Senin, 10 Juni 2013

101 Ulama Sumatera Selatan


Oleh:
Al-Mursyid Syekh Mufti Pangeran Panghulu Nata Agama As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh

Dirangkum dari Buku 101 Ulama Sumsel Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Karya Kemas H. Andi Syarifuddin, S.Ag dan H.Hendra Zainuddin. M.Pd.I, Penerbit Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan, 2012, Cetakan 1

DAFTAR 101 ULAMA SUMATERA SELATAN
001. Sunan Candi Walang,
002. Sunan Kebon Gede,
003. Sunan Lembang,
004. Sunan Ternate,
005. Tuan Tanjung Idrus Salam,
006. Tuan Umar Baginda Saleh,
007. Puyang Luke,
008. Sayyid Mustafa Assegaf,
009. Faqih Jalaluddin,
010. Ki Jaya Laksana,
011. Buyut Feqeh,
012. Syekh Abdus Shamad Al-Palimbani,
013. Syekh Syihabuddin Al-Jawi Al-Palimbani,
014. Syekh Muhammad Muhyiddin Al-Palimbani,
015. Kemas Fakhruddin
016. Syekh Kemas Ahmad bin Abdullah
017. Kiranggo Wiro Sentiko
018. Sayyid Abdurrahman Maula Taqoh
019. Datuk Muhammad Zen
020. Datuk Muhammad Akib
021. Kemas HM. Said
022. Kemas Muhammad bin Ahmad
023. Pangeran Kramo Jayo
024. Sayyid Muhammad Arif Jamalullail
025. Sayyid Hasyir Jamalullail
026. Syekh Abdullah bin Ma'ruf
027. Pangeran Syarif Ali BSA
028. Ki Rangga Satca Nandita
029. Sayyid Ahmad Jamalullail
030. Pangeran Penghulu Nata Agama Akil
031. Pangeran Penghulu Nata Agama Fakhruddin
032. Pangeran Penghulu Nata Agama Muhammad Akib
033. Pangeran Surya Kusuma Alim Muhammad Arsyad
034. Habib Abdurrahman bin Hasan Al-Habsyi
035. Habib Ibrahim bin Yahya
036. Habib Alwi bin Ahmad Alkaf
037. Khatib Muhammad Jamalullail
038. Syekh Muhammad Azhari bin Abdullah
039. Habib Abdurrahman Al-Munawwar
040. Kiagus H.A. Malik Imam
041. Pangeran Penghulu Nata Agama Mustafa
042. Masagus  Marogan (Ki Marogan)
043. Ki Delamat
044. Sayyid Bakri Jamalullail
045. Sayyid Junaid Jamalullail
046. Hoofd Penghulu Abdurrahman
047. Kiagus Ahmad
048. Syekh Kemas Muhammad Azhari
049. Ki Pedatuan
050. Kemas H. Abdullah Umar
051. Hoofd Penghulu Kiagus Muhammad Yusuf
052. Kiagus H. Muhammad Azhari Imam
053. Ki Kemas H. Umar
054. Ki Kemas H. A. Roni Azhari
055. Hoofd Penghulu Kiagus H. Nang Thoyib
056. KH. Abu Bakar Bastari
057. Sayyid Muhsin Al-Musawwa
058. Ki Kemas H. Muhammad Yunus Al-Hafizh
059. KHA. Rasyid Shiddiq Al-Hafizh
060. Ki Kemas H. Ismail Umary
061. Ki Kiagus H. Muhammad Sjadjari
062. Prof. KH. Zainal Abidin Fikri
063. Ki Kemas H.M.Zen Mukti
064. Tuan Haji Husain
065. KH. Mallawie Husien
066. H. Ahmad Khatib Penghulu
067. Sayyid Salim Jamalullail
068. Kemas Hasan Umary
069. KH. Anwar Kumpul
070. Habib Abdullah bin Idrus Shahab
071. Habib Ali Jenggot Abang
072. KH. Ahmad Azhary
073. Habib Abdullah Al-Madihij
074. KH. Hasan Kolai
075. Ki Masagus H. Husin Abu Manshur
076. Kiagus H. Abdul Hamid Imam
077. Ki Masagus H. Abdul Hamid Omang
078. Kiai Cek Kuyung
079. Kiai Cek Ming
080. Kemas Muhammad Dahlan Umary
081. Drs.KH.Husin Abdul Mu'in
082. Ki R.H.Ahmad
083. Muallim Nang
084. KH. Daud Rusydi
085. KH. NangTjik Al-Karmani
086. Kiagus Ishak Imam
087. Kiagus H. Mat Tjik Rosyad
088. KH. Abu Nawar
089. KH. Abdurrahman Zubair
090. Habib Muhammad Syekh Abu Bakar
091. Ki Matcik Akhir
092. KHA. Malik Tadjuddin
093. KH.A. Sjazili Moesthofa
094. Prof.Dr.KHO. Gadjahnata
095. KH. Muhammad Zen Syukri
096. Drs. Kemas A. Rahman Ismail
097. Kemas H. Ibrahim Umary
098. KH. Muslim Anshori, BA
099. Drg. H. Muhammad Syamsu Assegaf
100. Kemas H. Muhammad Salim Umary
101. KH. Ali Umar Thayyib

Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin bersama Yusril Ihza Mahendra dan para peserta bedah buku 101 Ulama Sumsel

Fakta dan Kesaksian Sayyid Husain Jamaluddin/ Syekh Jumadil Kubra Keturunan Azmatkhan

Oleh:
Al-Mursyid Syekh Mufti Pangeran Panghulu Nata Agama As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh

إن الحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا و من سيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد

Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Jumadhil Kubro itu adalah mutlak berasal dari keturunan Azmatkhan Al Husaini dan itu diperkuat dengan berbagai catatan dan penelitian para ulama ahli nasab. Jika ada yang menisbatkan nasab beliau kepada fihak yang lain, ini tidak benar dan harus segera diklarifikasi dan diralat. Nasab itu tidak boleh sembarangan untuk dinisbat nisbatkan tanpa ada dasar ilmu nasab yang benar. Jika Nasab Sayyid Husein Jamaluddin atau Syekh Jumadhil Kubro bukan berasal dari Azmatkhan, betapa mengerikannya pendapat ini, karena itu berarti puluhan ribu keturunan dari Nasab Sayyid Husin Jamaluddin yang notabenenya keluarga besar walisongo adalah nasabnya palsu! padahal puluhan ribu keturunan Walisongo itu banyak terdapat ribuan ulama ulama besar....

Tidak benar jika Azmatkhan tidak punya catatan nasabnya, bahkan dari sekian nasab yang ada, dapat dikatakan pencatatan nasab keluarga besar Azmatkhan Alhusaini itu tersusun dengan rapi dan dipegang oleh masing masing keluarga besar walisongo. Dan inilah daftar catatan dan penelitian dari keluarga besar walisongo yang telah disusun oleh Syekh-Mufti Kesultanan Palembang (Mursyid Thariqoh Walisongo)

KESAKSIAN PARA AHLI NASAB TENTANG FAM AZMATKHAN

KESAKSIAN PERTAMA

Menurut As-Sayyid Salim bin Abdullah Asy-Syathiri Al-Husaini (Ulama’ asli Tarim, Hadramaut, Yaman), berkata: “Keluarga Azmatkhan (Walisongo) adalah dari Qabilah Ba’Alawi asal hadhramaut Yaman gelombang pertama yang masuk di Nusantara dalam rangka penyebaran Islam (Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati keluarga Azmatkhan) Sesuai dengan namanya, yang berarti “Pemimpin dari keluarga Mulia” .

KESAKSIAN KEDUA

Menurut H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya “Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiyah”, dia berkata:

“Sayyid Abdul Malik bin Alwi lahir di kota Qasam, sebuah kota di Hadhramaut, sekitar tahun 574 Hijriah. Ia meninggalkan Hadhramaut pergi ke India bersama jama’ah para Sayyid dari kaum Alawiyyin. Di India ia bermukim di Naserabad. Ia mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, di antaranya ialah Sayyid Amir Khan Abdullah bin Sayyid Abdul Malik, lahir di kota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir di sebuah desa dekat Naserabad. Ia anak kedua dari Sayyid Abdul malik Sejarah mencatat meratanya serbuan dan perampasan bangsa Mongol di belahan Asia. Diantara nama yang terkenal dari penguasa-penguasa Mongol adalah Khubilai Khan. Setelah Mongol menaklukkan banyak bangsa, maka muncullah Raja-raja yang diangkat atau diakui oleh Mongol dengan menggunakan nama belakang “Khan”, termasuk Raja Naserabad, India.

Setelah Sayyid Abdul Malik menjadi menantu bangsawan Naserabad, mereka bermaksud memberi beliau gelar “Khan” agar dianggap sebagai bangsawan setempat sebagaimana keluarga yang lain. Hal ini persis dengan cerita Sayyid Ahmad Rahmatullah ketika diberi gelar “Raden Rahmat” setelah menjadi menantu bangsawan Majapahit. Namun karena Sayyid Abdul Malik dari bangsa “syarif” (mulia) keturunan Nabi, maka mereka menambah kalimat “Azmat” yang berarti mulia (dalam bahasa Urdu India) sehingga menjadi “Azmatkhan”. Dengan huruf arab, mereka menulis عظمت خان bukan عظمة خان, dengan huruf latin mereka menulis “Azmatkhan”, bukan “Adhomatu Khon” atau “Adhimat Khon” seperti yang ditulis sebagian orang. Sayyid Abdul Malik juga dikenal dengan gelar “Al-Muhajir Ilallah”, karena beliau hijrah dari Hadhramaut ke India untuk berda’wah, sebagaimana kakek beliau, Sayyid Ahmad bin Isa, digelari seperti itu karena beliau hijrah dari Iraq ke Hadhramaut untuk berda’wah

Nama putra Sayyid Abdul Malik adalah “Abdullah”, penulisan “Amir Khan” sebelum “Abdullah” adalah penyebutan gelar yang kurang tepat, adapun yang benar adalah Al-Amir Abdullah Azmatkhan. Al-Amir adalah gelar untuk pejabat wilayah. Sedangkan Azmatkhan adalah marga beliau mengikuti gelar ayahanda. Sebagian orang ada yang menulis “Abdullah Khan”, mungkin ia hanya ingat Khan-nya saja, karena marga “Khan” (tanpa Azmat) memang sangat populer sebagai marga bangsawan di kalangan orang India dan Pakistan. Maka penulisan “Abdullah Khan” itu kurang tepat, karena “Khan” adalah marga bangsawan Pakistan asli, bukan marga beliau yang merupakan pecahan marga Ba’alawi atau Al-Alawi Al-Husaini.

Ada yang berkata bahwa di India mereka juga menulis Al-Khan, namun yang tertulis dalam buku nasab Alawiyyin adalah Azmatkhan, bukan Al-Khan, sehingga penulisan Al-Khan akan menyulitkan pelacakan di buku nasab.

Sayyid Abdullah Azmatkhan pernah menjabat sebagai Pejabat Diplomasi Kerajaan India, beliaupun memanfaatkan jabatan itu untuk menyebarkan Islam ke berbagai negeri. Sejarah mencatat bagaimana beliau bersaing dengan Marcopolo di daratan Cina, persaingan itu tidak lain adalah persaingan didalam memperkenalkan sebuah budaya. Sayyid Abdullah memperkenalkan budaya Islam dan Marcopolo memperkenalkan budaya Barat. Sampai saat ini, sejarah tertua yang kami dapat tentang penyebaran Islam di Cina adalah cerita Sayyid Abdullah ini. Maka bisa jadi beliau adalah penyebar Islam pertama di Cina, sebagaimana beberapa anggota Wali Songo yang masih cucu-cucu beliau adalah orang pertama yang berda’wah di tanah Jawa.

Ia (Sayyid Abdullah) mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’azhzham Syah Maulana Ahmad.” Nama beliau adalah Ahmad, adapun “Al-Amir Al-Mu’azhzham” adalah gelar berbahasa Arab untuk pejabat yang diagungkan, sedangkan “Syah” adalah gelar berbahasa Urdu untuk seorang Raja, bangsawan dan pemimpin, sementara “Maulana” adalah gelar yang dipakai oleh muslimin India untuk seorang Ulama besar.Sayyid Ahmad juga dikenal dengan gelar “Syah Jalaluddin”.Maulana Ahmad Syah Mu’azhzham adalah seorang besar, Ia diutus oleh Maharaja India ke Asadabad dan kepada Raja Sind untuk pertukaran informasi, kemudian selama kurun waktu tertentu ia diangkat sebagai wazir (menteri). Ia mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari mereka pergi meninggalkan India, berangkat mengembara. Ada yang ke negeri Cina, Kamboja, Siam (Tailand) dan ada pula yang pergi ke negeri Anam dari Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk di dalam wilayah kekuasaan Cina). Mereka lari (?) meninggalkan India untuk menghindari kesewenang-wenangan dan kezhaliman Maharaja India pada waktu terjadi fitnah pada akhir abad ke-7 Hijriah.

Di antara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayyid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayyid Ahmad. Ia pergi meninggalkan India tiga tahun setelah ayahnya wafat. Kepergiannya disertai oleh tiga orang saudaranya, yaitu Syarif Qamaruddin. Konon, dialah yang bergelar ‘Tajul-muluk’. Yang kedua ialah Sayyid Majiduddin dan yang ketiga ialah Sayyid Tsana’uddin.”

Sayyid Jamaluddin Al-Husain oleh sebagian orang Jawa disebut Syekh Jumadil Kubro. Yang pasti nama beliau adalah Husain, sedangkan Jamaluddin adalah gelar atau nama tembahan, sehingga nama beliau juga ditulis “Husain Jamaluddin”. Adapun “Syahansyah” artinya adalah Raja Diraja. Namun kami yakin bahwa gelar Syahansah itu hanyalah pemberian orang yang beliau sendiri tidak tahu, karena Rasulullah SAW melarang pemberian gelar Syahan-syah pada selain Allah.

Sayyid Husain juga memiliki saudara bernama Sulaiman, beliau medirikan sebuah kesultanan di Tailand. Beliau dikenal dengan sebutan Sultan Sulaiman Al-Baghdadi, barangkali beliau pernah tinggal lama di Baghdad. Nah, Sayyid Husain dan Sayyid Sulaiman inilah nenek moyang daripada keluarga Azmatkhan Indonesia, setidaknya yang kami temukan sampai saat ini.

KESAKSIAN KETIGA:

Menurut Sayyid Ali bin Abu Bakar As-Sakran dalam Kitab Nasab yang bernama Al-Jawahir Al-Saniyyah, berkata: “Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammil Faqih”.

KESAKSIAN KEEMPAT:

Menurut Ad-Dawudi dalam Kitab Umdatut Thalib berkta, “”Al-Azmatkhan adalah fam yang dinisbatkhan kepada Al-Imam As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin ‘Alawi ‘Ammil Faqih, dan keturunannya masih ada sampai sekarang ini melalui jalur Walisongo di Jawa”.

KESAKSIAN KELIMA:

Penelitian sayyid Zain bin abdullah alkaf dalam kitab Ilhaafun Nazhooir yang dikutip dalam buku khidmatul ‘asyirah karangan Habib Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaf; MEMBENARKAN & MEM-VALID-KAN nasab jalur Azmatkhan. (Lihat Kitab Khidmatul Asyirah, halaman 1 dan juga di lauhah terakhir kitab Khidmatul Asyirah tentang Walisongo)

KESAKSIAN KEENAM:

Penelitian Al-Alammah As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Husain Al-Masyhur dalam Kitab Syamsud Zhahirah, yang memvalidkan nasab jalur Azmatkhan.

KESAKSIAN KETUJUH:

Kesaksian dari Sayyid Ali bin Ja’far Assegaf Palembang.

Bermula silsilah wali songo ditemukan oleh sayid Ali bin Ja’far Assegaf pada seorang keturunan bangsawan Palembang. Dalam silsilah tersebut tercatat tuan Fakih Jalaluddin yang dimakamkan di Talang Sura pada tanggal 20 Jumadil Awal 1161 hijriyah, tinggal di istana kerajaan Sultan Muhammad Mansur mengajar ilmu ushuluddin dan alquran. Dalam silsilah tersebut tercatat nasab seorang Alawiyin bernama sayid Jamaluddin Husein bin Ahmad bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath, yang mempunyai tujuh anak laki. Di samping itu tercatat pula nasab keturunan raja-raja Palembang yang bergelar pangeran dan raden, nasab Muhammad Ainul Yaqin yang bergelar Sunan Giri.

KESAKSIAN KEDELAPAN:

Penelitian As-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri dalam Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif

KESAKSIAN KESEMBILAN:
Fakta dan bukti-bukti catatan nasab dari beberapa kerajaan dan kesultanan yang terhubung sebagai dzurriyyah Walisongo Azmatkhan.  Seperti Kesultanan Palembang, Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Giri Kedathon, Kesultanan Ampel Denta, Kesultanan Demak, Kesultanan Jepara dan lain-lain.

KESAKSIAN KESEPULUH:
Rapinya catatan nasab keluarga besar Kyai Marogan, di Palembang, yang menulis bahwa Husain Jamaluddin adalah bernasabkan ke Abdul Malik Azmatkhan dan merupakan leluhur walisongo. Sampai sekarang nasab ini terpasang di Kantor Takmir Masjid Muara Ogan.

KESAKSIAN KESEBELAS:
Rapinya catatan nasab dari keturunan Pangeran Jayakarta di Jatinegara Kaum, Jakarta, yang menyimpan data tentang Walisongo, yang menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDUABELAS:
Rapinya catatan Nasab dari NAQOBAH KESULTANAN BANTEN tentang keturunan Sunan Gunung Jati, yang merupakan bagian dari Walisongo, yang berasal dari berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KETIGABELAS:
Rapinya catatan Nasab dari KERATON KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM tentang keturunan Sunan Giri dan walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan. Data tersebut tersimpan di Keraton Kesultanan Palembang Darussalam.

KESAKSIAN KEEMPATBELAS:
Rapinya catatan Nasab dari KH. Ubaidillah dan KH. Zaid (Ketua Takmir Masjid dan Ketua Makam Sunan Ampel Surabaya) tentang data keturunan Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat dan Walisongo. yang menyebutkan bahwa Walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.Bisa dihubungi dan dicek ke rumahnya di sekitar pemakaman Sunan Ampel, Surabaya.

KESAKSIAN KELIMABELAS:
Rapinya catatan Nasab dari KH. Kholil Bangkalan dan Habib Bahruddin Azmatkhan yang mendata nasab semua keturunan Sunan Kudus, yang menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEENAMBELAS:
Rapinya catatan nasab dari KH. Adlan Ali Cukir Tebuireng, Pendiri Pesantren Walisongo, yang mendata nasab keturunan Sunan Derajat dan Walisongo, dan menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KETUJUHBELAS:
Rapinya catatan nasab dari KH. Said Al-Hafizh dan KH.Mustaghfirin Said Al-Hafizh (Pengasuh Pesantren Tahfizhul Qur'an Nurush Sholihin Jember) tentang nasab Sunan Giri dan walisongo, dan menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDELAPANBELAS:
Rapinya catatan nasab dari KH.Lutfi Bashari Alwi (Pengasuh Pesantren Ribath Al-Murtadha, Singosari Malang dan Putra Pendiri Pesantren Ilmu Al-Qur'an (PIQ) Malang, dan merupakan murid terdekat Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Makkah Al-Mukarramah) tentang data nasab Walisongo. dan menyebutkan bahwa walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KESEMBILANBELAS:
Rapinya catatan nasab dari keluarga KH. As'ad Syamsul Arifin Asembagus, Situbondo, Jawa Timur dan Kitab Nasab Jawahirul Ansab yang menyebutkan tentang nasab lengkap walisongo, bahwa ia  berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

KESAKSIAN KEDUAPULUH:
Rapinya catatan Nasab dari KH. Damanhuri Batuampar, Madura tentang walisongo berasal dari Sayyid Husain Jamaluddin Jumadil Kubra bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Abdullah Khan bin Abdul Malik Azmatkhan.

DAN MASIH RIBUAN KESAKSIAN LAINNYA DARI PARA ULAMA KETURUNAN WALISONGO AZMATKHAN

DAFTAR KEPUSTAKAAN (BUKU-BUKU YANG MENJELASKAN) TENTANG AZMATKHAN :

1. Sayyid Ahmad bin Anbah,Umdatuth Thaalib Fii Ansaabi Aali Abi Thaalib
2. Sayyid Aki As-Samhudiy, Jawaahir Al-Aqdaini Fii Ansaabi Abnaai As-Sibthaini
3. Sayyid Abu Thalib Taqiyyuddin An-Naqiibi, Ghaayatu Al-Ikhtishoori Fii Al-buyuutaati Al-’Alawiyyati Al-Mahfuzhati Min Al-Ghayyaari.
4. As-Sayyid Al-Muhaddits Husain bin Abdurrahman Al-Ahdali, Tuhfatuz Zaman Fii Taariikhi Saadaatil Yamani
5. As-Sayyid Abu Fadhal Muhammad Al-Kazhimi Al-Husaini, An-Nafkhah Al-Anbariyyah Fii Ansaabi Khairil Bariyyah
6. As-Sayyid Dhoomin bin Syadqam, Tuhfatul Azhaari Fii Ansaabi Aal An-Nabiyyi Al-Mukhtaari
7. As-Sayyid Ahmad bin Hasan Al-Attas, Uquud Al-Almaas
8. Sayyid Jamaluddin Abdullah Al-Jurjaani Al-Husaini, Musyajjarah Al-Mutadhammin Ansaabi Ahlilbaiti Ath-Thaahiri
9. As-Sayyid Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin ‘Amiiduddin Al-Husaini An-Najafiy, Kitab Bahrul Ansaabi
10. As-Sayyid Murtadha Az-Zabiidi, Al-Musyajjir Al-Kasysyaaf Li Ushuulis Saadah Al-Asyraaf
11. As-Sayyid Husain bin Muhammad Ar-Rifaa’i Al-Mishri, Bahrul Ansaabil Muhiith
12. As-Sayyid ‘Ali bin Abi Bakar asy-Syakran, Al-Jawaahir As-Saniyyah Fii Ansaabi Al-Husainiyyah
13. As-Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur Al-Husaini Al-Hadrami, Kitab Syamsuzh Zhahiirah
14. As-Sayyid Ahmad bin Abdullah bin Muhsin Assegaff, Khidmah Al-’Asyiirah Bi Tartiibi wa Talkhiishi Wa Tadzliili Syamsizh Zhahiirah
15. As-Sayyid Dhiyaa’u Syihaab, Ta’liiqaat Mabsuuthah Wa Mufashsholah ‘Alaa Syamsizh Zhahiirah
16. As-Sayyid Umar bin Alawi Al-Kaff, Al-Faraayid Al-Jauhariyyah Fii Tarraajumi Asy-Syaharah Al-’Alawiyyah
17. As-Sayyid Umar bin Abdurrahman bin Shihabuddin, Syajaratul Alawiyyah
18. As-Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Kitab Al-Mu’jam Al-Lathif
19. As-Sayyid Bahruddin Ba’alawi Al-Husaini, Ansaabi Wali Songo,
20. As-Sayyid Abi Al-Mu’ammar Yahya bin Muhammad bin Al-Qasim Ba’alawi Al-Husaini, Kitab Abnaaul Imam Fii Mishra Was Syaami Al-Hasani Wal Husaini,
21. As-Sayyid Al-Qalqasandiy Al-Hasani, Nihaayatul Urabi Fi Ma’rifati Al-Ansaabi Al-’Arabi,
22. Al-Imam Abi Sa’di Abdil Karim bin Muhammad bin Mansur At-Tamimiy As-Sam’aaniy, Kitab Al-ansaab
23. Al-Imam Ahmad bin Yahya bin Jabir Al-Balaadiri,Kitabu Al-Jumali Min Ansaabil Asyraaf
24. Kemas H.Andi Syarifuddin & Hendra Zainuddin, 101 Ulama Sumsel, Penerbit. Forum Pondok Pesantren Sumatera Selatan, ISBN,978-602-7874-31-2








Fatwa Tegas Mufti Kesultanan Palembang Darussalam Tentang Ayah & Bunda Nabi Muhammad Adalah Mukmin Dan Masuk Surga

Tulisan ini adalah sebuah jawaban terhadap fitnah dari kaum Zionis, Atheis, dan "Oknum Wahabi" yang mempropagandakan bahwa kedua orang tua nabi Muhammad adalah masuk neraka.

Oleh:
Al-Mursyid Syekh Mufti Pangeran Penghulu Nata Agama As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh

Fatwa ini didukung oleh beberapa tulisan Ulama dan Mufti, di antaranya:
1. Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Masa­likul Hunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.
2. Al-Qadhi Abu Bakar Al-Arabi, Kitab Tafsir Ayatul Ahkam
3. Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jurdani, Kitab Fathul ‘Allam bi Syarhi Mursyidil Anam
4. Sayyid Ishaq Azuz Al-Hasani Al-Makki, Kitab Al-Hujaj Al-Waadhihaat Fii Najaat Al-Abawain Wa Al-Ajdaad Wa Al-Ummahaat
5. Prof.Dr. Wahbah Zuhaili, Kitab Tafsir Al-Munir

Bab 1 Pendahuluan
Seorang mukmin sangat meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir, nabi yang me­miliki kemuliaan dan derajat yang ter­tinggi, baik di langit maupun di bumi. Kemuliaannya dinyatakan oleh Allah SWT dengan firman-Nya yang artinya, “Dan sesungguhnya Engkau (ya Muham­­mad) benar-benar berada di atas akhlaq yang agung.” (QS Al-Qalam: 4).
Jika yang kecil (hamba) menyifati sesuatu de­ngan “agung”, yang Maha Besar (ALLAH) belum tentu menganggapnya agung. Tetapi jika Allah, Yang Mahabesar menyifati sesua­tu dengan kata “agung”, tidak dapat ter­bayangkan betapa besar keagungan­nya. Dan sudah tentu, makhluk yang agung tidak mungkin keluar kecuali dari rahim yang agung pula.

BAB 2 Kemuliaan Nasab Nabi Muhammad
Kemuliaan Nabi Muhammad SAW mencakup segala hal, termasuk nasab­nya (keturunannya). Beliaulah manusia yang paling baik nasabnya secara mut­lak. Nasab beliau berada di puncak ke­muliaan. Musuh-musuh beliau pun mem­beri pengakuan atas hal tersebut.
Nabi SAW pernah menjelaskan bah­wa nasabnya (keturunannya), yakni ayah, kakek, dan seterusnya, adalah orang-orang suci dan orang-orang pilih­an. Dalam sebuah riwayat At-Tirmidzi dari Abbas bin Abdul Muthalib, beliau mengatakan, “Aku Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib. Sesung­guhnya Allah telah menciptakan makh­luk, maka Dia telah menjadikan aku da­lam sebaik-baik bagian mereka; kemudi­an Dia menjadikan mereka dua bagian, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik bagian mereka, kemudian Dia men­jadikan mereka beberapa kabilah, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik ka­bilah mereka; kemudian Dia menjadi­kan mereka beberapa keluarga, maka Dia menjadikan aku dalam sebaik-baik keluarga dan sebaik-baik diri di antara mereka.”
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memilih Ismail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia telah memilih keturunan Kinanah dari keturunan Ismail, dan Dia telah me­milih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraisy, dan Dia telah memi­lih aku dari Bani Hasyim.”
Dari hadits-hadits di atas jelaslah, beliau adalah keturunan orang-orang pi­lihan, dan beliau adalah keturunan Nabi Ismail, putra Nabi Ibrahim.
Ayah Nabi SAW, yang bernama Ab­dullah bin Abdul Muthalib, wafat tatkala Nabi SAW berada dalam kandungan ibundanya. Sedangkan ibunda Nabi SAW, Aminah Az-Zuhriyah, wafat tatkala Nabi SAW berusia 6 tahun.
Ayah-bunda Nabi termasuk pendu­duk Makkah yang tergolong ahlul fatrah, maksudnya orang-orang yang hidup di Makkah pada zaman sebelum diutusnya seorang utusan Allah. Dalam kaitan de­ngan mereka, adalah sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. Karena itu, tidak ada ancaman siksa sedikit pun bagi kaum yang belum masuk Islam saat itu, ka­rena ajaran Islam memang belum di­turunkan oleh Allah kepada umat ma­nusia.
Selain termasuk ahlul fatrah, mereka bukan tergolong para penyembah ber­hala, orang-orang yang suka berjudi, mi­num minuman keras, berzina, dan per­buatan hina lainnya. Mereka berdua hi­dup sebagai masyarakat yang terhormat dan berperangai baik, apalagi orangtua mereka, Abdul Muthalib, adalah pembe­sar utama kota Makkah yang bertugas menjaga kemashlahatan Ka‘bah dan suku Quraisy.
Ayah-bunda Rasulullah SAW adalah orang-orang yang selamat dan tidak ter­pengaruh oleh keyakinan Jahiliyyah, mes­kipun keduanya orang-orang yang hidup dalam masa fatrah. Demikian juga moyang beliau hingga Nabi Adam AS, tidak seorang pun dari mereka yang ter­golong kafir dan musyrik. Sebagaimana ditegaskan dalam kitab Fathul ‘Allam bi Syarhi Mursyidil Anam, karya Sayyid Muhammad Abdullah Al-Jurdani, bahwa Rasulullah bersabda, “Aku selalu berpin­dah dari iga-iga yang suci dan rahim-rahim yang bersih.”
Rasulullah adalah semulia-mulia makh­luk. Beliau selalu berada dalam ke­muliaan di sisi Allah SWT, sedangkan ke­muliaan dan kekufuran jelas tidak mung­kin berkumpul.
Di dalam kitab tersebut juga disebut­kan sebuah hadits dari ‘Urwah dari Aisyah RA yang mene­gaskan bahwa ayah dan bunda Rasulullah SAW dihi­dup­kan kembali oleh Allah, lalu kedua­nya ber­iman kepada ajaran Ra­sulullah SAW, kemudian keduanya dimatikan kem­bali oleh Allah SWT.
Dengan keterangan-keterangan di atas dan berbagai keterangan lain, kaum muslimin meyakini bahwa ayah bunda Nabi adalah orang-orang suci, orang-orang pilihan, orang-orang yang dise­lamatkan dari kemusyrikan dan ke­ku­fur­an serta perilaku-peri­laku buruk kaum Ja­hiliyah. Sehingga, tem­pat mereka kelak adalah di dalam surga. Itulah keyakinan kita berdasarkan dalil-dalil dan keterang­an-keterangan yang kuat yang kita da­patkan dari para ulama terpercaya.

Bab 3 Kelemahan Hadits Yang Menyebut Kedua Orang Tua Nabi Masuk Neraka
Tetapi ada segolongan kaum mus­limin yang punya pandangan lain. Me­reka berpendapat bahwa ayah-bunda Nabi tidak tergolong penghuni surga, me­lainkan sebaliknya. Mereka menda­sar­kan pendapatnya itu pada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah mengatakan ayahnya berada di neraka, dan hadits lain yang menyatakan bahwa beliau tidak diizinkan untuk memintakan ampunan buat ibunya.
Hadits yang pertama adalah hadits riwayat Imam Muslim dari Hammad, bah­wasanya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, di mana keberadaan ayahku?”
Rasulullah menjawab, “Dia di neraka.”
Maka ketika orang tersebut hendak beranjak, Rasulullah memanggilnya se­raya berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
Sedangkan hadits yang lainnya me­nyebutkan, “Aku meminta izin kepada Tuhanku untuk memintakan ampunan buat ibuku, namun Dia tidak meng­izin­kan Aku. Aku meminta izin untuk men­ziarahi kuburnya, Aku pun diizinkan.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits-hadits di atas, mereka berani mengatakan bahwa ayah-bunda Nabi SAW bukanlah penghuni surga sebagaimana keyakinan kita.
Agar tidak membuat kebimbangan dalam hati kita dan karena ini menyang­kut manusia dan makhluk teragung yang paling kita cintai, marilah kita simak uraian berikut.
Imam Suyuthi menerangkan, Ham­mad, perawi hadits di atas, diragukan oleh para ahli hadits, dan hanya diri­wayat­kan oleh Muslim. Padahal, banyak riwayat lain yang lebih kuat darinya, se­perti riwayat Ma‘mar dari Anas, Al-Bai­haqi dari Sa‘ad bin Abi Waqqash, “Se­sungguhnya seorang a‘rabi berkata ke­pada Rasulullah SAW, “Di mana ayahku?’
Rasulullah SAW menjawab, ‘Dia di neraka.’
Si a‘rabi pun bertanya kembali, ‘Di mana ayahmu?’
Rasulullah pun menjawab, ‘Sekira­nya kamu melewati kuburan orang kafir, berilah kabar gembira dengan neraka’.”
Riwayat di atas tanpa menyebutkan ayah Nabi berada di neraka. Ma‘mar dan Al-Baihaqi disepakati oleh ahli hadits lebih kuat dari Hammad, sehingga ri­wayat Ma‘mar dan Al-Baihaqi harus didahulukan daripada riwayat Hammad.
Seandainya pun hadits Hammad di atas diterima, menurut para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah ada beberapa pentakwilan. Antara lain,
Pertama, saat Nabi SAW menjawab pertanyaan orang itu adalah sebelum turunnya firman Allah ayat 15 surah Al-Isra’, yang telah dise­butkan di atas. Jadi setelah ayat ini turun, keterangan Nabi SAW kepada si pena­nya itu pun dinasakhkan (di­ha­puskan).
Kedua, neraka yang dimaksud oleh Nabi SAW adalah neraka dingin pemberi ja­minan kesela­mat­an (artinya, ya surga), karena ayah Nabi dan ayah si penanya termasuk ahlul fatrah.
Yang penting juga untuk kita ingat ada­lah bukti-bukti yang menunjukkan ke­suci­an orangtua Nabi dan sete­rusnya ke atas. Dalam se­buah hadits dikatakan, “Aku (Muhammad saw) selalu berpindah dari sulbi-sulbi laki-laki yang suci menuju ra­him-rahim perempuan yang suci pula.” Je­las sekali, Rasulullah SAW menyata­kan bahwa kakek dan nenek moyang be­liau ada­lah orang-orang yang suci, bu­kan orang-orang musyrik, karena orang-orang musyrik dinyatakan najis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman yang arti­nya, “Hai orang-orang yang beriman, se­sungguh­nya orang-orang yang musyrik itu najis.” (QS At-Tawbah: 28). Nama ayah Nabi pun Abdullah, cukup mem­buktikan bahwa beliau ber­iman ke­pada Allah, bukan penyembah berhala.
Pernyataan beliau di atas berarti bah­wa semua sesepuh beliau, mulai dari ayah-bundanya sampai Adam dan Hawa, tidak ada seorang pun dari mereka yang kafir (mengingkari Allah). Sebab yang dapat disebut “orang suci” hanyalah orang yang beriman. Sungguh indah be­berapa bait syair yang ditulis oleh se­mentara ulama:
Kupastikan keimanan mereka mulai dari AdamHingga ayah beliau yang terdekat dan muliaPara ibu beliau pun seperti merekaDalilnya adalah nash Al-Kitab dan sunnahUngkapan beliau perihal kaum SajidinBanyak riwayat bersanad­kan beliau tentang merekaBeliau berpindah-pindah dari sajid ke sajid lainnyaMereka semua manusia-manusia ter­baik dalam zamannya
Di atas telah disebut­kan hadits Nabi yang diri­wa­yatkan Imam Muslim dan Imam Tirmidzi yang mereka shahihkan, yaitu hadits dari Watsilah bin Asqa’ RA bahwa Rasulullah SAW bersab­da, “Se­sung­guhnya Allah telah memilih Ismail dari (di antara) anak Ibrahim, dan Dia te­lah memilih keturunan Kinanah dari ke­turunan Ismail, dan Dia telah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah, dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari keturun­an Quraisy, dan Dia telah memilih aku dari Bani Hasyim.”Berdasarkan hadits ini, Ibn Taimiyah mengatakan, “Hadits di atas menunjukkan bahwa Ismail dan turunan­nya adalah orang-orang pilihan dari ke­turunan Ibrahim.”
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitabnya, Dalail An-Nubuwwah, dari Anas, disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku adalah Muham­mad bin Abdillah bin Abdil Mutthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka`ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma`ad bin `Adnan. Dan tidaklah terpisah go­longan manusia kecuali Allah telah men­jadikan aku dalam yang terbaik dari dua golongan tersebut. Maka aku dilahirkan dari kedua orangtuaku dan tidak menge­naiku sesuatu pun dari kebejatan Jahi­liyah. Dan aku lahir dari pernikahan dan ti­daklah aku lahir dari perzinaan dari mu­lai Nabi Adam sampai pada ayah-ibuku. Maka aku adalah yang terbaik dari kalian dari sisi nasab dan orangtua.”
Masih banyak lagi hadits lain yang menjelaskan ihwal orangtua-orangtua Nabi SAW bahwa mereka adalah pilihan Allah SWT.  Tidakkah Anda membaca kalimat “Sesungguhnya Allah memilih”. Apakah Allah akan memilih orang kafir se­dangkan di sana ada orang yang ber­iman? Apakah Allah memilih penduduk neraka jika di sana ada penduduk surga?
Yang juga kita yakini dan disepakati oleh berbagai keterangan, kedua orang­tua Nabi termasuk ahlul fatrah, orang yang hidup di masa fatrah, yakni suatu masa ketika terjadi kekosongan nubuw­wah (kenabian) dan risalah (kerasulan). Semenjak Nabi Isa AS hingga diutusnya nabi berikutnya, yakni nabi kita SAW, terpaut jarak waktu yang panjang. Umat manusia hidup tanpa adanya risalah ke­nabian. Para ulama mengatakan, manu­sia yang hidup di masa fatrah ini tidak dimintai pertanggungjawaban. Mereka mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT yang artinya, “Dan tidaklah Kami mengadzab (suatu kaum) hingga Kami mengutus seorang rasul.” (QS Al-Isra’: 15).
Dari ayat itu, orang-orang yang hidup sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka adalah ahlul fatrah, yang tidak diadzab atas perbuatannya. Karena sebagai bentuk keadilan Allah adalah hanya mengadzab suatu kaum setelah jelas risalah datang kepada mereka namun tidak diindahkan.
Dari ayat itu pula dapat dipahami bahwa keluarga Nabi SAW sebelum diri­nya diangkat menjadi nabi dan rasul ada­lah ahlul fatrah, dan karena itu mereka tidak diadzab dan tidak digolongkan sebagai orang-orang musyrik atau kafir.
Inilah sikap yang adil, lantaran se­cara nalar tentu kita tidak bisa menerima bila seseorang dimasukkan ke dalam neraka padahal tidak ada seorang nabi pun yang mengajarkan agama kepada mereka. Bagaimana Allah, Yang Maha­adil, sampai tega menghukum orang yang tidak tahu apa-apa? Pendapat ini dikemukakan oleh banyak ulama, di an­taranya Al-Imam As-Suyuthi.
Berkaitan dengan hadits tentang ibunda Nabi di atas, kalau kita pahami sekilas memang ada kesan bahwa ibunda Nabi SAW itu tidak masuk surga. Sebab permintaan Rasulullah SAW un­tuk memintakan ampunan atasnya tidak dikabulkan Allah SWT. Namun kesimpulan itu ditolak oleh para ulama. Mereka menolak bila hadits itu disimpulkan dengan cara demikian. Kalau Allah SWT tidak memperkenan­kan Rasulullah SAW memintakan am­pun­an untuk ibundanya, tidak berarti ibun­danya bukan mukmin. Sebagai­mana ketika Rasulullah SAW tidak men­shalati jenazah yang masih punya utang, sama sekali tidak menunjukkan bahwa jenazah itu mati dalam keadaan kafir.
Adapun larangan Allah SWT untuk memintakan ampunan orang kafir ada­lah semata-mata karena orang itu sudah diajak masuk Islam namun tetap mem­bangkang dan akhirnya tidak sempat ma­suk Islam dan mati dalam keadaan kafir. Sedangkan kedua orangtua Nabi SAW sama sekali belum pernah mem­bang­kang atau mengingkari dakwah. Se­bab mereka ditakdirkan Allah SWT untuk hidup sebelum masa turunnya wahyu.
Ayah-bunda Nabi juga orang-orang yang suci yang tidak ternodai oleh per­buatan-perbuatan keji orang-orang Ja­hiliyah. Dan Nabi SAW dalam berbagai haditsnya menyatakan ke­banggaannya (bukan keta­kaburan) terhadap ketu­run­an­nya sebagaimana di­sebutkan di atas. Dalam ha­dits yang lain beliau ber­sabda, “Aku adalah nabi yang tidak berdusta. Aku ada­lah putra Abdul Mutha­lib.” (Sha­hih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Mengenai Abdul Muthalib, kenyataan­nya, ia termasuk ahlul fat­rah. Dan tidak mungkin beliau mem­banggakan Abdul Muthalib jika ia se­orang kafir, sebab hal itu tidak diperkenankan.
Tampak jelas sekali bahwa tidak mungkin orangtua Nabi adalah orang-orang kafir atau musyrik. Sedangkan Nabi SAW telah membanggakan nasab kedua orangtuanya sebagai nasab yang terbaik. Demikian juga ucapan Nabi SAW kepada Sa‘ad bin Abi Waqqash pada Perang Uhud ketika beliau melihat seorang kafir membakar seorang mus­lim, Rasulullah SAW bersabda kepada Sa‘ad, “Panahlah dia, jaminan kesela­mat­anmu adalah ayah dan ibuku!”
Maka Sa‘ad berkata dengan gem­bira, “Rasulullah SAW mengumpulkan aku dengan nama ayah dan ibunya!” (HR Al-Bukhari, bab Manaqib Zubair bin Awam, bab Manaqib Sa‘ad bin Abi Waqqash).

Bab 4. Nabi Muhammad lahir Dari Rahim Wanita yang Suci
Bagaimana mungkin Sa‘ad berbaha­gia disatukan dengan orangtua Rasul­ullah jika keduanya orang-orang musy­rik? Secara logika kita dapat mengata­kan, mungkinkah nabi umat Islam, nabi ter­mulia, lahir dari rahim perempuan musyrik, padahal Nabi Isa AS lahir dari rahim wanita yang suci? Banyak wanita yang beriman melahirkan anak-anak yang tidak memiliki keistimewaan, se­dangkan Rasululluh keistimewaannya diakui di dunia, langit maupun bumi. Mungkinkah ia lahir dari perempuan musyrik. Sungguh tidak mungkin!
Banyak keterangan yang dapat kita jadikan pegangan demi menguatkan keyakinan kita ini. Nabi SAW bersabda, “Aku berdoa memohon kepada Tuhan­ku, agar tidak ada satu pun keluargaku yang masuk neraka, maka doaku dika­bul­kan.” (Hadits riwayat Abu Sa`id Abdul Malik bin Abi Utsman, disebutkan dalam kitab Dzakhairul `Uqba, karya Al-Hafizh Muhibbuddin Ath-Thabari).Sedangkan yang dimaksud keluarga Nabi SAW (ahlul bayt), menurut para jumhur ulama, adalah para istri Nabi SAW dan ahlul kisa (Sayi­dina Ali, Sayidatina Fathimah, Sayidina Hasan, dan Sayidina Husain). Jika para istri, anak, menantu Nabi SAW dikate­gori­kan sebagai keluarga Nabi SAW, bagai­mana dengan ayah-bunda Nabi SAW? Tentu beliau berdua tergolong keluarga Nabi, yang dijamin masuk surga.
Mungkin Anda akan bertanya, jika orangtua-orangtua Nabi, mulai dari ayah­nya, kakeknya, dan seterusnya, semua­nya orang-orang pilihan, orang-orang suci, dan orang-orang yang beriman ke­pada Allah, bagaimana dengan Azar, yang disebutkan dalam Al-Qur’an seba­gai ayahanda Nabi Ibrahim namun tak mau beriman kepadanya?
“Ayah” Nabi Ibrahim AS yang dise­but dalam Al-Qur’an sesungguhnya ada­lah paman beliau. Di dalam Al-Quran ter­dapat beberapa lafazh ab (ayah) diguna­kan untuk menyebut amm (paman).Demikianlah menurut Imam As-Suyuthi yang dikemukakannya dalam risalah-risalahnya yang terkenal.
Di antaranya Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya, “Adakah kalian hadir ketika Ya`qub menjelang ajal­nya. Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, ‘Apa yang hendak kalian sembah sepeninggalku?’
Mereka menjawab, ‘Kami hendak menyembah Tuhan-Mu dan Tuhan ayah-ayahmu (para orangtuamu), Ibrahim, Ismail, dan Ishaq…” (QS Al-Baqarah: 133).
Yang jelas, Ismail AS bukan ayah Ya‘qub AS, melainkan pamannya. Di dalam Al-Qur’an juga terdapat sebuah ayat yang menerangkan, Ibrahim AS dilarang memohonkan ampunan bagi ayahnya, setelah diketahui bagaimana sikap ayahnya ketika ia mendengar tindakan Ibrahim AS menghancurkan berhala-berhala. Berkaitan dengan itu Allah berfirman yang artinya, “Tidak pa­tut bagi seorang nabi dan orang-orang ber­iman memohonkan ampunan (kepa­da Allah) bagi orang-orang musyrik…” (QS At-Tawbah: 113).
Di kemudian hari setelah Nabi Ibra­him AS menyelesaikan pembangunan Ka‘bah pada akhir hidupnya, beliau ber­doa yang artinya, “Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orangtuaku.” (QS Ibra­him: 41). Jika larangan istighfar pada ayat tersebut pertama ditujukan kepada ayah Nabi Ibrahim yang sebenarnya, ten­tu beliau tetap tidak boleh memohon­kan ampunan lagi setelah dilarang!
Bagaimana dengan riwayat bahwa Nabi SAW menangis di pusara ibunya dan hadits tersebut dikatakan sebagai asbabun nuzul dari ayat 113 dari surah At-Tawbah yang artinya,  “Tiadalah se­pa­tutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (ke­pada Allah) bagi orang-orang musyrik, walau­pun orang-orang musyrik itu ada­lah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka bahwasanya orang-orang musyrik itu ada­lah penghuni neraka Ja­hanam”?
Riwayat itu dinilai dhaif oleh pakar hadits Adz-Dzahabi, karena dalam ren­teten perawinya terdapat nama Ayyub, yang berstatus lemah. Pakar tafsir Dr. Wahbah Az-Zuhail mengomentari ulama yang menyatakan hadits tersebut seba­gai sebab turunnya ayat 113 QS At-Tawbah, dengan komentar bahwa itu jauh dari fakta, sebab orangtua Rasul hidup di masa fatrah, sehingga tidak te­pat hadits tentang tangisan Nabi SAW di pusara ibunya sebagai sebab turun­nya ayat tersebut (lihat Tafsir Al-Munir, juz 6, hlm. 64).
Dan banyak lagi hadits yang senada dengan itu, namun dengan redaksi yang berbeda, seperti yang diriwayatkan, Ahmad, Muslim, Abu Dawud dari jalur Abu Hurairah.
Hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil kemusyrikan ibunda Nabi SAW karena alasan-alasan berikut.
Pertama, hadits tersebut secara man­thuq (tekstual) tidak menyebut keka­firan atau kemusyrikan ibu Nabi secara tegas dan jelas, sehingga suatu tindakan ceroboh kalau dengan ketidakjelasan man­thuq hadits tersebut langsung me­nyatakan kemusyrikan ibunda Nabi SAW.
Kedua, hadits-hadits yang menyata­kan bahwa kejadian Rasulullah mena­ngis di kuburan ibunya di kota Makkah, menurut Ibnu Sa‘ad, adalah salah, sebab makam ibu Nabi bukan di Makkah, me­lainkan di Abwa (suatu wilayah yang ma­sih masuk kota Madinah).
Ketiga, hadits-hadits tersebut, terma­suk hadits mengenai ayahanda Nabi se­ba­gaimana disebutkan di atas, dibatal­kan (mansukh) oleh surah Al-Isra’ ayat 15 yang telah disebutkan. Karena me­reka, ayah dan ibunda Nabi SAW, hidup sebelum ada risalah nubuwwah. Karena itu mereka termasuk ahlul fatrah yang terbebas dari syari’at Rasulullah SAW.
Keempat, khusus hadits riwayat Mus­lim tentang ayahanda Nabi, yang di­maksud “ayahku” dalam hadis tersebut ada­lah paman. Karena, di dalam Al-Qur’an, sering kali, ketika ada kata abun (ayah), yang dimaksud adalah `ammun (paman), jadi bukan orangtua kandung.
Dan untuk penyebutan orangtua kan­dung, biasanya Al-Qur’an menggunakan kata walid, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan ibu-bapakku....” (QS Ibrahim 41).
Kelima, hadits-hadits tersebut ber­ten­tangan dengan nash hadits lain se­perti yang disebutkan di atas bahwa Nabi SAW lahir dari nasab yang suci.
Keenam, dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-A‘rabiy bahwa orang yang mengatakan orangtua Nabi SAW di ne­raka, mereka dilaknat oleh Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya yang artinya, “Se­sungguhnya orang-orang yang me­nyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknat mereka di dunia dan akhirat, dan disiapkan bagi mereka adzab yang menghinakan.” (QS Al-Ahzab: 57). Berkata Qadhi Abu Bakar, “Tidak ada hal yang lebih menyakiti Nabi SAW selain di­katakan bahwa ayahnya atau orang­tuanya berada di neraka.” Demikian di­katakan As-Suyuthi dalam kitab Masa­likul Hunafa’ Fi Hayati Abawayyil Musthafa.

Bab 5 Kesimpulan/ Penutup
Demikian pendapat ulama bahwa orangtua Nabi SAW bukan orang-orang musyrik, karena wafat sebelum kebang­kitan risalah dan menjadi ahli fatrah, dan tak ada pula nash yang menjelaskan me­reka sebagai penyembah berhala. Di antara ulama yang berpendapat bahwa orangtua Nabi bukan musyrik adalah Al-Imam Asy-Syafi‘i dan para ulama besar Syafi‘i dan madzhab-madzhab lainnya, seperti Al-Hafizh Al-Muhaddits Al- Imam Al-Qurthubi, Al-Hafizh Al-Imam As-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Muhaddits Al-Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi yang mengarang sebuah buku khusus tentang keselamatan ayah-bunda Nabi SAW, Al-Hafizh Al-Imam Ibn Syahin, Al-Hafizh Al-Imam Abubakar Al-Bagh­dadi, Al-Hafizh Al-Imam Ath-Thabari, Al-Hafizh Al-Imam Ad-Dara­quth­ni, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Syaikh Al-Qhadhi, salah seorang imam dari Madzhab Malikiyyah, pernah ditanya ihwal bahwa orangtua Nabi SAW berada di neraka. Maka ia menjawab, “Mal`un (terlaknat orang itu), karena Allah SWT berfirman yang artinya, ‘Se­sungguhnya orang-orang yang menya­kiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan di akhirat, dan menyiapkan untuk mereka adzab yang hina’.” (QS Al-Ahzab: 57). Adakah yang lebih menyakiti hati Rasulullah SAW dari mengatakan bahwa orangtua Rasulullah SAW berada di neraka?


Arti bebas dari scan kitab yang berwarna kuning: “Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebelum mengkafirkan seseorang dengan nyata-nyata syaratnya harus telah ditegakkannya hujjah [sampainya hujjah], dan itu menjadi dasar ucapan-ucapannya dalam sebagian yang telah dihukumi kafir, “Tetapi sebagian manusia yang bodoh [tidak mengetahui] beberapa hukum karena terhalang kebodohannya, maka tidak boleh seseorang menghukumi kafir sehingga tegaknya hujjah [sampainya hujjah] padanya dari arah sampainya risalah kenabian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: (Dan tidaklah kami mengadzab mereka, sehingga kami mengutus kepadanya seorang Rasul) {QS. Al-Isra’: 15} [Majmu’ Fatawa jus 11 hal. 406]” “Syeikh Hamid bin Nashir bin Ma’mar seorang ulama pendakwah murid dari Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Semua orang yang sudah sampai kepadanya Al-Qur’an dan dakwah [risalah/diutusnya] Rasul, maka telah ditegakkan hujjah kepadanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: (…supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Qur’an (kepadanya)). {QS. Al-An’am: 19).” Dan pada hal. 54 Syeikh Ishaq bin Abdurrahman An-Najd berkata, “Dan yang dimaksud: tegaknya hujjah adalah sebab telah diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sampainya Al-Qur’an [kepadanya], siapa saja yang mendengar dakwah Rasulullah dan telah sampainya Al-Qur’an kepadanya, maka telah ditegakkannya hujjah [hukum]. Dan inilah yang dimaksud oleh ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.” KESIMPULAN, JIKA SALAFI WAHABI SAAT INI MEYAKINI BAHWA KEDUA ORANG TUA NABI MUHAMMAD ADALAH MASIH KAFIR, ITU LEBIH DISEBABKAN OLEH PRASANGKA KEDENGKIAN SEMATA, BUKTINYA PARA ULAMA MEREKA SAJA DENGAN DASAR AYAT-AYAT AL-QUR’AN DI ATAS DALAM PENJELASANNYA TERNYATA “SIAPAPUN ORANG YANG BELUM MENDAPATKAN DAKWAH RASUL DAN SAMPAINYA AL-QUR’AN KEPADANYA TIDAKLAH DIHUKUMI KAFIR.” Wallahu a’lam bish-Shawab.