ Artinya Orang yang mempunyai urusan atau penguasa
2.      As-Sunnah (اَلسُّنَّةِ ) artinya meliputi : perkataan, perbuatan, ketetapan.
Secara istilah yang dimaksud adalah apa yang datang dari Rosululloh saw. yang meliputi perkataan ( sabda Nabi ), perbuatan Nabi ( af’al ) dan ketetapan Nabi (taqrir).
3.      al-Jama’ah (اَلْجَمَاعَةِ ) artinya kumpulan atau kelompok.
Secara Istilah yang dimaksud Jama’ah adalah para sahabat Rosululloh saw. terutama adalah khulafa’ur rosyidin yaitu  Khalifah  : Abu Bakar as-Shidiq ra., Umar bin Khottob ra., Utsman bin ‘Affan ra., dan Ali bin Abi Tholib ra.
Arti  Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah ) secara Istilah adalah :
Kaum atau golongan yang menganut/mengikuti serta mengamalkan ajaran agama Islam yang murni sesuai yang diajarkan dan diamalkan oleh Rosululloh saw dan para sahabatnya.
Menurut Muhammad bin Muhammad bin al-Husaini az-Zabidi dalam kitabnya berjudul Ithafus Sadah al-Muttaqin ( Sarah kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghozali ) mengatakan : Yang dikatakan  Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah ) adalah :

اِذَا اُطْلِقَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اَلاَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِدِيَّةُ
Artinya adalah : Apabila di sebut Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah ) maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti paham Imam Al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.

Sumber : 
1. Kitabul Asma’ Wal Shifaat, karangan Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thaher al Baghdadi.
2. Kitabussunnah, karangan Imam Abdul Qasim Hibbatullah bin Hasan at Thabarai Allakai
3. Kitab Tadzkiratul Qusyaairiyah, karangan Imam Abdul Karim al Qusyairi
4. Kitab al Madkhalul Ausath ila ilmil Kalam, karangan Imam Abu Bakar Muhammad bin Hasan bin Faurak
5. Kitab al Iqdus Shafi, karangan Imam Abdul Qasim Abdurrahman bin Abdus Shamad Al Iskafi an Nisaburi
6. Kitab Umdtul ‘Aqaid wal Fawaid karangan Imam Yusuf bin Dzu Nas Al Fandlai al Maliki
7. I’itiqad Ahlussunnah wal jama’ah, karangan Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf al Juwaini
8. I’itiqad Ahlussunnah wal jama’ah, karangan Imam Abdul Qasim Abdul Karim dan Hazin Al Qusyairi
9. Lam’ul Adillah fi Qawaid ‘Aqaid Ahlussunnah, karangan Imamul Haramain
10. Kitab Syarhil Kubra, karangan Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf as Sanusi
11. Hidayatul Murid syarah Jauhartut Tauhid, karangan Burhan al Laqani
12. Hasyiah Ummil Barahin, karangan Syihab Ahmad bin Muhammad Alganimi
13. Kitab al Aqidah, karangan Imam Abi Ishak as Sirazi
14. Kitab al Aqidah, karangan ‘Izzuddin bin Abdussalam
15. Kitab Asrarut Tanzil, karangan Fakrur Razi
16. Tabyiin Kizbul Muftari, karangan Ibnu ‘Asakir
17. Ta’wilul Musytabihaat, karangan Syamsuddin Ibnul Luban
18. Ihya Ulumuddin, Qawaidul Aqaid, karangan Imam Ghozali
19. Syarah ‘Aqidah Ibnul Hajib, karaangan As Subki
20. Syarah Tijanuddari, karangan Syeikh Ibrahim Al bajuri
21. ‘Aqidatun Najiin fi Ilmi Usuliddin, karangan Syekh Zainal ‘abidin al Fhatari
22. Tuhfatul Murid syarah Jauhartut Tauhid, karangan Syeikh Ibrahim Al bajuri
23. Kitab sakaki syarah huda-huda, karangan imam Syarqawi
24. Kitab al ‘Itiqad, karangan imam Baihaqi
25. Kitab Kifayatul ‘Awam. Karangan Syeikh Muhammad al Fadhali
26. Kitab Al Bajuri Pensyarah kitab sanusi, karangan Ibrahim Al bajuri
27. Ummul Baraahim, karya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf As Sanusi
28. Jauhartut Tauhid, karya Burhanuddin Ibrahim bin Harun al Aqani
29. Badul Amali, karya Sirajuddin Ali bin Utsman Al Usyi
30. Al Aqaidun Nasafiyah, karangan Syeikh Namar bin Muhammad An Nasafi
31. Risalah fi Ilmittauhid, karangan Imam Ibrahim Al Bajuri
32. Hushunul Hamidiyah, karangan Hasan Muhammad At Tharabilisi
33. Bahrul Kalam, karangan Abu Mu’in an Nasafi
34. Syarqawi syarah sanusi, karangan Syeikhul Islam as Syarqawi
35. Kitabul Arbain fi ushuliddin, karangan Imam Al Ghazali
36. Fiqih Tradisionalis , KH. Muhyiddin Abdusshomad, 
37. Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, KH. Sirojuddin Abbas