Rabu, 21 Agustus 2013

Sejarah Syekh Quro (Maulana Hasanuddin Azmatkhan)

Oleh:
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan

Syekh Quro, siapa yang tidak kenal nama yang satu ini, khususnya diwilayah Karawang. Bahkan nama beliau ini juga dikenal dikawasan jawa barat. Dalam Sejarah Jawa Barat dan Betawi nama yang satu ini cukup sering diulas, Ridwan Saidi, sejarawan betawi dalam bukunya yang berjudul "Babad Tanah Betawi, hal 109, penerbit gria media prima, mengangkat nama beliau ini sebagai penyebar agama islam pertama di betawi. Ridwan sangat fanatik dengan sosok Syekh Quro ini, beberapa kali dalam diskusi sejarah betawi, dia selalu bangga dengan sosok Syekh Quro, namun anehnya dia tidak bangga dengan sosok Fatahillah (yang dia anggap membunuh 3000 orang betawi saat membebaskan sunda kelapa). Dalam buku yang saya peroleh dari dinas museum banten lama yang ditulis dengan gaya ilmiyah yang berjudul Riwayat Kesultanan Banten, halaman 5 tahun 2006 olehTubagus Hafiz Rafiudin, sosok Syekh Quro bahkan ditulis dengan jelas sebagai guru besar Agama Islam Di Champa. Pada halaman awal itu nama Syekh Quro langsung tertera sebagai guru besar dan orang yang berpengaruh pada tokoh tokoh atau raja/sultan pada kerajaan Pajajaran, kesultanan Cirebon maupun kesultanan Banten kelak.

Bagi orang Cirebon, Indramayu dan juga banten, nama yang satu ini juga cukup mendapat perhatian, karena sepak terjang dakwahnya yang dapat dikatakan sukses besar. Dakwahnya damai, santun dan cerdik. Beliau berdakwah dengan kemampuan ilmu alqur'annya. Ulama besar yang bergelar Syekh Qurotul’ain ini ternyata nama aslinya adalah Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanudin. Beliau adalah seorang yang arif dan bijaksana dan termasuk seorang ulama yang hafidz Al-qur’an serta ahli Qiro’at yang sangat merdu suaranya. Syekh Quro adalah putra ulama besar Mekkah, penyebar agama Islam di negeri Campa (Kamboja) yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang ternyata masih merupakan keluarga besar Azmatkhan, karena ayah Syekh Yusuf Siddiq ternyata Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Sayyid Yusuf Siddiq sendiri ibunya adalah Puteri Linang Cahaya binti Raja Sang Tawal/ Sultan Baqi Syah/ Sultan Baqiuddin Syah (Malaysia). Putri Linang cahaya ini dalam kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini dan juga situs Madawis telah melahirkan 3 anak, yaitu: Pangeran Pebahar, Fadhal (Sunan Lembayung), Sunan Kramasari (Sayyid Sembahan Dewa Agung), Syekh Yusuf Shiddiq. Ibu dari Sayyid Yusuf Siddiq ini adalah istri ke 3 dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro. Jadi Syekh Quro ini adalah cucu dari Sayyid Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro, artinya beliau Syekh Quro adalah keluarga besar Walisongo.

Adapun nasab Syekh Quro berdasarkan kitab nasab yang disusun Oleh Al Allamah Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Hafiz dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan (TheGrand-Mufti Kesultanan Palembang Darussalam), penerbit Madawis, Tahun 2011 adalah :

1. Muhammad Rasulullah SAW
2. Fatimah Az-zahra
3. Husein As-shibti
4. Ali Zaenal Abidin
5. Muhammad Al-Baqir
6. Jakfar As-Shodiq
7. Ali Al-Uraidhi
8. Muhammad An-Naqib
9. Isa Ar-Rumi
10. Ahmad Al-Muhajir
11. Ubaidhillah
12. Alwi Al Awwal
13. Muhammad Shohibus Souma'ah
14. Alwi Atsani
15. Ali Kholi' Qosam
16. Muhammad Shohib Marbat
17. Alwi Ammul Faqih
18. Abdul Malik Azmatkhan
19. Abdullah Amir Khan
20. Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
21. Husein Jamaluddin Jumadhil Kubro
22. Syekh Yusuf Siddiq
23. Syekh Hasanuddin/Maulana Hasanuddin/Syekh Quro Azmatkhan

Pada waktu kedatangan beliau ditanah Jawa, terutama kawasan Jawa bagian barat (saat itu belum ada istilah barat atau timur), wilayah Jawa Bagian Barat masih dibawah kekuasaan Negeri Pajajaran yang saat itu menganut agama Hindu, dengan seorang Raja yang bernama Prabu Anggalarang, Kekuasaan raja pajajaran tersebut meliputi wilayah Karawang dan juga sekitarnya, sebelum datang ke tanah Karawang sekitar tahun 1409 Masehi, Syekh Quro menyebarkan Agama islam di negeri Campa, dari sini beliau lalu ke daerah Malaka dan dilanjutkan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura akhirnya sampai ke Pelabuhan Muara Jati Cirebon, disini beliau disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati, yang masih keturunan Prabu Wastu Kencana dan juga oleh masyarakat sekitar, mereka sangat tertarik dengan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro yang di sebut ajaran agama Islam.

Kedatangan awal Syekh Quro tentu tidak mengherankan jika ditinjau dari sisi ilmu nasab dan sejarah, karena sebelum kedatangan beliau, keluarga besar AZMATKHAN atau walisongo sudah periode awal sudah mulai bergerak, dimulai dari Sayyid Husein Jamaluddin, kemudian anak anaknya dan dilanjutkan dengan keturunanya. Jika ditinjau dari nasab dan periodesasi walisongo, beliau ini satu angkatan dengan Maulana Malik Ibrahim dan walisongo angkatan angkatan pertama. Sayangnya memang, dibandingkan dengan walisongo yang lain, sosok beliau ini jarang dikaji dalam bentuk tulisan sejarah atau ilmiah, padahal jasa beliau dalam menyebarkan agama islam itu sangat besar. Jasa beliau ini tidak boleh dianggap kecil, karena beliau inilah yang merupakan pelopor penyebaran agama islam di Jawa Barat, sebelum eranya Sunan Gunung Jati.

Sebelum kedatangan Syekh Quro, dapat dikatakan penyebaran islam belum sporadis, namun sejak kedatangan Syekh Quro ini, Islam mulai mendapat tempat dihati rakyat. namun demikian, penyebaran agama Islam yang disampaikan oleh syekh Quro di tanah Jawa bagian barat ini rupanya sangat mencemaskan Raja Pajaran Prabu Anggalarang, sehingga pada waktu itu penyebaran agama Islam dengan titahnya harus segera dihentikan. Perintah dari Raja Pajajaran tersebut dipatuhi oleh Syeh Quro yang memang pendekatan dakwahnya sangat persuasif. Namun kepada utusan dari Raja Pajaran yang mendatangi Syekh Quro, Syekh Quro mengingatkan kepada utusan tersebut untuk kemudian disampaikan kepada raja pajajaran, "meskipun ajaran agama Islam dihentikan, namun penyebarannya kelak akan meluas hebat, dan justru dari keturunan Prabu Anggalarang nanti akan ada yang menjadi seorang Waliyullah".

Beberapa saat kemudian beliau pamit pada Ki Gedeng Tapa untuk kembali ke negeri Campa, di waktu itu pula Ki Gedeng Tapa menitipkan putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, untuk ikut dan berguru pada Syekh Quro. Tak lama kemudian Syekh Quro datang kembali ke negeri Pajajaran kembali beserta Rombongan para santrinya, dengan menggunakan Perahu dagang sebagian ahli sejarah mengatakan beliau ikut bersama rombongan titian muhibah laksamana cheng ho (nanti akan dibahas dibawah ini). Dalam rombongan yang bersama beliau diantaranya adalah, Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman. Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdilah Dargom.

Setelah Rombongan Syekh Quro melewati Laut Jawa dan Sunda Kelapa dan masuk Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut ramai dipakai Keluar masuk para pedagang ke Pajajaran, akhirnya rombongan beliau singgah di Pelabuhan Karawang.

Menurut Buku Sejarah Jawa Barat Oleh Yosep Iskandar, tahun 1997 Halaman 250, Syekh Quro masuk Karawang sekitar 1416 M. Syekh Quro masuk bersama rombongan besar titian muhibah Laksamana Cheng Ho. Armada Cheng Ho sendiri berangkat atas perintah Kaisar Cheng-Tu atau Kaisar Yunglo, Kaisar Dinasti Ming yang ketiga. Armada laut itu berjumlah 63 kapal, dengan prajurit lautnya sebanyak 27.800 orang termasuk Syekh Quro dan rombongannya. Oleh Karena Syekh Quro atau Maulana Hasanuddin atau Syekh Hasanuddin bermaksud menyebarkan agama islam, Laksamana Cheng Ho mengizinkan, apalagi Cheng Ho dan Syekh Quro sama-sama ahlul bait. Dalam Pelayarannya menuju Majapahit Armada Cheng Ho singgah disebuah daerah yang bernama Pura, nah saat di Pura inilah rombongan besar Syekh quro turun, sedangkan armada cheng ho menuju muara jati cirebon dan beristirahat seminggu lamanya untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa timur.

Syekh Hasanuddin tinggal beberapa lama di Pura Karawang dibawah kegiatan Pemerintahan dan kewenangan Jabatan Dalem (masih bawahan pajajaran). Karena rombongan Syekh quro tersebut, sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan, aparat setempat sangat menghormati dan memberikan izin untuk mendirikan Mushola ( 1418 Masehi) sebagai sarana Ibadah sekaligus tempat tinggal mereka. Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Quro terus menyampaikan Dakwah-dakwahnya di Mushola yang dibangunnya (sekarang Mesjid Agung Karawang). Dalam berdakwah ajaran Syekh Quro mudah dipahami dan mudah diamalkan, ia beserta santrinya juga memberikan contoh pengajian Al-Qur’an menjadi daya tarik tersendiri di sekitar karawang.

Di tempat ini pula Syekh Quro menikah dengan Ratna Sondari, putri penguasa daerah karawang yaitu bernama Ki Gedeng Karawang, dari pernikahannya beliau memperoleh putra yang dikenal dengan nama Syekh Ahmad, yang selanjutnya menjadi penghulu (na'ib pertama di Karawang. Cucunya Syekh Ahmad dari putrinya Nyi Mas Kedaton bernama Musanudin yang kelak menjadi lebai di Cirebon dan memimpin tajug sang cipta rasa pada masa pemerintahan susunan jati

Ulama besar ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang merdu bersama murid-muridnya, Nyi Subang Larang, Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur dan santri lainnya seperti , Syekh Abdiulah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Modafah alias Ayekh Maghribi keturunan dari sahabat nabi (sayidina Usman bin Affan).

Berita kedatangan kembali Syekh Quro, rupanya terdengar oleh Prabu Anggalarang yang pernah melarang penyebaran agama islam di tanah Jawa, sehingga Prabu Anggalarang mengirim utusannya untuk menutup kembali pesantren Syekh Quro. Rupanya ketidak sukaan Raja ini belum pupus terhadap ajaran Islam. Utusan yang datang kali ini ketempat Syekh Quro adalah Putra Mahkota Kerajaan Pajajaran sendiri yang bernama Raden Pamanah Rasa (kelak bernama Prabu Siliwangi, raja pajajaran yang legendaris). Sesampainya di pesantren tersebut sang putra putra mahkota tersebut justru hatinya tertambat oleh alunan suara yang merdu yang dikumandangkan oleh Nyi Subang Larang, ”dalam mengalunkan suara pengajian Al-Qur’an,”. Nyai Subang Larang bin Ki Gedeng Tapa adalah Alumnus pertama Pesantren Quro Dalem Karawang, pesantren Pertama Di Jawa Barat yang didirikan oleh Syekh Quro tahun 1416 Masehi. Silsilah Nyai Subang Larang sendiri masih merupakan kerabat dekat kerajaan pajajaran, sehingga mau tidak mau penguasa pajajaran juga merasa serba salah menyikapi adanya pesantren ini, apalagi dalam berdakwah pondok pesantren ini tidak melakukan kekerasan, pendekatan dakwah pesantren adalah persuasif, damai, santun dan cerdas.

Prabu Pamanah Rasa akhirnya mengurungkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Atas kehendak yang Maha Kuasa Prabu Pamanah Rasa menaruh perhatian khususnya pada Nyi Subang Larang yang cantik dan merdu suaranya, akhirnya Prabu Pamanah Rasa melamar dan ingin mempersunting Nyi Subang Larang sebagai permaisurinya. Pinangan tersebut diterima tapi dengan syarat mas kawinnya yaitu Lintang Kerti Jejer Seratus, yang di maksud itu adalah simbol dari Tasbeh yang merupakan alat untuk berwirid. Pernikahan ini membuktikan jika beliau Prabu Pamanah Rasa adalah Islam. Tidak mungkin rasanya tokoh sekelas Syekh Quro akan mudah menikahkan Nyai Subang Larang sembarangan.

Selain itu Nyi Subang Larang mengajukan syarat lain yaitu, agar kelak anak-anak yang lahir dari mereka harus menjadi Raja. Semua permohonan Nyi Subang Larang disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Atas petunjuk Syekh Quro, Prabu Pamanah Rasa segera pergi ke Mekkah.

Di tanah suci Mekkah, Prabu Pamanah Rasa disambut oleh seorang kakek penyamaran dari Syekh Maulana Jafar Sidik. Prabu Pamanah Rasa merasa keget, ketika namanya di ketahui oleh seorang kakek. Dan Kekek itu, bersedia membantu untuk mencarikan Lintang Kerti Jejer Seratus dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Sang Prabu Pamanah Rasa denga tulus dan ikhlas mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang makna pengakuan pada Allah SWT sabagai satu-satunya Tuhan yang harus disembah dan Muhammad adalah utusannya.

Semenjak itulah, Prabu Pamanah Rasa masuk agama Islam dan menerima Lintang Kerti Jejer Seratus atau Tasbeh, mulai dari itu Prabu Pamanah Rasa diberi ajaran tentang agama islam yang sebenarnya. Prabu Pamanah Rasa segera kembali ke Kraton Pajajaran untuk melangsungkan pernikahannya dengan Nyi Subang Larang. Waktu terus berjalan maka pada tahun 1422 M pernikahan di langsungkan di Pesantren Syekh Quro dan dipimpin langsung oleh Syekh Quro. Setelah menikah Prabu Pamanah Rasa dan dinobatkan sebagai Raja Pakuan Pajajaran dengan gelar Prabu Siliwangi.

Hasil dari pernikahan tersebut mereka dikarunai 3 anak yaitu:

1.Raden Walangsungsang ( 1423 Masehi)
2.Nyi Mas Rara Santang ( 1426 Masehi)
3.Raja Sangara ( 1428 Masehi).

Setelah melewati usia remaja Raden Walangsunsang bersama adiknya Nyi Mas Rara Santang pergi meninggalkan Pakuan Pajajaran dan mendapat bimbingan dari ulama besar Syekh Nur Jati Azmatkhan di Perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.

Setelah kakak beradik menunaikan ibadah Haji, maka Raden Walang Sungsang
Menjadi Pangeran Cakra Buana dengan sebutan Mbah Kuwu Sangkan dengan beristerikan Nyi Mas Endang Geulis Putri Pandita Ajar Sakti Danuwarsih. Sedangkan Nyi Mas Rara Santang waktu pergi ke naik haji ke Mekkah diperisteri oleh Abdullah Umdatuddin (ada yang mengatakan Sultan Mesir, kemungkinan besar mesir adalah tempat belajar atau transit dakwah Sayyid Abdullah Umdatuddin, karena pada era itu tidak ada nama Syarif Abdullah dalam peta pemimpin mesir) , sedangkan Raja Sangara menyebarkan agama islam di tatar selatan dengan sebutan Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat), wafat dan dimakamkan di Godog Suci Garut. Nyi Mas Rara Santang setalah menikah dengan Sayyid Abdullah Umdatuddin/Sultan Champa/Maulana Hud, Namanya diganti menjadi Syarifah Mudaim, dari hasil pernikahannya dikaruniai dua orang putra, masing-masing bernama Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Abdullah Umdatuddin sendiri memiliki beberapa istri, salah satunya adalah Syarifah Zaenab/Putri Champa binti Ibrahim Zaenuddin Al Akbar Asmorokondi. Dari Syarifah Zaenab lahir Raden Fattah Azmatkhan/Sultan Demak 1, artinya antara Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu bapak beda ibu.

Adapun anak ke 3 dari Prabu Siliwangi yang bernama Raja Sengara kelak bernama Kian Santang yang salah satu keturunannya adalah KH ABDULLAH BIN NUH (ulama besar Indonesia). Kian Santang mengikuti jejak kakak kakaknya untuk menjadi pendakwah, namanya menjadi legenda dibumi jawa barat. Kisahnya cukup banyak, baik itu fakta ataupun mitos. Kian Santang terus bergerak kearah Jawa Barat untuk mengislamkan penduduk penduduk yang masih beragama hindu. Ayahnya sendiri yaitu Prabu Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi masih sering menjadi perdebatan tentang agama yang dianut, apakah ia islam atau hindu. Memang pasca pernikahan beliau dengan Nyai Subang Larang, Prabu Siliwangi kembali ke kerajaannya dimana kondisinya sangat hindu sentris, sehingga keberadaan beliau bisa saja dipengaruhi kembali ajaran lamanya, apalagi intrik intrik dalam kerajaan sangat kuat. istri dan anak-anak Prabu Siliwangi sendiri cukup banyak dan rata rata agama mereka adalah hindu, sehingga boleh jadi mereka juga bisa memberikan pengaruh besar pada keimanan beliau, sebaliknya ketiga anaknya yang lahir dari Nyai Subang Larang terselamatkan akidahnya karena berada pada pendidikan sang ibu yang merupakan jebolan pertama pesantren Quro Dalem Karawang. Ketiga anak beliau dari Nyai Subang Larang ini rupanya tidak kerasan di Kraton Pajajaran dan mereka lebih memilih hidup dengan ibu dan santri santri pesantren Quro. Yang juga harus dikritisi, menurut saya tidak benar jika Kian Santang mengejar ngejar ayahnya untuk masuk islam, apakah memang demikian??? apakah islam mengarjakan paksaan? saya rasa tidak, sebagai orang orang yang dididik oleh keluarga besar walisongo, saya fikir tidak mungkin Kian Santang memaksa ayahnya. cerita darimana ini??? apakah tidak malah merendahkan Kian Santang sebagai seorang pendakwah???. Kita tidak tahu masalah keimanan Prabu Siliwangi diakhir hidupnya. Namun fakta ia menikah secara islam memang benar, karena ia menikah disaksikan Syekh Quro dan juga para Santri Syekh Quro, Adapun bila dikemudia hari di kembali keagama lamanya, wallahu a'lam...hanya Allah yang tahu Jawaban itu semua......

SUMBER :

1. ENSIKLOPEDIA NASAB ALHUSAINI SELURUH DUNIA, OLEH AL ALLAMAH SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN AL HAFIZH & SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN AL HAFIZH (THEGRAND-MUFTI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM), PENERBIT MADAWIS 2011.
2. SEJARAH JAWA BARAT, OLEH YOSEF ISKANDAR, PENERBIT CV GEGER SUNTEN, BANDUNG , 1997.
3. BABAD TANAH BETAWI, RIDWAN SAIDI, PENERBIT GRIA MEDIA, JAKARTA, 2002.
4. RIWAYAT KESULTANAN BANTEN, TUBAGUS HAFIDZ RAFIUDIN, BANTEN, 2006.
5. CHENG HO-MISTERI PERJALANAN MUHIBAH DI NUSANTARA, PROF. KONG YUANZHI, PUSTAKA OBOR, JAKARTA, 2011
2. DARI SITUS/WEBSITE PON PES RAUDATUL IRFAN (PONDOK PESANTREN DI KARAWANG YANG DIDIRIKAN OLEH KH MEMED TURMUDZI BIN KH ZARKASI -(MURID KH TB AHMAD BAKRI (MAMA SEMPUR).