Minggu, 25 Agustus 2013

Sejarah Munculnya Kalimat "Terputusnya Keturunan Rasulullah"

Oleh:
Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan dan Syekh-Mufti Kesultanan Palembang Darussalam 

Berbicara tentang seluk beluk keturunan Rasulullah SAW tidaklah semudah kita seperti kita membicarakan keturunan keturunan yang lain. Membahas keturunan yang lain, mungkin jarang menimbulkan perbedaan cara pandang, namun ketika orang bertemu dengan pembahasan tentang keturunan Rasulullah SAW ini jadi lain kasusnya, boleh dikatakan jika mau bicara tentang keturunan yang satu ini gampang gampang susah, kenapa demikian? Karena ketika kita bicara tentang klan yang satu ini, ternyata dalam pembahasannya bisa memunculkan pro dan kontra, ada yang mengakui keberadaan mereka dan sebaliknya ada juga yang tidak mengakui keberadaan mereka. Pembahasan akan lebih tajam lagi tentang Garis Keturunan Rasulullah ini bila didapati oleh orang yang kontra bahwa penyambung nasab Rasulullah SAW ternyata dari fihak perempuan dalam hal ini Sayyidatuna Fatimah Azzahra, padahal umumnya garis Keturunan biasanya berasal dari laki-laki. Nah repotnya ketika kedua kubu ini bertemu, yang terjadi adalah justru perdebatan perdebatan panjang yang ujungnya tidak akan pernah selesai. Kenapa bisa terjadi perdebatan perdebatan tersebut yang ujungnya justru tidak berkejuntrungan?, itu karena salah satu fihak tidak punya pengetahuan yang mendalam akan sejarah islam, khususnya sejarah keluarga besar Nabi Muhammad SAW. Tidak jarang saya sering mendengar kalimat-kalimat dengan Nada yang sangat sinis dalam menyikapi adanya keturunan Nabi Muhammad SAW misalnya dengan mengatakan, “keturunan Nabi Muhammad sudah tidak ada lagi”, “keturunan Nabi Muhammad SAW sudah habis dikarbala”, “keturunan Nabi Muhammad SAW cuma ngaku ngaku saja”, “keturunan Nabi Muhammad SAW itu tidak ada, karena Nabi Muhammad SAW anak laki-lakinya sudah meninggal”, “Keturunan Nabi Muhammad SAW itu sudah tidak ada, karena sudah lebih dari 1400 tahun yang lalu, jadi bagaimana mungkin orang mengklaim kalau dirinya adalah keturunan Nabi Muhammad SAW”, “yang namanya Keturunan Itu
harus dari laki, lha Nabi Muhammad SAW kan gak ada penerusnya”, “mau keturunan siapa kek, yang penting imannya” (kalimat yang sering saya dengar dari beberapa fihak yang memang dari awalnya tidak senang dengan yang namanya keturunan Rasulullah SAW”, “Mana ada keturunan Nabi Muhammad SAW kayak gitu”, “mana ada keturunan Nabi di daerah anu......”

Kalimat kalimat yang menyatakan keraguan akan keberadaan keturunan NABI
MUHAMMAD ini cukup banyak saya temui, bahkan tidak tanggung-tangggung, keraguanakan keberadaan keturunan Rasulullah SAW ini bahkan pernah dilakukan oleh banyak oknum yang katanya ulama-ulama serta sejarawan Islam seperti yang dilakukan oleh Syekh Tonthowi pada tahun 1985. Bahkan sampai saat ini masih didapati dibeberapa negara Timur Tengah masih ada yang tidak percaya bahkan tidak senang dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW itu ada. Bahkan yang lebih kejam lagi, bagi mereka yang benci dengan keturunan Rasulullah SAW sampai sampai makam keturunan dan keluarga Nabi Muhammad SAW banyak yang mereka hancurkan dan mereka ratakan dengan tanah hanya karena dianggap bisa memunculkan kemusyrikan, contohnya Mekkah dan Madinah yang semua makam keturunan Nabi Muhammad SAW hampir sudah tidak berbekas lagi. Untungnya dibeberapa Negara seperti Yordania, Mesir, Yaman, Irak, Iran, Indonesia, Turki dan Khususnya Indonesia dll masih bisa mempertahankan makam-makam keturunan dari Nabi Muhammad SAW. Di Syiria bahkan belum lama ini ada ulama yang berani pasang badan jika makam Cucunya Rasulullah SAW yaitu Sayyidah Zaenab akan dihancurkan. Kebencian akan keturunan Rasulullah SAW memang sudah lama terjadi, dan itu sudah dimulai pada masa Rasulullah SAW hidup sampai sekarang, dan puncak kebencian kepada keturunan Rasululllah SAW terjadi pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pada masa Muawiyah bin Abu Sofyan, kurang lebih 70.000 mimbar
jumat diperintahkan untuk mencaci maki Sayyidina Ali yang merupakan ahlul
baitnya Nabi. Sampai sampai pada masa itu orang lebih senang disebut kafir
daripada disebut sebagai pengikut Sayyidina Ali. Adanya permusuhan kepada
keluarga Nabi ini menyebabkan banyak dari mereka menyingkir dan menyebar
keberbagai belahan dunia..

Tidak jarang dari sikap yang ragu akan keberadaan keturunan Nabi Muhammad SAW itu kemudian menjadi sikap benci dan klimaknya adalah antipati. Nah berkaca dari banyaknya fakta yang saya temukan akan sikap sikap yang meragukan tentang keberadaan Keturunan Nabi Muhammad SAW, saya tertarik untuk mengangkat tema tentang sejarah munculnya kalimat atau statement yang menyatakan NABI MUHAMMAD SAW putus keturunannya, hal ini patut kita ketahui, agar kedepannya kita jadi bisa memahami adanya keberadaan keturunan Nabi Muhammad SAW ini...

Adanya ketidak percayaan keturunan Nabi Muhammad SAW ini, rupanya menular juga dinegara kita ini, tidak jarang banyak sekali oknum oknum yang menyatakan bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW itu tidak ada. Yang lebih konyol lagi sikap
mendustakan keturunan Nabi Muhammad SAW ini bahkan menular kepada beberapa orang yang mengaku “ahli nasab” dengan mengatakan jika nasab walisongo yang merupakan keturunannya Rasulullah SAW juga putus. Bahkan yang lebih aneh bin Ajaib Syekh Abu Hasan Assadzili dan Syekh Abdul Qodir Jaelani saja mereka katakan nasabnya tidak jelas...Gila!!! kedua ulama besar yang merupakan rajanya Ulama pada masa itu nasabnya dituduh palsu dan coba diutak utik oleh banyak manusia munafik yang tidak mengerti ilmu nasab. Menyikapi adanya pengingkaran terhadap Keturunan Nabi ini, Prof Dr. Hamka pernah mengatakan ketika ditanya seseorang dengan pertanyaan “ BENARKAH HABIB ALI KWITANG DAN HABIB SOLEH BIN MUHSIN ALHAMID ADALAH KETURUNAN NABI MUHAMMAD SAW?” . Mendapat pertanyaan tertulis itu HAMKA langsung menjawab  “bahwa keberadaan Keturunan Nabi Muhammad SAW itu memang ada, bahkan di Indonesia ini merupakan negara yang sangat banyak keturunannya Nabi Muhammad SAW”. Hamka bahkan tegas mengatakan bahwa ia sangat marah jika ada orang yang sok usil utak atik Nasab keluarga besar Nabi Muhammad SAW, menurut Hamka, “JANGANKAN NASAB NABI MUHAMMAD SAW, NASAB SAYA SAJA YANG SAYA KETAHUI HANYA SAMPAI 7 KETURUNAN, SAYA AKAN MARAH MARAH BILA DIUTAK UTIK, APALAGI INI NASABNYA RASULULLAH YANG JUSTRU SUDAH 30 ATAU 40 GENERASI” .

Bayangkan Prof Dr Hamka yang merupakan ulama besar Indonesia berkata demikian. Dan Prof Dr Hamka menurut saya tidak perlu berkecil hati dengan Nasabnya, karena siapa bilang beliau nasabnya hanya sampai 6 atau 7 generasi saja. Justru saya merasa bahwa HAMKA ini sedang melakukan masturisasi terhadap nasabnya, bukankah ia juga bernasab kepada kepada Keluarga Besar Azmatkhan? bukankah ayah dan kakeknya merupakan keturunan Sunan Giri Azmatkhan, bukankah nama beliau merujuk kepada seorang Ulama besar yang merupakan datuknya walisongo yang berada di Naserabad India Yaitu Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah sangat jelas menunjukkan bahwa beliau ada keterkaitan), Dalam ilmu nasab Faktor sebuah nama adalah bagian khusus yang sering dibahas, metode nama dalam ilmu nasab dinamakan NAMOLOGI, metode ini jangan dianggap main-main, karena untuk pembahasan nama diperlukan lagi varian varian pendukung dengan ilmu ilmu lain.

Adapun catatan nasab keluarga besar Hamka ini bahkan terdapat dalam
kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia, Oleh Sayyid Bahruddin
Azmatkhan Al Husani & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini, Penerbit
Madawis, Jakarta, 2013, leluhur HAMKA adalah salah satu anak dari Sunan Giri yang berhijrah ke Sumatra Barat, khususnya kawasan Minangkabau. Leluhur HAMKA kelak banyak menurunkan ulama-ulama besar kelas dunia yang salah satunya adalah Syekh Ahmad Khatib Al Minangkawabi (Salah satu kerabat Agus Salim) yang merupakan Imam Masjidil Haram yang sezaman dengan Syekh Nawawi Al Banteni. kedua Ulama besar itu adalah AZMATKHAN.

Adapun sejarah munculnya kalimat

“Putusnya Keturunan Nabi Muhammad SAW” adalah sebagai berikut :

Budaya Arab Jahililiah pada masa itu adalah dalam memandang garis keturunan terutama keturunan laki-laki, selalu mendapat posisi yang sangat mulia, kedudukan laki-laki adalah mutlak dan terhormat pada bangsa Quraish, tidak punya anak laki-laki pada masa itu, adalah aib yang besar, apalagi jika ia adalah seorang pemuka quraish..Tidak punya anak laki-laki itu adalah nista dimata bangsa Quraish, bahkan tidak jarang dengan sikap jahiliah mereka, ketika beberapa dari mereka mengadopsi seorang anak laki, maka anak laki-laki yang diadopsi itu akan dijadikan sebagai penerus keturunan, artinya anak hasil adopsi atau anak angkat itu dijadikan garis nasab. Bangsa Arab pada masa itu khususnya Kaum Quraish menganggap bahwa kematian seorang anak laki-laki berarti putus keturunan. Kalau seseorang yang pada masa itu itu anak laki-lakinya meninggal dan dia tidak punya lagi anak selain anak perempuan, maka orang tersebut menjadi terhina dimata bangsa Quraish, Orang yang tidak punya keturunan laki-laki dalam pergaulan akan selalu tersisih dan dilecehkan. Begitu kuatnya akan budaya pengagungan akan anak laki-laki, sampai sampai bagaimana caranya setiap orang dari suku quraish berusaha terus menerus mendapatkan anak laki-laki.

Nah dengan budaya akan pengagungan anak laki-laki ini, Nabi Muhammad SAW yang beristrikan Sayyidatuna Khodijah Al Kubra juga ternyata merasakan kebahagiaan ketika mendapatkan anak laki-laki, Beliau Rasulullah SAW sebagai seorang ayah cukup berbahagia ketika memperoleh anak laki-laki. Beliau berharap kelak putra putranya itu menjadi penerus perjuangan dakwah beliau. Rasulullah SAW sendiri dari istri beliau yaitu Sayyidatuna Khadijah Al Kubra mempunyai putra dan putri yaitu Zainab, Ruqayyah, Ummi Kalsum, Fatimah Azzahra, Qosim, Abdullah (beliau wafat masih kecil), ada juga sejarawan Islam yaitu Ibnu Hazm yang menyebut nama Ibrahim sebagai anak Rasulullah SAW. Ibrahim sendiri adalah anak dari istri Rasulullah SAW yang bernama MARIYAH AL QIBTHIYYAH. Artinya keberadaan Ibrahim setelah wafatnya anak laki laki Rasulullah SAW dari rahim Siti Khadijah Al Kubra. Namun dari kesemua anak laki beliau ini, yang mahsyur adalah Qosim ini karena kelak dari Qosim inilah turunnya surat al quran, sehingga tidak jarang Rasulullah SAW sering dipanggil dengan gelar ABUL- QOSIM.

Saat Rasulullah SAW sedang menikmati kebahagiaannya sebagai seorang ayah dari anak anak beliau tersebut, ternyata Allah berkehendak lain. Abdullah wafat saat masih kecil.....Namun yang lebih mengguncang hati dan perasaan RasulullahSAW ketika Qosim yang sedang lucu-lucunya tidak lama kemudian dalam usia 6 tahun wafat melalui sakit.....Betapa sedih hati Nabi Muhammad SAW ketika mendapati keadaan jika anak laki-laki terakhirnya wafat. Tidak terbayang bagaimana perasaan Rasulullah SAW saat itu. Disaat Rasulullah SAW sedang berduka, tiba tiba ada beberapa orang kafir Quraish mengeluarkan pernyataan yang menyakitkan hati Rasulullah SAW dengan mengatakan bahwa “MUHAMMAD KETURUNANNYA SUDAH TERPUTUS.....”. Salah satu manusia kurang ajar yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW keturunannya terputus adalah AL’ASH bin WA’IL AS SAHMY. Manusia kurang ajar yang satu ini sering mengucapkan didepan khalayak ramai dengan ucapan “DIA (MUHAMMAD) ADALAH ORANG YANG PUTUS KETURUNAN (TIDAK AKAN PUNYA KETURUNAN), BILA IA SUDAH MATI KITA TIDAK AKAN BERHADAPAN DENGAN KETURUNANNYA DAN KALIAN AKAN DAPAT
BERISTIRAHAT DARI GANGGGUANNYA...”. Begitu mendengar hinaan ini betapa hancur dan sedihnya hati Rasulullah SAW. Pernyataan AL Ash bin Wa’il As-Sahmy ini bahkan ditambahkan dan diperkuat lagi oleh UQBAH BIN ABI MU’AIT dengan
mengatakan “TIDAK SEORANG ANAK LAKI-LAKIPUN YANG HIDUP BAGI MUHAMMAD, SEHINGGAKETURUNANNYA TERPUTUS”, sudahkah berhenti hinaan ini? Belum.....masih ada lagi yaitu hinaan yang datang dari AL-WALID BIN AL-MUGHIRAH dan biang kerok kafir quraish, siapa lagi kalau bukan si Dungu alias ABU JAHAL, kedua orang ini mengatakan “LIHATLAH, MUHAMMAD TIDAK AKAN PUNYA KETURUNAN”.

Tidak bisa dibayangkan betapa tersayatnya hati Rasulullah SAW mendengar hinaan dan caci maki ini. Namun Allah SWT rupanya tidak membiarkan Hambanya yang mulia ini bersedih, tidak lama kemudian turunlah ayat yang membantah pernyataan AL’ASH bin WA’IL AS SAHMY, yaitu SURAT AL KAUTSAR 1-3 yang berbunyi : SESUNGGUHNYA KAMI (ALLAH) TELAH MELIMPAHKAN BANYAK NIKMAT KEPADAMU (HAI MUHAMMAD), MAKA TEGAKKANLAH SHOLAT KARENA TUHANMU DAN BERKORBANLAH, ORANG YANG MEMBENCIMU ITULAH YANG SEBENARNYA PUTUS (DARI RAHMAT ALLAH). Beberapa ulama ahli tafsir seperti Imam As-Suyuthi dalam kitabnya “Asbabun Nuzul” dan dalam kitab tafsirnya “Ad-Dur Al Mantsur” bahwa keturunan Nabi Muhammad SAW tidak terputus justru yang terputus keturunannya adalah orang orang yang menghina Nabi Muhammad SAW tersebut. Selain imam Assuyuti SURAT AL-KAUTSAR ayat 1-3 banyak diriwayatkan, bantahan dari surat Al Kautsar ini juga diantaranya misalnya diriwayatkan oleh Ibnu Jabir yang bersumber dari Syammar bin Athiyah, Ibnu Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij. Terutama ayat 3 Yaitu INNA SYAA NIAKA HUWAL ABTAR, adalah merupakan jawaban penegasan untuk mereka yang sudah menghina Nabi. Kata “ABTAR” pada akhir surat tersebut antara lain bermakna “ORANG YANG TERPUTUS KETURUNANNYA “. Kata “ABTAR” dimaksud tidak bermakna lain selain keturunan.

Sejarah membuktikan, bahwa orang orang yang pernah menghina Nabi Muhammad SAW, keturunannya terputus semua...beberapa tokoh Quraish yang menghina Nabi Muhammad SAW, mereka terputus keturunannya, Abu Jahal (si dungu) keturunannya terputus, anaknya Ikrimah tidak melanjutkan nasabnya, Ikrimah justru masti syahid dalam peperangan, Allah masih mentakdirkan anak abu jahal selamat dari pengaruh bapaknya sehingga Ikrimah berhasil masuk Islam bahkan menjadi pahlawan dari beberapa perang, pasukan Ikrimah bahkan terkenal sebagai pelopor pasukan berani mati pertama dalam sejarah Islam.

Bagaimana dengan Al Ash bin Wa’il As-Syahmi? ternyata dia  juga putus keturunannya. Salah satu anaknya adalah tokoh Islam yang bernama Amr bin Al Ash. Amr bin Al Ash adalah salah tokoh yang ikut menjatuhkan Imam Ali bin Abi Thalib dalam perundingan Tahkim, Amr bin Ash terkenal licin, cerdik, lihai dan licik dalam dunia politik. Amr bin Al Ash berhasil mengalahkan Abu Musa Al Asyari dalam perundingan tahkim. Amr bin Al Ash dalam sikap politiknya lebih cenderung mendukung Muawiyah bin Abi Sofyan, apalagi dukungan Amr bin Al Ash ini karena Amr bin AL ‘ASH dijanjikan wilayah mesir oleh Muawiyah bin Abu Sofyan. Sikap Amr bin Al Ash banyak tidak disukai oleh para pendukung Imam Ali dan para sahabat Imam Ali yang jujur, termasuk Abdullah bin Abbas yang sangat mengetahui persis siapa Amr bin Al ash ini sebenarnya, Abdullah bin Abbas sangat khawatir dengan Amr bin Al Ash ini dan terbukti, pada saat perundingan, ternyata kelicikan Amr bin al Ash berhasil mengecoh Abu Musa Al Asyari yang memang tikipalnya polos dan jujur. Kalahnya perundingan politik ini menyebabkan kedudukan Imam Ali makin lemah dan akhirnya kelak berhasil direbut oleh muawiyah melalui tangan anak Imam Ali yaitu Sayyidina Hasan. Mengenai Amr Bin Al Ash ini tidak diketahui keturunan dia mempunyai keturunan yang berlanjut apa tidak, yang jelas sikapnya yang pro kepada Muawiyah menyebabkan banyak para pendukung Imam Ali sakit hati.

Bagaimana dengan generasi selanjutnya pasca wafatnya anak Nabi Muhammad SAW yaitu Qosim atau Ibrahim dan hubungannya dengan Surat Al Kautsar itu? ternyata setelah hinaan hinaan tersebut muncul, justru Rasulullah SAW melalui anaknya SAYYIDATUNA FATIMAH melahirkan SAYYIDINA HASAN dan SAYYIDINA HUSEIN yang kelak memiliki banyak keturunan dan tidak terputus sampai sekarang!!!. Mereka keturunan Al Imam Hasan dan Al Imam Husein menjadi generasi penerus NASABNYA RASULULLAH SAW hingga saat ini. Surat AL Kautsar ayat 3 membuktikan bahwa keturunan Rasulullah SAW hingga kini langgeng pada saat ini. SAYYIDATUNA FATIMAH dengan pernikahannya dengan IMAM ALI bin ABI THALIB mendapat kehormatan sebagai wanita satu satunya penyambung nasabnya Rasulullah SAW dan hal ini ditegaskan oleh Rasulullah SAW dengan mengatakan “SEMUA ANAK ADAM BERNASAB KEPADA ORANGTUA LELAKI (AYAH MEREKA), KECUALI ANAK-ANAK FATIMAH.AKULAH AYAH MEREKA DAN AKULAH YANG MENURUNKAN MEREKA” (seperti yang terdapat pada tafsir al manar oleh Syekh Muhammad Abduh), juga sebuah Hadist yang berbunyi “semua sebab
dan nasab putus pada hari kiamat, kecuali sebab dan nasabku (HR attobroni,
Alhakim, Al Baihaqi)”, Dan pernyataan Rasulullah SAW ini juga dipertegas lagi
dengan Hadist beliau yang berbunyi “DUA ORANG PUTRAKU (maksudnya adalah Al
Hasan dan Al Husein) adalah Imam-imam baik disaat mereka sedang duduk maupun sedang berdiri” (terdapat dalam kitab Al Ahkam-Imam Bukhari, dan Al Imarah oleh Imam Muslim. Nah Rasulullah SAW dalam berbagai hadist tentang Ahlul Bait sering menyebut kedua cucunya adalah “PUTRA-PUTRAKU”. Kalimat “PUTRAKU-PUTRAKU (ANAK ANAK KAMI)” biasanya hanya disebutkan sebagai sebuah hubungan garis nasab.

Nah dengan adanya kalimat penyebutan bahwa Al HASAN dan AL HUSEIN sebagai
“PUTRA-PUTRA” RASULULLAH SAW maka berarti dengan dengan tegas dan diperkuat dengan adanya SURAT AL KAUTSAR maka keturunan Rasulullah SAW ada dan eksis. Sayyidatuna Fatimah Azzahra (azzahra/wanita berkilau atau bercahaya) memang wanita Istimewa dimata Rasulullah SAW. Bahkan Rasulullah SAW mengatakan dalam Hadist Riwayat Ahmad dan Alhakim bahwa Sayyidatuna Fatimah adalah “wanita wanita penghuni surga yang paling afdhol disamping juga Khadijah binti Khuwalid, Maryam binti Imron dan Asiyah binti Muzahim... Sayyidatuna Fatimah adalah orang yang paling mirip Rasulullah SAW dari mulai wajah, kulit, Rambut ,cara berjalan dan tentu ahlaknya. Beliau Sayyidatuna Fatimah Azzahra bahkan dijuluki “UMMU ABIHA” karena Rasulullah SAW melalui wahyu sudah mengetahui hanya Fatimahlah diantara putra putrinya yang akan meneruskan keturunannya.

Dalam beberapa riwayat beliau ini selama hidupnya Sayyidatuna Fatimah  tidak pernah mengalami menstruasi atau haid serta nifas sehingga ibadah yang beliau lakukan tidak pernah terputus karena adanya halangan tersebut..... Subhanallah.....Allahu Akbar!!!.  Tidak haid dan nifasnya Sayyidatuna Fatimah ini bukanlah karena penyakit, namun itu adalah salah satu mukjizat Rasulullah SAW, dan bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin, sekalipun ribuan teori mengatakan seorang perempuan haruslah haid karena anatomi tubuhnya mendukung itu, namun untuk wanita terbaik yang satu ini adalah sebuah pengecualian! dan itu adalah bentuk Mukjizatnya Rasulullah SAW.

Adanya kondisi yang tidak haid menyebabkan Rasulullah SAW memberikan gelar
khusus kepada Sayyidatuna Fatimah dengan gelar “AL-BATUL” (salah satu maknanya adalah “ORANG SUCI”), pantaslah jika beliau dijadikan tali penerus dan
penyambung keturunan Rasulullah SAW. Rasulullah SAW dalam menyayangi
Sayyidatuna Fatimah betul betul luar biasa, Beliau berkata “FATIMAH ADALAH
BAGIAN DARIKU, APA YANG MEMBUATNYA MARAH MAKA MEMBUATKU MARAH (HR RIWAYAT BUKHARI, TURMUZI, AHMAD,HAKIM)”.

Dalam kehidupan sehari-hari Sayyidatuna Fatimah Azzahra, beliau tidak mengenal yang namanya kemewahan, bahkan mengenakan kalung saja menjadi pantangan. Dari segi materi keluarga Sayyidatuna Fatimah dan Suaminya Imam Ali bin Abi Thalib sangatlah miskin, tapi apabila dilihat dari sisi lain keluarga,  Sayyidatuna Fatimah dan Imam Alilah yang paling berkah diantara putra putri Rasulullah SAW yang lain, bagaimana tidak? Hanya dari keturunan merekalah yang masih berlanjut hingga kini.

Adapun sejarah keturunan Rasulullah SAW melalui Al Hasan dan Al Husein terus
berkembang dan menyebar kemana mana, namun memang dari sekian anak anak dari Al Hasan dan Al Husein hanya beberapa saja yang nasabnya hingga kini masih terjaga, sedangkan anak anak mereka sebagian besar tidak meneruskan garisnasabnya dikarenakan tidak punya keturunan atau wafat saat belum menikah. Walaupun hanya beberapa anak dari Sayyidina Husein dan Sayyidina Hasan yang meneruskan garis keturunan, namun berdasarkan data terbaru dari Beberapa Lembaga Nasab Dunia dan juga Kitab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia & Ensiklopedia Nasab Al Hasani Seluruh Dunia yang disusun oleh Sayyid Bahruddin Azmatkhan dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan, Jumlah Fam Al Husaini sudah mencapai 5515 dan Al Hasani 5515 Fam. Bisa kita bayangkan jika 1 Fam saja keturunannya sudah 1000 orang, berapakah jumlah keturunan Rasulullah SAW saat ini? Dapatlah dikatakan jika Keturunan Rasulullah itu adalah Keturunan yang paling banyak dimuka bumi ini. Keturunan Rasulullah SAW menyebar diseluruh muka bumi ini, jangan kira Ahlul Bait hanya da di Timur Tengah saja, Ahlul Bait juga menyebar Ke Asia Tenggara, Asia Selatan, Asia Timur, Eropa Timur dan Barat dan juga beberapa negara-negara lain. Banyak dari mereka yang sudah berasimilasi dengan pribumi setempat, namun demikian nasab mereka tetaplah dipertahankan, termasuk keluarga besar Walisongo yang merupakan keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Imam Alwi Ammil Faqih Ba'alawi Al Husaini.

Keturunan Sayyidina Husein sendiri hanya melalui jalur Imam Ali Zaenal
Abidin/Ali Assajad/Ali Al Ausath. Imam Ali Zaenal Abidin adalah satu satunya
saksi hidup peristiwa pembantaian karbala, Imam Ali Zaenal Abidin adalah satu
satunya anak Sayyidina Husein yang selamat dari pemusnahan kejam Yazid bin
Muawiyah. Sedangkan anak Sayyidina Hasan yang meneruskan garis nasabnya adalah Hasan Mutsanna dan Muhammad Al Hanafiah. Sampai saat ini keturunan RasulullahSAW masih terus bertahan, dan jumlahnya puluhan juta orang diseluruh dunia, bahkan ada yang mengatakan jika jumlah Zuriah Rasulullah itu sudah mencapai angka ratusan juta orang, namun yang terdata baru puluhan juta saja.

Wallahu A'lam Bisshowab..

Daftar Pustaka

Abdussalam Al-Hinduan, Rasulullah SAW Mempunyai Keturunan & Allah Memuliakannya, Surabaya, Penerbit CahayaHati, Tahun 2008

HMH Alhamid Al-Husaini, Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW, Jakarta, Penerbit Alhamid Alhusaini Press, Tahun 1990.

HMH Al Hamid Al-Husaini, Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW, Jakarta, Penerbit Pustaka Hidayah, Tahun 2009.

HMH Al Hamid Al-Husaini, AlHusain bin Ali RA Pahlawan Besar dan kehidupan Islam pada Zamannya, Semarang, Toha
Putra, 1978.

Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al-Husaini & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini, Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia, Penerbit, Jakarta, 2013.

Umar Muhdor, Tuntutan Tanggung Jawab Terhadap Ahlul Bait Dan Kafa’ahnya, Jakarta, Yayasan Nusantara , Penerbit Yayasan Nusantara, Tahun 1999.

Dinar Dirham Walisongo & Dinar Dirham Nusantara

Oleh: 
As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)

PENDAHULUAN



Nusantara pada masa lalunya dapat dikatakan sebagai zamrud khatulistiwa, adalah salah satu kawasan yang sudah mempunyai peradaban yang cukup tinggi dan maju pada zamannya.

Semua itu tak terlepas karena posisi geografis kepulauan Nusantara yang berada diatas khatulistiwa, kawasan yang selalu dapat ditanami tiap saat akibat tersinari matahari sepanjang tahun.

Juga karena kandungan geologinya, terbentuknya pulau-pulau di Nusantara yang menyembul di atas laut, menjadikannya pulau yang aslinya adalah gunung dan pegunungan, membuat kawasan itu mempunyai banyak kandungan tambangnya.

Dengan sumber alamnya yang kaya dan sangat banyak, tak heran jika di kawasan ini sudah banyak sekali terdapat pasar-pasar besar di tiap kerajaannya.

Pasar-pasar yang pada masa kini mungkin sekelas “free trade area” di Nusantara tersebut, selalu ramai disinggahi oleh kerajaan-kerajaan lainnya nan jauh berada disebrang samudera selama berabad-abad lamanya.

Perdagangan di pasar-pasar besar di Nusantara tersebut tak hanya terkenal di negeri jiran, namun juga terkenal hingga di kerajaan-kerajaan manca negara seperti daerah Cina, India,  Arab, hingga oleh kerajaan-kerajaan di benua Afrika.

Nusantara yang kaya akan alamnya, membuat tak ada putusnya kerajaan-kerajaan nan jauh di sana selalu berusaha ingin menjalin hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajan di Nusantara yang hasil buminya melimpah.

Namun dalam urusan mata uang, Nusantara masih terbilang muda dalam mengenal mata uang sebagai alat pembayaran. Karena pada masa itu, kebanyakan mereka masih menggunakan cara barter, baik dengan hasil perkebunan, ternak ataupun beberapa jenis keping logam tarmasuk perak dan emas tapi bukan berupa mata uang resmi kerajaan.

Tercatat pada sejarah, bahwa negeri ini baru mempunyai uang resmi pada sekitar abad ke 8, itupun karena adanya pengaruh dari mitra negara-negara tetangga, yang juga berdagang disaat itu namun sudah mempunyai mata uangnya sendiri (seperti Arab, China dan India).

Sejarah uang Indonesia dimulai sejak masa jaya Kerajaan Mataram Kuno, yakni sekitar tahun 850 M. Kerajaan ini menggunakan koin-koin emas dan perak berbentuk kotak sebagai alat tukarnya. Berikut ini adalah 10 daftar mata uang tertua di Nusantara yang telah diketahui atau telah ditemukan sampai saat ini:

Kronologi Penggunaan Matauang Emas Murni di Nusantara:

TAHUN 850 MASEHI DICETAK UANG EMAS TAHIL KERAJAAN MATARAM KUNO,  OLEH WANGSA SYAILINDRA


Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Inilah bukti terawal sistem mata uang yang ada di pulau Jawa dan di Nusantara.

Tahun 850 Masehi adalah era Kejayaan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Ja'far Al-Mutawakkil, Khalifah ke-10 Khalifah Bani Abbasiyyah. Karena Kekhalifahan bersifat Seluruh dunia. (Baca: http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Mutawakkil).

Karena Khalifah Ja'far Al-Mutawakkil (Khalifah Ke-10 Bani Abbasiyyah) pada tahun 850 Masehi telah berhasil menaklukkan Byzantium, Turki, Sisilia, Nusantara, dibawah kepemimpinan Panglima  al-Fath bin Khaqan dan Panglima Muda Al-Muntashir (yang merupakan putra Mahkota). Maka pada tahun 850 Masehi Kekuasaan Wangsa Syailendra merupakan negara bagian dari Kekhalifahan Abbasiyyah. Diriwayatkan pula bahwa Raja Syailendra pada tahun 850 Masehi resmi masuk Islam, yang sebelumnya beragama Budha. Dan pada tahun 850 Masehi, di Kerajaan Mataram Kuno Dinasti Wangsa Syailendra diberlakukan Syriat Islam dengan menerapkan MATAUANG EMAS MURNI.


Terbuat dari emas atau disebut pula sebagai keping tahil Jawa atau Dinar Jawa, tahun 850 Masehi. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama dan mempunyai beberapa nominal satuan:

Pitu Tahil atau 7 Dinar, berat 31,103 gram
Tahil Jawa (Ta) atau 1 Dinar, berat 4,44 gram emas murni - sama dengan 4 atak atau 8 Kupang. Tahil dalam bahasa Jawa Kuno artinya Murni, atau dalam bahasa Arab disebut Takhalli artinya MURNI.
Masa (Ma) atau nisfu dinar, berat 2.22 gram emas murn – sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
Atak atau rub'u dinar, berat 1.11 gram emas murn – sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
Kupang (Ku) atau Tsumun dinar, berat 0.555 gram emas murn – sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.2775 gram) dan 1 Saga (0,13875 gram).
Sedangkan uang perak disebut Darahama atau Dirham, dengan pecahan:
1 Masa Perak atau 1 Darahama (Da) atau 1 dirham, berat 3,11 gram perak murni
10 Masa Perak atau 10 Darahama (Dasada) atau 10 dirham, berat 31,103 gram perak murni

Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar adalah Pitu Tahil (7 dinar) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Davanagari  “Ta”. Davanagari artinya NEGARA BERHUKUM KETUHANAN atau Negara bersyariat.

Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatic, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.

Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa) dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.

TAHUN 1042 M - 1130 M, UANG EMAS JENGGALA DICETAK OLEH KERAJAAN JENGGALA 


Pada zaman Kerajaan Jenggala (1042-1130-an) dan Kerajaan Daha (1478-1526) uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada tahun 1042 Masehi, Penguasa dunia (Khalifah) adalah Khalifah Al-Qa'im Biamrillah bergelar Abu Ja'far dengan nama aslinya Abdullah bin al-Qadir adalah Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad dari tahun 1031 sampai 1075. Dan raja-raja dari Jenggala dan Daha telah masuk Islam, melalui Mufti Kekhilafahan Abbasiyyah yang bernama Syekh Maimun bin Hibbatullah Al-Husaini, ayah dari seorang Mubaligh perempuan yaitu Fathimah binti Maimun yang makamnya ada di Leran, Gresik.

Kerajaan Janggala, adalah salah satu dari dua pecahan kerajaan yang dipimpin oleh Airlangga dari Wangsa Isyana. Kerajaan ini berdiri tahun 1042, dan berakhir sekitar tahun 1130-an. Lokasi pusat kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di wilayah Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Airlangga masuk Islam tahun 1043 Maimun dibawah bimbingan Syekh Maimun bin Hibbatullah Al-Husaini.


TAHUN 1200 MASEHI, UANG EMAS MAJAPAHIT


Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali termasuk di situs kota Majapahit ini, kebanyakan berupa perkembangan dari dinasti sebelumnya, uang “Ma”, (singkatan dari Māsa) zaman dinasti Syailendra (pada poin nomer 1) yang dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno.

Majapahit adalah kerajaan bagian dari Khilafah Abbasiyyah dibawah kepemimpinan Khalifah An-Nashir Lidinillah (1158 M – 1225 M) bergelar Abu al-Abbas dengan nama asli Ahmad bin al-Mustadhi' Biamrillah adalah Khalifah ke-34 Bani Abbasiyah di Baghdad dari 1180 Masehi hingga 1225 Masehi. Adz-Dzahabi berkata tentang masa kekuasaannya:"Tidak seorang pun dari khalifah yang memegang kekuasaan lebih lama darinya. Karena dia berkuasa selama empat puluh tujuh tahun. Masa pemerintahannya diwarnai dengan kestabilan dan kemuliaan serta keagungan. Dia berhasil membungkam semua musuh-musunya....", Raja-Raja Majapahit adalah wakil dari Khalifah Abbasiyyah.

Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan “ta” dalam huruf Nagari (pada poin nomer 1). Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segi empat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali.


Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar.

Tanda “tera” atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segi empat.

Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.

Dalam standar berat Nusantara kita akan menemukan formula 1 Troy ounce (ozt) = 7 Mithqal = 10 Mayam yang kesemua ukuran tersebut diterapkan pada emas murni.

Sedangkan Suwarna (satuan uang emas) yang digunakan Majapahit di dibagi menjadi Ma (Masa) yang beratnya 1/2 mithqal, Atak yang beratnya 1/4 mithqal dan Kupang yang beratnya 1/8 mithqal = 1 daniq emas.

Jadi pada masa Majapahit daniq emas digunakan. Berbeda dengan daniq perak yang 1/6 Dirham; Daniq emas beratnya 1/8 Dinar atau 1 Ku (Kupang) adalah 1/8 Dinar/ Mithqal dan sama persis 1 Daniq. Mengapa ada Atak, karena salah satunya untuk pembayaran Diyat yaitu 1/4 Mithqal atau 1 Atak.

Penjelasan: 1 mitsqal = 1 dinar1 mitsqal = 72 biji gandum Barley ukuran sedang, dipotong kedua ujung (habbah syai’rah)1 mitsqal = 21 3/7 qirath (Arab)
Dalam gram: 1 biji gandum Barley ukuran sedang (habbah sya’irah), dipotong kedua ujung = 0,0617 gram
Dalam gram: 1 qirath (Arab) 2% lebih kecil dari qirath Syria (212 mg) = 207,5 mg
72 habbah sya’irah = 21 3/7 qirath = 1 mitsqal


TAHUN 1297 MASEHI, DINAR DIRHAM KESULTANAN SAMUDERA PASAI


Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia. Pernah menjadi Kerajaan bagian dari Kekhallifahan Abbasiyyah dengan Khalifah terakhir, yaitu Khalifah Al-Hakim, kemudian  pada tahun 1302 Masehi. Kesultanan Samudera Pasai berdiri sendiri, setelah runtuhnya kekhilafahan Abbasiyyah.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.

Mata uang emas dari Kerajaan Samudera Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326 Masehi.

Mata uangnya disebut " Dinar" dan “Dirham” yang berat standarnya adalah 1 mitsqal = 1 dinar1 mitsqal = 72 biji gandum Barley ukuran sedang, dipotong kedua ujung (habbah syai’rah)1 mitsqal = 21 3/7 qirath (Arab)
Dalam gram: 1 biji gandum Barley ukuran sedang (habbah sya’irah), dipotong kedua ujung = 0,0617 gram
Dalam gram: 1 qirath (Arab) 2% lebih kecil dari qirath Syria (212 mg) = 207,5 mg
72 habbah sya’irah = 21 3/7 qirath = 1 mitsqal

Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram. Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang 1/2 dinar berdiameter 6 mm.

Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”. Nama dirham menunjukkan pengaruh kuat pedagang Arab dan budaya Islam di Kesultanan tersebut.

TAHUN 1404 MASEHI DICETAK UANG EMAS KEKHILAFAHAN TURKI UTSMANI & DINAR KESULTANAN DEMAK WALISONGO (AZMATKHAN)



Walisongo adalah mubaligh Islam yang juga melakukan perdagangan dengan sistem dinar dan dirham di Nusantara, maka saya menambahkan detail tentang Walisongo pada tulisan tersebut yang diambil dari sebuah sumber orisinil yang tersimpan di Museum Istana Turki Istanbul, dimana dicatat dalam sejarah bahwa gerakan Walisongo  dibentuk oleh Sultan Muhammad I, pada tahun 1404 M (808 H).


Berdasarkan laporan dari saudagar Gujarat, India, Sultan Muhammad I mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta untuk dikirim beberapa Ulama. Maka setelah dikumpulkan, Sultan Muhammad I mengirim 9 orang yang memiliki kemampuan di berbagai bidang dan juga memahami ilmu agama, untuk diberangkatkan kepulau Jawa pada tahun 1404 M, mereka ini dipimpin oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli tata negara, berita ini tertulis dalam kitab Kanzul ‘Hum dari Ibn Bathuthah, yang kemudian dilanjutkan oleh Sheikh Maulana Al Maghribi.


Wali Songo periode pertama, tahun 1404 – 1435 M, terdiri dari:
1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara.
2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan.
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir.
4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko.
5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara.
6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan.
7. Maulana Hasanudin, dari Palestina.
8. Maulana Aliyudin, dari Palestina.
9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli rukyah.


Wali Songo periode kedua, tahun 1435 – 1463 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (tahun 1419 menggantikan Maulana Malik Ibrahim)
2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan (W. 1463)
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko
5. Sunan Kudus, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan Maulana MalikIsra’il)
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina (tahun 1435 menggantikan MaulanaMuhammad Ali Akbar)
7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina (W. 1462 M)
8. Maulana ‘Aliyuddin, asal Palestina (W. 1462 M)
9. Syekh Subakir, asal Persia Iran. (W. 1463 M, makamnya di Iran)


Wali Songo periode ketiga, 1463 – 1466 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan
2. Sunan Giri, asal Belambangan, Banyuwangi, Jatim (tahun 1463 menggantikan Maulana Ishaq)
3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir (W. 1465 M)
4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko (W.1465 M)
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana Hasanuddin)
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (tahun 1462 menggantikan Maulana ‘Aliyyuddin)
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (tahun 1463 menggantikan Syaikh Subakir)


Wali Songo periode keempat, 1466 – 1513 M, terdiri dari:
1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan (w.1481)
2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim (w.1505)
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (pada tahun 1465 mengganti Maulana Ahmad Jumadil Kubra)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon (pada tahun 1465 mengganti Maulana Muhammad Al-Maghrabi)
5. Sunan Kudus, asal Palestina
6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim
9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim (W.1513)


Wali Songo periode kelima, 1513 – 1533 M, terdiri dari:
1. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran, wafat tahun 1517 (tahun 1481 Menggantikan Sunan Ampel)
2. Raden Faqih Sunan Ampel II ( Tahun 1505 menggantikan kakak iparnya, yaitu Sunan Giri)
3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak (W.1518)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon
5. Sunan Kudus, asal Palestina (W.1550)
6. Sunan Gunung Jati, asal Cirebon
7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim (W.1525 M)
8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim (W. 1533 M)
9. Sunan Muria, Asal Gunung Muria, [tahun 1513 menggantikan ayahnya yaitu Sunan Kalijaga]


Wali Songo periode keenam, 1479 M, terdiri dari :
1. Syaikh Abdul Qahhar (Sunan Sedayu), asal Sedayu (Tahun 1517 menggantikan ayahnya, yaitu Syaikh Siti Jenar)
2. Raden Zainal Abidin Sunan Demak (Tahun 1540 menggantikan kakaknya, yaitu Raden Faqih Sunan Ampel II)
3. Sultan Trenggana (tahun 1518 menggantikan ayahnya yaitu Raden Fattah)
4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon, (W.tahun 1573)
5. Sayyid Amir Hasan, asal Kudus (tahun 1550 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Kudus)
6. Sunan Gunung Jati, asal Cirebon (w.1569)
7. Raden Husamuddin Sunan Lamongan, asal Lamongan (Tahun 1525 menggantikan kakaknya, yaitu Sunan Bonang)
8. Sunan Pakuan, asal Surabaya, (Tahun 1533 menggantikan ayahnya, yaitu Sunan Derajat)
9. Sunan Muria, asal Gunung Muria, (w. 1551)

Sebelumnya sudah juga terjadi kontak dari Raja Sriwijaya Jambi pada tahun 100 H (718 M) yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah. Sang Raja meminta dikirimi dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.

Selain itu hubungan ini tampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan. Abdul Qadir dari Kesultanan Banten, misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu. Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar sultan dari Syarif Makkah tahun 1051 H (1641 M) dengan gelar, Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. (Ensiklopedia Tematik Dunia Islam Asia Tenggara, 2002). Bahkan Banten sejak awal memang menganggap dirinya sebagai Kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul.

Kesultanan Turki Utsmani mempunyai perdagangan yang kuat dan menjalin hubungan dagang dengan berbagai negara di Eropa, India, Yaman, Cina dan lain lain. Dan dalam sejarah perdagangan Kekhalifahan Turki Utsmani beredar berbagai jenis uang emas dan perak seperti Ducat emas, Gulden emas dan perak, Florin emas, dan Cruzados. Kekhalifahan Turki mencetak koin emas yang disebut Khurus dan koin perak yang disebut Akche (Acke) atau dirhem.

Dalam perdagangan yang bersistem dinar dan dirham pada masa Kekhalifahan Turki Utsmani ini saya temukan beberapa catatan yang menarik untuk diketahui oleh muslim hari ini, yaitu dalam sejarah perdagangan tersebut terdapat sejarah timbangan dan berat yang umum pada saat itu digunakan yaitu ratl, okka, ukiya dan kirat. Dan dari hal ini diketahui berat dirham dimasa itu, yaitu rata-rata antara 3.0898 – 3.207 gram. seperti yang di jelaskan di bawah ini:


Dirham atau Dirhem atau Akche (Acke) = 16 kirat = 64 dang = 3.207 gramDirham Bizantium dan awal Islam = 3.125 gramDirham menurut shariah dan kanonikal = 3.125 gramDirham di Kairo = 3.0898 gramDirham di Dimishki = 3.086 gramDirham di Tabriz = 3.072 gram


Ratl = 12 Ukiya = 333.6 gramIstanbul (abad 18) = 876 dirham = 2.809 kilogramJedda (abad 19) = 113 dirham = 360 gramMesopotamia (abad 19) = 1 okka = 1.28 gramSyria (abad 19) = 2 atau 2.5 okka = 2.565 atau 3.205 kilogramSivas = 1440 dirham = 4.618 kgAndalusia = 453.3 gramAhlat dan Nasibin (abad 11) = 300 dirham = 962.1 gramAfrika Utara (abad 11) = 140 dirham = 437.5 grAleppo (abad 17) = 700 dirham = 2.217 kg


Okka (standar) = 4 ratl rumi = 400 dirham = 1.282945 kilogram


Ratl folfoli (Egypt) = 144 Dirham = 450 gramRatl kebir (Egypt) = 160 Dirham = 500 gramRatl rumi (Anatolia) = 100 Dirham = 320.7 gramRatl zahiri (Syria) = 480 dirham = 1.500 kilogram


Ukiya = 27.8 gramUkiya (Kekhalifahan Arab) = 72 miskal = 346.392 gramUkiya Seljukid = 100 Dirham = 320.7 gramUkiya Syria (abad 19) = 66.5 Dirham = 213 gramUkiya Maghreb (abad 19) = 10 Dirham = 32 gram


Kirat (Ottoman) = 0.2004 gramKirat (Kanonikal) = 0.2232 gram


Apa yang disampaikan di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dimana ini makin melengkapi hasil penelitian sejarah, fikih dan penimbangan barley dari Islamic Mint Nusantara (2000) yang terkait dengan mitsqal, troy ounce dan gram.

TAHUN 1989-1992 MASEHI, KISAH DAN KESAKSIAN SAYA (SYEKH MUFTI KESULTANAN PALEMBANG DARUSSALAM) TERHADAP ADANYA DINAR DIRHAM WALISONGO

Ketika saya masih berumur 12 tahun, dimana kakek saya (Al-Habib Bahruddin Azmatkhan Al-Hafizh) adalah seorang Mursyid dan Ulama tradisional keturunan Walisongo masih menyimpan dinar dirham dari Kekhalifahan Turki Utsmani yang juga diperbanyak pencetakannya di era Walisongo, saya saat itu tahun 1989 Masehi melihat dan menyaksikan Kakek saya memegang dan menimbang dinar tersebut  dengan berat 4,44 gram emas dan dirhamnya 3,11 gram. Pada tahun 1989 Masehi, saat itu usia saya 12 tahun dan berhasil menghafal Al-Qur'an 30 Juz, saya mendapatkan hadiah dinar dirham tersebut sebagai hadiah. Kemudian pada tahun 1992 Masehi, kakek dan sekaligus guru saya tersebut meninggal dunia, saat itu keluarga saya sedang ditimpa musibah tidak memegang uang sama sekali untuk membeli kain kafan dan biaya pemakaman kakek saya. Akhirnya tahun 1992 Masehi itu, saya menjual koin emas dan perak dari hadiah sang kakek di toko emas tionghoa tepatnya di Pasar ROGOJAMPI, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Saya menjualnya karena kondisi darurat agar pemakaman segera dilaksanakan. Oleh Toko emas itu (karena ia bukan muslim) dinar dan dirham saya dilebur. Saya baru sadar kembali ketika tahun 2009 Saya diangkat menjadi Qadhi/Mufti di Islamic Mint Nusantara (IMN) dan tahun 2013 menjadi Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam, betapa pentingnya dan berharganya Koin dinar dirham tersebut.



TAHUN 1600 MASEHI DICETAK UANG EMAS KESULTANAN GOWA



Di daerah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut “Jinggara” atau "DINAR GOWA".

Salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah pada tahun 1653-1669. Selaing itu beredar juga uang dari bahan campuran timah dan tembaga yang disebut “Kupa”.

Kesultanan Gowa atau kadang ditulis Goa, adalah salah satu kerajaan besar dan paling sukses yang terdapat di daerah Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi.

Wilayah kerajaan ini sekarang berada di bawah Kabupaten Gowa dan beberapa bagian daerah sekitarnya. Kerajaan ini memiliki raja yang paling terkenal bergelar Sultan Hasanuddin, yang saat itu melakukan peperangan yang dikenal dengan Perang Makassar (1666-1669) terhadap VOC yang dibantu oleh Kerajaan Bone yang dikuasai oleh satu wangsa Suku Bugis dengan rajanya Arung Palakka.

Hadramaut dan Hijrahnya Keluarga Besar Walisongo (Azmatkhan)

Oleh:
Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al-Hafizh
Sayyid Iwan Mahmoed Al-Fattah Azmatkhan



Hadhramaut...................Negeri Leluhurnya Walisongo......................

Sebuah nama yang mungkin terasa asing bagi masyarakat islam Indonesia, apalagi bagi mereka yang latar belakang keislamannya bersumber dari negara-negara islam yang tidak punya hubungan sama sekali dengan Hadramaut baik secara historis, politik , budaya dan sosial. Mungkin  mereka mereka  itu pernah mendengar nama ini, tapi untuk mau  lebih mengetahui  secara dalam rasanya tidak juga, apalagi mereka yang akar keislamannya berasal dari kajian Islam yang berada diperguruan tinggi-perguruan tinggi umum ataupun yang islam yang lebih cenderung bersikap modernis, plural, liberal, sekuler yang sumber-sumber ilmu pengetahuannya banyak berasal dari dunia barat, dan sumber ilmu pengetahuannya yang berasal dari cendikiawan islam yang memang bukan berasal dari Hadhramaut. Memang pernyataan ini terkesan seolah-olah “menghakimi” atau men-generalisir sebuah data saja, namun percayalah ketika pernyataan ini keluar itu artinya saya pernah merasakan itu semua, mungkin bisa saja saya salah, namun tidaklah salah pula bila saya memberikan fakta seperti itu karena saya sendiri berasal dari perguruan tinggi islam yang kajian-kajiannya lebih banyak mengambil sumber-sumber yang bukan dari ulama atau cendikiawan muslim Hadhramaut. Dosen-dosen dibeberapa perguruan tinggi Umum atau sebagian perguruan tinggi Islam (mungkin....) di Indonesia lebih banyak memakai sumber-sumber yang bukan berasal dari kitab-kitab dan kajian ulama Hadhramaut. Sumber-sumber kajian perkuliahan justru banyak mengambil dari buku-buku yang bersumber dari ulama dari negara muslim lain seperti Mekkah, Madinah, Mesir, Turki dan negara-negara lain dalam bentuk yang sudah diterjemahkan. Bahkan hasil hasil karya cendikiawan eropa sering jadi rujukan dalam setiap mata kuliah islam, karya-karya ulama pembaharu dan dianggap reformis islam seperti Jamaluddin Al Afghani, Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, Abul A’la Al Maududi, Muhammad bin Abdul Wahab, Sayyid Qutub,  Muhammad Iqbal, Hasan Al Bana dll, sedangkan ulama-ulama pemikir yang paling sering diangkat pemikirannya seperti  Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, Abu Hasan Al-Asy’ary, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali, dll. Untuk yang pemikiran sekuler liberal rasanya tidak asing bila kajian mereka bersumber dari kampus-kampus barat seperti Mc Gill University, Harvard University, Chicago University, Columbia University, Leiden University dan lai-lain.

Sekalipun demikian, walaupun ada kenyataan seperti ini, kalau anda tanyakan pada masyarakat muslim yang sering menghadiri majelis majelis ta’lim atau pondok-pondok pesantren diberbagai kota di Indonesia khususnya pondok pesantren atau majelis ta’lim yang diasuh oleh para habaib (Alawiyyin), pasti mereka mengenal nama yang satu ini. Kenapa nama ini dikenal luas pada kalangan ini, karena pengasuh  dari majelis-majelis ta’lim tersebut kebanyakan merupakan alumni atau lulusan rubath (semacam pondok pesantren) yang berasal dari Hadhramaut. Para Alumni inilah yang kemudian memperkenalkan Hadhramaut. Mereka para alumni lulusan Hadhramaut tentu dalam pola pengajarannya selalu menyebut nama daerah yang satu ini, karena guru dan ilmu mereka berasal dari  daerah ini. Para alumni Hadhramaut sendiri jika dilihat pada kondisinya sekarang tidak lagi didominasi oleh para lulusan rubath rubath saja, banyak juga dari mereka yang lulusan perguruan tinggi seperti Universitas Al Ahgaf. Profil lulusan Hadhramaut juga tidak lagi lagi didominasi oleh kalangan Alawiyyin saja, tapi kini sudah banyak orang orang yang non Alawiyyin ikut belajar. Bahkan pemuda pemuda keturunan dari walisongo (Azmatkhan) kini banyak juga yang telah “berpetualang” dalam dunia pendidikan di negara yang banyak peninggalan peninggalan kuno yang dilindungi UNESCO ini. Keluarga besar Azmatkhan ketika belajar di Hadhramaut seolah olah kembali ketanah air asal para leluhurnya, sebelum menapakkan diri dan tinggal di negeri India. Ketertarikan para pemuda untuk belajar kenegeri ini memang akhir akhir ini meningkat, tidak hanya rubath rubath yang mereka minati, namun perguruan tinggi di Hadhramautpun kini banyak yang menarik minat mereka, padahal negeri-negeri lain seperti Mesir, Saudi, Syiria, Maroko tidak kalah menariknya.

Negeri Hadhramaut adalah negeri kuno pada lalu, situs situs dan bangunan kuno disini masih bisa kita dapati dalam kondisi yang baik. Hadhramaut yang terletak di Yaman Selatan sendiri adalah negera tandus dan gersang, namun demikian untuk urusan situ atau peninggalan kuno, negeri ini patut kita acungi jempol,  kondisi ini malah berbalik 180 derajat dengan negara-negara Timur Tengah lain seperti Arab Saudi. Mekkah dan Madinah saat ini situs situs pentingnya sudah banyak yang dihancurkan oleh penguasa Arab Saudi dengan alasan bisa “merusak” akidah. Rumah Nabi saja mereka hancurkan, makam-makam keluarga dan sahabat Nabi yang dulu banyak memiliki qubah kini sudah rata dengan tanah dan hanya ditandai dengan sebuah batu cadas,  betul-betul seperti tidak berperadaban!. Keberadaan situs situs di Arab Saudi betul-betul sangat menyedihkan, mungkin dari semua situs, hanya makam Nabi Muhammad SAW yang selamat, itupun kini makam itu sedang diincar untuk “DIRENOVASI” (katanya...). Negara Arab Saudi ini memang aneh dan terkesan tidak perduli terhadap peninggalan peninggalan kuno. Di saat negeri-negeri lain mati-matian mempertahankan situs situs berharga itu, Arab Saudi malah menghancurkan situs situs penting seperti rumah dan makam keluarga dan sahabat Nabi, untungnya masyarakat Hadhramaut tidak ketularan sikap seperti itu karena penduduknya dalam hal ini pemerintah Yaman sangat perhatian terhadap hal-hal seperti itu. Para ulama yang berada di Hadhramautpun ikut menjaga kelestarian situs situs kuno termasuk makam-makam para ulama besar yang ada di kota tersebut. Dalam buku Hadhramaut, Bumi Sejuta Wali yang disusun Ahmad Imron dan Syamsul Hary, halaman 13,  bahkan Hadhramaut disebut sebuah negeri purba dan menyimpan sepenggal keajaiban, dibalik buminya yang gersang dan kerontang, negeri ini juga menawarkan  kesejukan ruhani yang tidak terlukiskan. Hembusan manfaat Auliyanya tersebar hingga keseluruh dunia, termasuk Nusantara dengan tokohnya Walisongo yang ternyata mempunyai akar silsilah dari bumi Hadhramaut.

Bumi Hadhramaut memang terkenal gersang dan panas, namun jangan lupa walaupun negeri ini panas dan menyengat, negeri ini menyimpan potensi wisata ruhani yang menakjubkan yang tidak kalah dari negeri negeri lain. Kota ini terletak di Timur Tengah tepatnya dikawasan seluruh pantai Arab Selatan dari mulai Aden Sampai Tanjung Ras Al-Had. Idrus Alwi Al Masyhur dalam bukunya Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Malaysia, Singapura, Timur Tengah, India, Afrika Halaman 95 mengatakan bahwa Hadhramaut hanyalah  sebagian kecil dari Arab Selatan, yaitu daerah pantai diantara pantai desa desa nelayan Ain Ba Ma’bad dan Saihut beserta daerah pegunungan yang terletak dibelakangnya. Kota-kota dan juga desa desanya cukup mempesona untuk dikunjungi, dari mulai Tarim, Shibam, Sewun, Huraidhah, Hijran, Masyad, Inat, Hurebeh, Budhoh, Mukalla, Syihr, Gidun. Kebanyakan daerah yang disebut ini berada dilembah lembah atau Wadi karena berada dibelakang gunung seperti yang diungkap oleh Idrus Alwi Al Mahsyur. Negeri yang gersang ini banyak terdapat masjid masjid bersejarah dan ramai dikunjungi para peziarah ruhani, Makam-makam Nabi seperti Nabi Sholeh dan Nabi Hud yang setiap tahun diadakan ziarah besar besaran, Makam makam para waliyullah bertebaran dimana-mana, dinegeri ini juga banyak ulama-ulama yang menjadi guru dari ulama ulama dunia, tidak heran ulama ulama dunia banyak sanad keilmuannya yang berasal dari ulama Hadhramaut baik dari ulama Alawiyyin atau yang non Alawiyyin, manuskrip-manuskrip kuno juga masih tersimpan dengan baik dibeberapa perpustakaan, baik itu perpustakaan yang ada dirubath, diuniversitas atau ditangan ulama ulama Hadhramaut itu sendiri, baik yang masih dalam bentuk tulisan tangan maupun yang sudah dicetak. Hadhramaut adalah bumi idaman bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan agama yang bersanad sampai kepada Rasulullah SAW. Kekayaan lain yang tidak kalah menakjubkan dinegeri yang diberkahi ini, di Hadhramaut Yaman catatan nasab tentang keluarga besar Ahlul Bait khususnya Keluarga Besar Alawiyyin sangat banyak, dan tercatat dengan rapi. Untuk  catatan nasab keluarga besar Alawiyyin, dipegang masing masing Naqib dan kemudian juga dibantu para Munsib. Tugas Naqib dan Munsib memang salah satunya adalah menjaga dan memelihara catatan nasab yang ada. Naqib tugasnya lebih berat dari Munsib, Munsib adalah  orang-orang yang membantu Naqib untuk pencatatan nasab, terutama untuk keluarga besarnya.

Menurut buku Hadramaut Bumi Sejuta Wali yang disusun Abdul Qodir Mauladawilah, halaman 185, Munsib merupakan perluasan dari tugas “Naqib” yang mulai digunakan pada zaman Imam Ahmad Al Muhajir sampai Syekh Abu Bakar Bin Salim. Seorang Naqib adalah mereka yang terpilih dari anggota keluarga yang paling tua dan alim dan tugasnya mendata nasab seluruh Alawiyyin, sedangkan pada halaman 187 Abdul Qodir menjelaskan bahwa munsib baru muncul pada abad ke sebelas dan abad ke dua belas Hijriah (sekitar abad ke 16 dan 17 Masehi). Munsib inilah yang berperan membantu Naqib diberbagai wilayah. Sebelum era adanya munsib memang pendataan nasab masih terbatas karena terbentur pada kondisi yang ada dan hal ini diamini oleh Novel Bin Muhammad Al Idrus dalam  bukunya yang berjudul Jalan Nan Lurus-Sekilas Pandang Tarekat Bani Alawi, halaman 23 mengatakan, mengingat Hadhramaut merupakan negara yang tandus, gersang dan miskin dimasa itu, maka tidak ada catatan yang menyebutkan tanggal lahir dan wafat mereka, ini bukan suatu yang aneh, sistem pendataan  belum sehebat yang sekarang, apalagi mereka adalah pendatang baru. Oleh karena menyadari adanya  kelemahan seperti ini maka muncullah munsib munsib ini. Sehingga dikemudian hari pencatatan nasab tetap bisa berjalan dengan rapi dan sudah tentu bersanad kepada Rasulullah SAW.

Adanya keterangan seperti ini membuktikan jika pencatatan nasab di Hadhramaut itu sangat rapi, nah bagaimana dengan yang berada diluar wilayah Hadhramaut? Ya tetap ada pencatatan, misalnya keluarga besar Sayyid Abdul Malik Azmatkhan, catatan nasab mereka ternyata tersusun rapi, sekalipun nanti keluarga besar Alawiyyin hijrah, pencatatan nasab tetap dilakukan. Seperti yang Abdul Qodir tulis, bahwa Naqibpun kemampuannya terbatas, apalagi untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh dan sudah melintasi berbagai Negara. Dengan kondisi transpostasi pada saat itu yang serba sulit tentu pencatatan nasab belum semua tercover dengan lengkap, namun demikian karena tradisi pencatatan nasab itu sudah dilakukan secara bersanad, dari mulai Rasulullah SAW sampai sekarang, maka catatan nasab pada masing masing keluarga lain, terutama yang berada diluar Hadhramautpun tetaplah terjaga, ini adalah salah satu bentuk kelebihan keluarga besar Ahlul Bait yang kukuh dalam menjaga catatan nasabnya, baik dia yang dari jalur Sayyidina Husein maupun Sayyidina Hasan. Sampai saat ini berdasarkan bukunya Idrus Alwi Al Mahsyur diatas pada halaman 268 – 270 jumlah Fam yang berasal dari Keturunan Imam Ahmad Al Muhajir sebanyak 154 baik yang berada di Hadhramaut maupun Indonesia, sedangkan dalam Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia & Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Hasani Seluruh Dunia yang Disusun Oleh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini (Syekh Mufti Kesultanan Palembang & Yarasutra), Penerbit Madawis, Tahun 2013 bahwa jumlah Fam Al Husaini sudah berkembang dan  mencapai angka 5515 Fam dan Fam Al Hasani mencapai 5515. Ini baru Fam Al Husaini dan AL Hasani, belum lagi catatan nasab Keluarga Besar Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq, Catatan Nasab Sayyidina Umar bin Khattab, Catatan Nasab Keluarga Besar Sayyidina Usman, Bani Abbasiah dan Bani Umayyah dll.

Dr. Abdul Madjid Hasan Bahafdullah penulis buku yang tertarik yang berkaitan dengan Nasab di Hadhramaut berjudul Dari Nabi Nuh AS  Sampai Orang Hadramaut di Indonesia-Menyelusuri Asal Usul Hadharim, dalam Kata Pengantarnya yang penuh motivasi, beliau mengatakan bahwa motivasinya dalam menulis buku ini adalah karena merasa “aneh” bila ditanya asal usul nenek moyangnya, keinginan tahuan dia mengetahui nasab Hadhramaut akhirnya muncul secara menggebu gebu karena merasa miris terhadap nasabnya sendiri, padahal  ia merupakan seorang keturunan Hadhramaut tulen, Abdul Madjid akhirnya penasaran dengan nasab dan sejarah Hadhramaut itu sendiri, bahkan begitu penasaran beliau terhadap nasab-nasab yang ada di Hadhramaut ini, akhirnya “memancing” beliau untuk kembali ke negeri asalnya itu, padahal menurutnya kemampuan bahasa arabnya pas-pasan. Abdul Madjid rupanya sudah berbulat tekad untuk berburu data-data tentang sejarah dan nasab di Hadhramaut. Sengaja ia “mudik” kekampung halamannya itu setelah “gagal” mendapatkan data dari sebuah lembaga nasab yang ia kenal. Padahal menurut Abdul Madjid dia sudah berusaha sebaik mungkin, namun kenyataannya harus gigit jari karena “dipimpong” sana sini. Namun ketika di Hadhramaut ini, justru Abdul Majid banyak mendapatkan kitab-kitab sejarah dan nasab yang ada di Hadhramaut itu. Akhirnya berkat usahanya yang ulet Abdul Madjid berhasil membuat buku yang menurut saya cukup baik dan berkualitas sebagai buku sejarah  dalam perkembangan Hadhramaut dari masa kemasa. Yang mengejutkan, dalam bukunya ini Abdul Madjid banyak menerangkan tentang nasab walisongo yang berhubungan dengan Hadhramaut, bahkan pada halaman 268 dan 272 -275 Abdul Madjid menerangkan panjang lebar tentang sejarah dan nasab keluarga besar walisongo dalam hal ini AZMATKHAN, dibandingkan yang lain, data Azmatkhan sepertinya mendapat porsi “khusus” dalam buku tersebut, saya sampai berfikir, bahwa Abdul Madjid ini kok rasanya tidak adil dengan data yang keluarga Alawiyyin yang lain ya….. namun hal itu tidak lama, karena mengingat perjuangan dan semangat yang dia lakukan saya tetap berfikir positif, walaupun tidak begitu banyak dibandingkan walisongo namun data-data tentang nasab Alawiyyin tetap mendapat tempat dibuku Abdul Madjid. Buku beliau ini patut diapreasiasi karena berisi 1000 nasab yang ada di Hadhramaut.

Begitu mulianya Hadhramaut dan juga penduduk Yaman, pada masa Rasulullah SAW, negeri ini sampai didoakan Rasulullah SAW setelah mendapatkan laporan dari Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dan Sayyidina Muazh bin Jabal yang diterima secara baik dan lemah lembut oleh penduduk Hadhramaut Yaman. Rasulullah SAW  kemudian mendoakan penduduk Yaman dengan doanya yang terkenal  “Ya Allah limpahkanlah keberkahan untuk wilayah Syam, Ya Allah limpahkan pula keberkahan untuk Yaman”.  Dalam buku Manaqib Sayyidina Al Ustadz Al-A’zham Al Faqih Al Muqaddam Muhammad bin Ali  RA yang disusun oleh Sayyi Muhammad Rafiq Al Kaff Ghatmir pada halaman ix romawi menulis bahwa Sayyidina Abu Bakar As-Shidiq juga pernah mendoakan negeri setelah salah satu sahabat Rasulullah SAW  yang bernama Ziyad bin Lubayd Al Anshory amil Rasul  di Yaman berhasil mengambil Bay’at atau Ikrar Kesetiaaan penduduk asli Hadhramaut terutama penduduk Tarim Hadhramaut yang begitu gembira dengan datangnya Islam. Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq berdoa dengan tiga permintaan kepada Allah SWT:
Dibanyakkan orang-orang yang Sholeh Di Tarim
Agar Tarim diberkahi Allah
Tidak dipadamkan Api Agama Allah di Tarim Sampai hari kiamat
Pantaslah negeri ini kelak suatu saat dijadikan tempat berhijrahnya Imam Ahmad Al Muhajir yang merupakan nenek moyang kaum Alawiyyin. Saya rasa faktor doa dari Rasulullah SAW& Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq  ini menjadi pertimbangan penting Imam Ahmad Al Muhajir untuk berhijrah, apalagi kondisi saat beliau tinggal di Basrah yang merupakan provinsi Irak saat itu sudah tidak kondusif bagi keluarga Ahlul Bait, maka sebagai orang yang cukup faham arti yang tersirat dalam doa ini, sangat wajar bila suatu saat Imam Ahmad Al Muhajir hijrah ke Yaman dalam hal ini kota Hadhramaut. Dan memang benar saat Imam Ahmad Al Muhajir tiba di Hadhramaut, beliau diterima dengan lemah lembut oleh penduduk Hadhramaut dan kelak dengan dakwah beliau akhirnya Hadhramaut menjadi salah satu kota peradaban islam yang masih bertahan hingga kini.

Adanya sikap lemah lembut penduduk Yaman Hadhramaut dan juga sikap lemah lembut kaum Alawiyyin ini dibenarkan dalam bukunya Abdul Qodir bin Mauladawilah yang berjudul Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Halaman 27,  Abdul Qodir dalam bukunya ini mengatakan bahwa penyebaran Islam di Negara kita  Indonesia  yang dilakukan secara lemah lembut, cinta damai dan tidak menggunakan kekerasan sama sekali, semua itu adalah jasa para ulama yang datang dari negeri Yaman yang sebelumnya transit terlebih dahulu ke Gujarat India dan Cina sebelum menuju Asia Tenggara, diantara mereka adalah Walisongo.
Nama Hadhramaut  sendiri menurut Ahli sejarah Yaman, As-Syeikh Hasan Al Hamdani seperti yang dikutif oleh Abdul Qodir Mauladawilah dalam bukunya itu adalah keturunan dari Himyar Al Asgar. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Al Dairat Al Ma’rif karya Imam Al Bustami, Hadhramaut adalah nama seorang raja dari keturunan Himyar yang bernama lengkap ‘Amir bin Qahthan, ia dijuluki Hadhramaut karena setiap menghadiri perang pasti banyak korban yang mati. Sejak saat itu jika ia datang dalam peperangan, orang meneriakan “Hadra al-maut…..”. Dari situlah daerah yang ia tempati bersama kabilahnya disebut Hadramaut hingga sekarang, dan Hadhramaut saat ini merupakan salah satu provinsi di Yaman demikian seperti yang dikutif Abqul Qodir.

Nama Hadhramaut bila dibandingkan 30 atau 40 tahun yang lalu memang tidak sepopuler sekarang, pada  masa-masa itu memang ada beberapa habaib atau keluarga Alawiyyin yang berasal dari Indonesia yang pernah belajar disana, baik mereka yang ada di Jakarta maupun daerah-daerah lain seperti Jawa, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatra, namun saat itu yang belajar di Hadhramaut tidak sebesar jumlahnya  pada era sekarang ini.  Perjalanan keluarga Alawiyyin untuk belajar  ke Hadhramaut pada masa lalu tidak semudah seperti sekarang ini. Pada masa lalu terutama pada awal-awal abad ke 19 atau 20 Masehi, perjalanannya cukup sulit,  untuk menempuh ilmu dinegara Yaman Selatan ini kebanyakan mereka masih menggunakan kapal laut, padahal jarak Hadhramaut Yaman itu sangatlah jauh. Perjalanan bisa ditempuh berbulan bulan, seperti juga perjalanan haji. Namun walaupun jauh jarak tempuh yang akan mereka tuju, banyak dari mereka tetap semangat untuk belajar di Hadhramaut ini. Ini berbeda dengan kondisi sekarang, pada masa sekarang dapat dikatakan perjalanan lebih mudah dan lebih cepat, sehingga dengan cepatnya waktu yang ditempuh tidak heran banyak dari pemuda dan pemudi Indonesia semakin  tertarik untuk menuju negara ini, dan puncaknya para pemuda Indonesia baik yang habaib dan non habaib. Sejak tahun 1994 s/d sekarang mereka berangkat secara bergelombang untuk menuju rubath rubath yang ada di Hadhramaut itu. Memang semenjak kedatangan Sayyid Umar bin Hafizh ke Indonesia tahun 1994, hubungan antara Hadhramaut dan Indonesia, seolah terlahir kembali,  Indonesia dan Hadhramaut seolah masing-masing saling menemukan “saudara kandung”. Kedatangan Ulama yang murah senyum ini seolah merangkai kembali hubungan Hadhramaut dan Indonesia yang seolah-olah “terputus” sejak masa walisongo sampai era awal ke 20 Masehi. Sayyid Umar bin Hafizh dengan Rubathnya bernama Darul Musthofa telah berhasil menarik minat pemuda Indonesia untuk belajar di negeri Hadhramaut ini.

Pada masa lalu, orang-orang atau ulama ulama yang pernah belajar di Hadhramaut,  ketika kembali ke  Indonesia, mereka banyak yang membuka majelis ilmu. Dan hebatnya ketika mereka membuat majelis ilmu, banyak dari majelis ilmu itu bisa bertahan lama. Ketika saya perhatikan kenapa Majelis-majelis ilmu mereka banyak yang bertahan, ternyata rahasia dari majelis ilmu mereka ternyata adalah karena adanya penerapan AKHLAK!. Banyak ulama yang lulus dari Rubath Hadhramaut disamping ilmu yang mereka miliki rata rata  mereka terkenal dengan ahklaknya baik lisan dan tulisan. Ulama seperti Habib Ali Kwitang, Habib  Ali Bungur, Habib Salim Jindan, Habib Sholeh Tanggul, mereka ini lulusan Hadhramaut. Hebatnya pada masa lalu hubungan antara Habaib dengan Ulama keturunan Walisongo itu terjalin dengan baik. KH Hasyim Asyari itu mempunyai hubungan baik dengan Habib Ali Kwitang, Habib Sholeh Tanggul yang terkenal karomahnya juga banyak hubungannya dengan kyai kyai keturunan walisongo, Habib Salim Jindan bahkan hubungan dengan Mbah Kholil Bangkalan sangat baik, Sayyid Bahruddin Azmatkhan salah seorang Ulama Ahli nasab Walisongo bahkan salah satu murid kesayangannya adalah berasal dari kalangan habaib.  Antara Kyai-kyai keturunan Walisongo dan Habaib pada lalu memang tidak pernah terdengar ada konflik, apalagi dalam urusan nasab, itu menandakan para habaib pada masa lalu sangat faham dan mengerti dengan nasab-nasab keturunan  Walisongo. Setahu saya mereka yang pernah belajar di Hadhramaut, memang rata rata pola pengajarannya lebih menekankan akhak yang luhur, karena memang rata-rata ajaran di Hadhramaut itu banyak yang menerapkan  ajaran sufi atau Tassawuf  yang mengedepankan akhlak. Tidak heran orang-orang yang pernah belajar di Hadhramaut rata-rata ceramahnya teduh, santun dan cerdas, dan ini terbukti, saya banyak memperhatikan dari mereka yang lulusan Rubath Darul Mustofa dan juga Rubath dari Habib Salim Asy-Sathiry rata-rata ceramahnya banyak diisi dengan ilmu dan akhlak, banyak dari mereka menghindari caci maki, apalagi ujub terhadap nasab,  mereka lebih banyak berbicara santun namun cerdas dan ini sesuai betul  dengan ajaran Walisongo yang  ketika berdakwah lebih mengedepankan akhlak. Jadi kalau ada lulusan Hadhramaut apalagi belajarnya dengan para Ahlul Bait keturunan Imam Ahmad Al Muhajir, ajarannya tiba-tiba radikal dan akidahnya  tidak sesuai dengan cita-cita luhur dari Imam Ahmad Al Muhajir, maka berarti ia telah salah kaprah dalam memahami tujuan Imam Ahmad berhijrah ke negeri Hadhramaut ini.

Menurut Faris Khoirul Anam dalam bukunya Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa-Leluhur Walisongo dan Habaib di Indonesia, halaman 126 bahwa hingga saat ini umat Islam di Hadhramaut sebagian besar bermazhab Syafi’i sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat, Malabar)< Malaysia dan Indonesia. Kesamaan dalam pengamalan Mazhab Syafi’i lebih bercorak Tassawuf dan mengutamakan Ahlul Bait seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, Membaca Sholawat Nabi, membaca Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnnya yang hanya terdapat Di Hadhramaut Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanau, Malaysia, dan Indonesia. Faris menambahkan jika isi ajaran islam yang berasal dari Hadhramaut isinya banyak  memasukan pendapat-pendapat baik kaum fuqaha (yuris atau ahli fiqih) maupun kaum sufi. Hadhramaut adalah Sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqih Syafi’i dengan pengamalan Tassawuf dan pengutamaan Ahlul Bait. Oleh karenanya bagaimana mungkin mereka yang mengaku keturunan Imam Ahmad Al Muhajir tiba-tiba ajarannya jadi radikal, penuh caci maki, senang menghina baik itu untuk urusan nasab maupun untuk urusan yang lain, dan juga  tidak sesuai dengan akidah dan cita cita Imam Ahmad Al Muhajir sendiri. Secara garis besar menurut Menurut Muhammad Rafiq Al Kaff pada Manaqib Al faqih Muqaddam halaman xxiii romawi bahwa Thariqah Ba’alawy yang bersumber dari Imam Ahmad  Al Muhajir adalah :
Menjaga waktu-waktu yang diberikan Allah dan memanfaatkan waktu tersebut untuk beribadah dan mendekatkan diri kepadaNya.
Selalu terikat dan hadir dalam majelis majelis ilmu dan majelis majelis yang bersifat mengingat diri kepada Allah
Berakhlak dengan adab-adab yang baik, menjauhi ketenaran, meninggalkan hal-hal yang tidak berguna, dan meninggalkan semua atribut kecuali atribut kebaikan
Membiasakan diri membaca zikir terutama zikir-zikir Nabawiyah sesuai dengan batas kemampuannya, seperti amalan zikir yang disusun oleh Al habib Abdullah Al Haddad
Ziarah kepada ulama dan aulia baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, selalu ingin bermaksud menghadiri perkumpulan-perkumpulan yang penuh zikir khususnya yang mengandung unsur mengingat diri kepada Allah, dan menghadirinya dengan penuh baik sangka, dengan syarat perkumpulan perkumpulan tersebut bebas dari perbuatan-perbuatan mungkar dari agama
Hadhramaut memang sebuah negara yang memiliki arti penting bagi bangsa ini, bicara Hadhramaut, bukan saja bicara tentang kedatangan gelombang imigran Hadhramaut pertengahan atau akhir abad 19 Masehi saja. Memang pada pertengahan dan akhir abad 19 ini gelombang kedatangan imigran Hadhramaut betul-betul dilakukan dengan besar besaran, ini menurut saya wajar, karena semenjak dibukanya Terusan Suez laju transportasi lebih cepat dan lebih baik, jarak tempuh makin dekat dan lebih mudah, disamping itu kehidupan Hadhramaut saat itu kurang menguntungkan dari sisi ekonomi dan politik, sehingga banyak penduduk Hadhramaut tertarik untuk menjajal peruntungan di negara negara lain termasuk Indonesia. Sehingga tidak heran pada masa ini, gelombang imigran Hadramaut yang didominasi oleh golongan sayyid dan juga sebagian non sayyid terus berdatangan dalam jumlah yang massal, sehingga mengkhawatirkan fihak penjajah belanda akan banyaknya mereka yang datang ini. Apalagi kedatangan mereka ini juga dijamin oleh saudara saudaranya yang lebih dulu tiba dinegara ini.

Begitu khawatirnya Belanda akan keberadaan para imigran Hadhramaut ini maka Belanda menugaskan salah seorang ilmuwannya untuk meneliti keberadaan dari para Imigran Hadhramaut ini baik mereka yang golongan Alawiyyin maupun yang non Alawiyyin. Ilmuwan tersebut bernama Van Den Berg.  Van Den Berg atau lengkapnya L.W.C VAN DEN BERG  yang lahir di kota Haarlem, pada tanggal 10 Oktober 1845, merupakan ilmuwan lulusan Fakultas Hukum Leiden Belanda dan berhasil mencapai gelar Doktor dalam usia 23 tahun. Van Den Berg adalah ilmuwan yang ditugaskan belanda untuk meneliti imigran Hadhramaut. Dia mempunyai kemampuan bahasa arab dan ibrani yang cukup baik, namun demikian dia adalah satu orientalis yang sezaman dengan Snouck Hurgronje dan Pijper yang merupakan  pencetus dan  pelopor teori yang mengatakan  “ISLAM DATANG DARI GUJARAT DAN BERASAL DARI PARA PEDAGANG”. Dalam bukunya yang berjudul Hadramaut Dan Koloni Arab di Nusantara halaman xvi - xvii romawi, Van Den Berg menjelaskan disitu bahwa ia telah melakukan penelitian dari tahun 1884 s/d 1886 Masehi. Dalam beberapa LAPORAN RAHASIA ini yang terdiri dari  20 HALAMAN yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu tertanggal 28 Februari 1886, Berg memberikan beberapa gambaran dan pendapat serta saran tentang masyarakat Hadhramaut yang ada di Nusantara ini, diantaranya adalah :
Orang Arab pada umumnya taat dalam menjalankan ibadah agamanya, tapi tidak menyebarkan agamanya dengan cara paksa atau fanatik.
Umumnya mereka orang Arab tidak cenderung ke arah tassawuf, tassawuf justru sangat laku dikalangan pribumi.
Hubungan antara orang arab dengan para penghulu dan kyai sering tidak begitu baik, sehingga pengaruh mereka dikalangan itu juga tidak begitu besar.
Orang arab yang terlibat pemberontakan tidak begitu banyak, yang terlibat pemberontakan bukanlah murni keturunan Hadhramaut.
Pemerintah sebaiknya memilih pemimpin arab dari pendatang baru (maksudnya imigran Hadramaut) daripada keturunan Arab yang sudah menjadi pribumi dan kalau bisa dari kalangan sayyid.
Mengambil pemimpin kelompok arab yang masih mempertahankan pakaian dan adat arab.
Mengadakan Konsultasi  dengan kelompok arab sebelum dipilih kepala kelompok arab tersebut.
Untuk berhati hati kepada tingkat moral dan akhlak para pembawa berita (mata-mata) belanda, karena dari mata-mata inilah sering timbul berita yang salah tentang image orang arab yang negative, padahal tidak semua orang imagenya buruk.
Van Den Berg dalam penelitiannya tersebut memang memberikan informasi yang cukup mengejutkan dan  berbeda dari apa yang diharapkan pemerintah belanda, penelitian Berg ini memang berdasarkan apa yang dia teliti langsung dilapangan, sampel sampel yang dia lakukan cukup banyak, bahkan berg harus keliling Jawa untuk mencari responden dari kalangan Arab, waktu dua tahun penelitian sepertinya memang waktu yang cukup lumayan dalam melakukan sebuah penelitian. Laporan yang berbeda dan cara pandang belanda terhadap orang Arab ini akhirnya banyak mengundang pro dan kontra terutama pada pemerintahan belanda sendiri yang cenderung sudah steorotif baik kepada pribumi jajahan mereka maupun bangsa arab. Terkesan bila Berg ingin “membela” keberadaan masyarakat imigran Hadhramaut itu. Bila peneliti lain sudah didasari ISLAMOFOBI terutama jika dihubungkan dengan komunitas arab, namun Berg justru tidak terjebak dengan sikap itu, mungkin karena Berg menguasai bahasa arab dan bahasa ibrani yang baik dan dia berasal dari fakultas hukum sehingga sikap yang muncul lebih “tertata” dan penuh kehati hatian. Seorang  peneliti biasanya bila didasari sikap jujur dalam dunia intelektualitasnya, biasanya pendapatnya cenderung lain dari sikap intelektual lainnya. Sikapnya  yang cenderung “nekat” dan berbeda dari kebiasaan pakem pemikiran kaum penjajah, berakibat diserangnya Berg oleh berbagai kalangan, bahkan laporannya sempat disimpan didalam  laci karena  dianggap berbahaya,  akhirnya tidak lama dari laporan yang dia berikan, Berg diserang secara tajam oleh Snouck  Hurgronje (ilmuwan licik yang merusak sejarah Islam Nusantara), tidak itu saja, Berg juga dihajar oleh K.F. Holle yang juga peneliti belanda. Serangan-serangan ini, terutama  Snouck sempat membuat jengkel Berg, sehingga suatu saat dalam sebuah tulisan artikel berjudul “Zelfverdediging” yang ditulisnya di Jakarta pada bulan Juni tahun 1884, Berg menuliskan jika Snouck adalah orang yang sombong dan penuh dengan kesalahanfahaman dalam membaca, mensitir dan menghina tiap orang dengan pendapatnya. Kelihatan sekali Berg kesal dengan Snouck padahal kedua duanya adalah ilmuwan ilmuwan terbaik belanda pada masa itu, khususnya yang menyangkut kajian keislaman. Namun betapapun rekomendasi ini telah diberikan Berg kepada pemerintah Hindia Belanda saat itu, namun kebijakan dan keputusan penjajah tetap tidak berubah. Image  mereka terhadap imigran Hadhramaut tetap tidak berubah, sekalipun ada kerjasama tetap saja mereka tetap memandang curiga kepada orang-orang keturunan Arab ini.

Laporan penelitian VAN DEN BERG ini pada akhirnya bahkan dikemudian hari diterjemahkan dan dibukukan kedalam Bahasa Perancis, sebuah hal yang sangat cukup aneh dimata tokoh politik keturunan Arab yaitu Mr. Hamid Al Qadri. Menurut  Mr. Hamid Al Qadri dalam bukunya yang berjudul Politik Belanda Terhadap Islam dan Keturunan Arab Di Indonesia, halaman 26 – 27. Al  Qadri betul-betul merasa aneh terhadap penterjemahan hasil laporan  Van Den Berg kedalam bahasa perancis, karena setahu dia tidak terdapat jajahan Perancis yang ada orang Arabnya dari Hadhramaut, lantas kenapa bisa diterjemahkan kedalam bahasa Perancis ini, sedangkan buku hasil penelitian Berg itu mengenai orang Arab Hadhramaut dan Keturunan mereka yang ada di Indonesia, menurut Al Qadri,  terkesan jika hasil penelitian ini hendak disembunyikan dari Indonesia dan keturunan Arab.
Penelitian Berg memang sebuah hal yang menarik, karena dia berasal dari bagian penjajah, tidak bisa dipungkiri jika hasil penelitian ini merupakan hal yang langka karena Berg adalah bagian penjajah, apalagi penelitian ini adalah berdasarkan perintah Gubernur Hindia Belanda saat itu. Namun demikian kita juga kritis terhadap hal ini, sekalipun Hasil Laporan itu kelihatan “menguntungkan” & “menggemberikan” keturunan arab Hadhramaut, laporan yang Berg berikan itu tetap saja nuansa  politiknya cukup kental. Namun demikian saya juga tetap menghormati apa yang telah dilakukan oleh Berg pada masa itu, sekalipun itu ada tujuan politisnya.

Kedatangan Imigran Hadhramaut pada pertengahan dan akhir abad ke 19 menyebabkan Indonesia mempunyai “warna” dalam budaya, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dan juga sektor sektor kehidupan lain, sehingga memasuki awal abad ke 20 dianggap sebagai kebangkitan kaum Hadhrami (julukan untuk para imigran dari Hadhramaut). Natalie Mobini Kesheh didalam bukunya yang berjudul Hadrami Awakening (Kebangkitan Hadrami Di Indonesia) pada halaman 37 menyebut bahwa awal abad 20 disebut sebagai Nahdah Al Hadhramiyyah atau kebangkitan kaum Hadhrami. Selama dua dekade pertama  awal abad dua puluh ini menurut Kesheh, orang orang Hadhrami  datang dengan menunjukkan dirinya sebagai orang orang dari satu negeri, yaitu Hadramaut, dan merasakan bahwa mereka memiliki berbagai kesetiaan pada negeri itu. Hadhramaut dianggap sebagai tanah air tercinta dan cinta tanah air merupakan sebagai tugas dari setiap putranya.
Sepintas ketika saya membaca pernyataan dari Natalie Mobini Kesheh, saya sempat merenung..apa iya seperti itu?. Namun ketika saya mempelajari karakter masyarakat yang berhijrah dari satu tempat ketempat lain, apalagi bila itu dilakukan dalam jumlah besar, saya jadi mengamini pendapat Natalie Kesheh ini. Coba kita lihat kebiasaan masyarakat imigran yang berkumpul dan tinggal pada satu wilayah tertentu, biasanya kebiasaan daerah asalnya selalu dipertahankan, terlepas itu sesuai apa tidak dengan kondisi yang ada. Jika mereka sudah kumpul dengan komunitasnya maka akan muncullah sikapnya yang berasal dari asal usulnya, mungkin sikap ini tidak salah jika itu hanya berlangsung 5 atau 10 tahun saja, namun jika itu berlangsung dalam jangka panjang bahkan sudah melewati angka 50 tahun, ini yang menurut saya patut dipertanyakan, masalahnya, apakah budaya yang mereka bawa itu bisa sefaham dengan budaya setempat, apakah mereka yang berkumpul dalam lokasi yang sama itu bisa melebur atau berasimilasi dengan kondisi setempat? Tidak jarang gara gara sikap ini sering timbul konflik sosial dan konflik budaya yang berakibatnya muncul kekerasan fisik maupun non fisik. Lihat saja diberbagai daerah kita dan juga mereka yang ada dinegara negara lain, apalagi jika mereka itu minoritas.

Perbedaan kehidupan memang satu anugrah, namun jika itu disikapi secara berlebihan, itu adalah menurut saya sikap yang tidak bijak dalam membina hubungan antara pribumi dan pendatang. Jalan keluar untuk memecahkan itu adalah dengan mengedepankan nilai nilai islami yang mengedepankan akhlak dan menghilangkan sikap ashobiyah pada budaya, seperti misalnya budaya arab mereka yang mungkin tidak sesuai dengan kultur bangsa ini. Apalagi penduduk Hadhramaut terutama mereka yang nilai nilai islamnya kuat sejak dulu orang-orangnya terkenal lemah lembut dan bisa berasmilasi dengan suku suku yang lain. Jadi kalau ada orang keturunan Hadhramaut sikapnya berbeda dengan kultur budaya Indonesia, terutama sikap ashobiyah/membangggakan diri seperti membangga banggakan nasab dan famnya, ini sangat aneh, berarti dia tidak belajar sejarah dan tidak pernah mendengar DOA NABI MUHAMMAD yang pernah mendoakan Orang Yaman karena sikap lemah lembut mereka. Mungkin untuk budaya yang dirasa baik, terutama  pada budaya asal mereka, bisa diselaraskan dengan budaya Indonesia. Dan sudah tentu dalam aturan main sebuah negara, yang menyesuaikan budaya tentu yang datang, kalau ada budaya masyarakat setempat yang tidak baik dan tidak sesuai dengan nilai-nilai islami, maka peran ulama dan cendikiawan muslimlah yang berperan untuk merubahnya secara bertahap, santun, lemah lembut dan cerdas.

Bicara Hadhramaut secara panjang lebar, terutama hubungannya dengan Nusantara, ternyata kedatangan mereka itu jauh lebih awal daripada imigran imingran Hadhramaut pertengahan dan akhir abad 19. Kedatangan orang-orang Hadhramaut yang didominasi oleh Kaum Alawiyyin yang merupakan Sayyid bahkan jauh lebih awal, bahkan Dr. Muhammad Hasan Al Idrus, salah seorang Pengajar Sejarah Uni Emirat Arab didalam bukunya Penyebaran Islam Di Asia Tenggara hal 57 mengatakan : “Seandainya  hal seperti ini (maksudnya sejarah peran Alawiyyin) kita akan melihat kesalahan para sejarawan eropa dalam menerangkan orang pertama yang masuk kenegeri Jawa dan mengislamkan penduduknya”. Dr.Muhammad Hasan Al Idrus seolah ingin menegaskan kalau selama ini banyak Sejarawan eropa yang sering salah kaprah dalam menginterpretasikan tentang kronologis kedatangan para penyebar Islam. Peran keluarga Alawiyyin yang jarang disebut sejarawan dari eropa membuat beliau akhirnya memunculkan pernyataan itu. Beliau juga menambahkan dalam penutupnya, bahwa Islam yang tersebar Di Asia Tenggara khususnya Indonesia ini tersebar berkat pada da’i pertama keturunan Hadhramaut. Cara mereka dalam berdakwah menyebarkan Islam mempunyai pengaruh didalam jiwa pada penduduknya, sehingga tidak tersisa agama  Hindhu dan Budha dikepulauan Indonesia kecuali sedikit saja, sebagian besar terdapat di Bali. Pendapat dari Muhammad Hasan ini bahkan selaras dengan pendapat Novel Al Idrus dalam bukunya Tarekat Bani Alawy halaman 34, dimana Novel mengutif dari Ensiklopedia Islam yang menyebutkan bahwa orang Hadhramaut merupakan penyebar Islam yang handal diberbagai belahan bumi.

Gerakan dakwah santun anak cucu Imam Ahmad Al Muhajir bahkan mengundang rasa ingin tahu dunia barat, banyak peneliti barat yang berdatangan ke Hadhramaut untuk mempelajari kehidupan mereka yang telah mampu mengislamkan Asia termasuk Indonesia ini, demikian menurut Novel Al Idrus.

Siapa para da’i yang dimaksud oleh Muhammad Hasan Al Idrus tersebut? Tidak lain dan tidak bukan mereka adalah keluarga besar Walisongo atau Keluarga Besar Bani Abdul Malik Azmatkhan Dari India. Dan sejarah para da’i yang tergabung dalam walisongo terdapat pada halaman 63 /sd 77 pada buku beliau. Muhammad Al Baqir bahkan dalam bukunya yang berjudul Thariqah Menuju Kebahagiaan (Salah satu terjemahan dari Kitab Imam Abdullah bin Alwi Al Haddad yang berjudul Risalatul Muawwanah) dalam Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin halaman 51 dimana Al Baqir menegaskan bahwa INDIA adalah merupakan jalur transit yang diperkenalkan Kaum Alawiyyin. Adapun urutan rute dalam penyiaran Agama Islam itu adalah :

Hijaz → Yaman → India → China → Kampuchea → Fhilipina → Indonesia

Kaum Alawiyyin menurut Al Baqir dalam halaman yang sama sangat berperan dalam mendirikan, mengembangkan dan mempertahankan kerajaan kerajaan Islam pertama Di Indonesia, setelah itu sampai permulaan abad XX ada lagi yang datang langsung dari Hadhramaut ataupun yang lahir dan berasimilasi dengan pribumi Indonesia.

Adanya jalur India ini membuktikan jika India memiliki arti penting dalam pergerakan dakwah keluarga besar Alawiyyin, dan salah satu yang melihat potensi besar dalam rangka  menyebarkan  agama Islam itu adalah Sayyid Abdul Malik. Tidak mungkin tempat ini didatangi jika tidak memiliki potensi,  terutama yang berkaitan dengan Islam. Diperlukan sebuah persiapan yang matang baik fisik dan mental dan juga ilmu untuk datang kenegeri yang identik dengan negeri dewa ini. Selain itu, didatanginya India, karena India memang pada masa itu menjadi salah satu pusat perdagangan dan diplomasi berbagai negara dengan bandar atau pelabuhan pelabuhan lautnya seperti yang terdapat pada Gujarat. Sayyid Abdul Malik sendiri ketika hijrah dari Hadhramaut ke India (Naserabad) seolah melakukan De Javu kembali terhadap Datuknya Imam Ahmad Al Muhajir ketika melakukan hijrah dari Basrah ke Hadhramaut Yaman.

Walisongo yang Famnya Azmatkhan adalah memang keturunan dari India. Adanya keturunan India ini memang sering menyebabkan beberapa orang bingung ketika ingin memahami asal usul mereka ini, dikira bahwa walisongo murni keturunan India. Banyak yang sering keliru, jika sebenarnya leluhur asli dari walisongo justru asalnya dari Hadhramaut, negeri India itu sebenarnya adalah salah satu negeri  tempat berhijrahnya kaum Alawiyyin yang berasal dari Hadhramaut yang salah satunya adalah Sayyid Abdul Malik Azmatkhan yang merupakan leluhurnya walisongo. Kesalahfahaman akan asal usul walisongo ini menyebabkan beberapa orang berani mengatakan jika walisongo itu tidak punya keturunan, dengan kata lain, bahwa walisongo atau azmatkhan itu keturunannya hanya ada di India saja. Jadi kalau ada orang saat ini mengaku keturunan walisongo itu aneh, menurut mereka, karena Azmatkhan itu hanya ada di India. Pernyataan ini seolah menunjukkan jika mereka yang mengatakan bahwa Azmatkhan hanya ada India, berarti “pikirannya” kosong akan pengetahuan  sejarah keluarga besar Alawiyyin. India itu adalah salah satu Transit dakwah keluarga besar Alawiyyin yang ada di Hadhramaut. Keluarga besar Alawiyyin itu tidak hanya Azmatkhan, Fam-fam lain juga banyak terdapat disana, Fam Al Idrus dan Basyaiban, Bafaqih, Al Haddad, Jamalulail, Syekh Abu Bakar, bin Syahab serta fam-fam yang lain, ini membuktikan jika India penyebaran Ahlul Baitnya cukup banyak.

Sayyid Alwi bin Thohir Al Haddad dalam bukunya yang terkenal dengan judul Sejarah Masuknya Islam Timur Jauh, dimana buku ini juga  telah Diberi Catatan serta Ditahqiq oleh Sayyid Muhammad Dhiya Shahab yang diterbitkan oleh Lentera Jakarta Tahun 2001 halaman 163-164 bahkan memberikan laporan bahwa Hijrahnya keluarga besar Alawiyyin khususnya era tahun tahun 1930 an banyak penyebabnya, diantaranya karena unsur perdagangan, kelaparan, dan fitnah. Bahkan Al Haddad memperinci secara detail jumlah mereka yang hijrah misalnya :
Indonesia : 71.335 orang
Malaysia & Singapura : 3.000 0rang
India : 10.000 orang
Afrika Timur : 12.000 orang
Somalia & Ethiopia : 2.000 orang
Sudan : 750 orang
Mesir : 18 orang
Jumlah Keseluruhan mereka yang hijrah ini adalah 99.103 orang. Sebuah jumlah yang cukup besar dan spektakuler untuk ukuran hijrah. Saya sendiri tidak bisa membayangkan betapa penuhnya kapal laut saat itu, karena mereka ini hijrah dalam bentuk rombongan besar, tidak terbayangkan betapa sesaknya kapal laut yang mereka tumpangi untuk menuju tempat tempat tersebut, apalagi Indonesia yang jaraknya cukup jauh dari Hadhramaut. Mungkin perjalanan mereka bisa tempuh berbulan-bulan, belum lagi jika kapal laut itu transit keberbagai pelabuhan disetiap negara. Sebuah perjuangan hijrah yang menurut saya penuh dengan resiko, karena saat itu Transportasi masih belum secanggih sekarang, perjalanan lebih banyak ditempuh dengan kapal laut dan menyebrangi atau mengarungi beberapa samudra yang ganas. Namun memang dasarnya bangsa Hadhramaut dan juga Arab memang terkenal akan jiwa petualang dilautnya, sehingga tidak heran walaupun jarak tempuhnya jauh, tetap saja imigran Hadhramaut terus berdatangan ketempat tempat yang mereka akan hijrahi.

Ditempat hijrah ini, mereka jadi terselamatkan dari kehidupan yang susah dan dari keadaan yang tidak aman. Ditempat yang baru ini mereka mendapati kehidupan yang tentram dan menyenangkan, tempat yang baik, dan pekerjaan yang teratur dibawah naungan undang undang yang pasti, mereka saling tolong menolong dalam perdagangan, saling bertoleransi dan saling menanggung kecuali pada beberapa masa. Ditempat tempat yang baru ini seolah olah mereka mendapatkan “surganya” dalam berkehidupan dibandingkan dengan di Hadhramaut terutama pada sisi perekonomian dan keamanan.

Oleh karena adanya kondisi semacam ini, tidak heran keluarga yang pada mulanya berada di Hadhramaut menjadi terputus dengan tanah airnya, sehingga di Hadhramaut tidak terdapat lagi keluarga-keluarga seperti Keluarga Abdul Malik bin Alwi Ammul Faqih (datuknya walisongo), Keluarga Al Qadri, Keluarga Bafaraj, Keluarga Khaneman. Hijrah ini baru berhenti setelah Perang Dunia Ke II, kemudian hijrah mengarah ke Jazirah Arab. Memang perpindahan atau hijrah besar-besaran ini telah menyebabkan daerah Hadhramaut  kehilangan banyak penduduknya, namun itu tidak mengurangi kemuliaan dan kwalitas daerah ini sebagai salah satu pusat peradaban Islam di dunia. Sekalipun banyak Keluarga Besar telah berhijrah berbagai pelosok dunia termasuk Keluarga besar Azmatkhan, Hadhramaut tetap memiliki arti dan makna penting bagi keturunan Imam Ahmad Al Muhajir. Mudah mudahan suatu saat sayapun bisa menapak tilasi daerah yang legendaris ini.

Bagaimana dengan Kelanjutan Keluarga Besar Abdul Malik Azmatkahn paska mereka berada Di India?, ternyata hubungan ini tetap tidak bisa dilepaskan, karena secara nasab dan sejarah Sayyid Abdul Malik memang asli keturunan Hadhramaut namun kemudian menikah dan wafat di negara India khususnya daerah Naserabad, jadi bagaimana mungkin Sayyid Abdul Malik dan Keturunannya bisa melupakan asal usul mereka yang salah satunya Hadhramaut?  Hubungan antara Walisongo dan Hadhramaut sendiri seperti dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Bicara Walisongo ya bicara Hadhramaut. Jangan karena Sayyid Abdul Malik Azmatkhan berasal dari India, asal usulnya yang dari Hadhramaut mau dipotong dalam sejarah Alawiyyin. Saya bahkan sempat “diprotes” oleh salah seorang saudara saya dari Keluarga Besar Guru Syariun Azmatkhan, dia “protes” kepada saya, karena suatu saat menuliskan asal usul Sayyid Abdul Malik berasal dari India. Mendapat “serangan” seperti itu, saya jadi tersenyum, Iya juga menurut saya, karena memang pada kenyataannya Sayyid Abdul Malik itu Lahir dan Besar Di Hadramaut Yaman, kemudian ketika sudah dewasa dan matang ilmunya beliau bersama keluarga Alawiyyin lainnya berhijrah ke negeri India tepatnya di Kota Naserabad India (bukan gujarat) untuk melakukan dakwah Islamiah. Sayyid Abdul Malik ini mengikuti jejak Datuknya yaitu Imam Ahmad Al Muhajir kesebuah daerah yang jauh dari negerinya, sehingga tidak heran dalam keluarga besar Azmatkhan, Sayyid Abdul Malik ini dijuluki Al Muhajir ke dua. Dan lagi lagi Sayyid Abdul Malik memakai cara berdakwanhnya Imam Ahmad Al Muhajir yaitu dengan pola dakwah yang santun, lemah lembut dan cerdas, Sayyid Abdul Malik seolah olah mengikuti jejak Imam Ahmad Al Muhajir karena berhasil diterima dengan baik oleh berbagai kalangan yang ada di Kesultanan Naserabad India. Dikarenakan beliau seorang Ahlul Bait dan juga mempunyai posisi terhormat dan bangsawan Kesultanan Naserabad India, maka kelak dikemudian hari beliau mendapatkan gelar atau FAM AZMATKHAN/AL AZHAMAT KHAN/AL AZHOMATU KHON yang artinya dari Keturunan orang mulia/ SAYYID yang merupakan Keluarga dari para Bangsawan (KHAN). Sayyid Abdul Malik ini bahkan menurut Al-Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al-Masyur dalam bukunya yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yang berjudul Biografi Ulama Hadramaut, pada halaman 57, bahwa Sayyid Abdul Malik telah menikah di India dan  hidup dan menikah kemudian memiliki keturunan, dan riwayatnya hidup cukup bagus. Artinya track record beliau cukup baik dan terkenal dikalangan Ahlul Bait dari Kalangan Alawiyyin.

Memahami walisongo itu harus utuh, bicara Alawiyyin adalah bicara Hijrah, kenapa saya berani mengatakan hijrah, karena dalam sejarah perkembangan ahlul bait, dari dulu sampai sekarang rata-rata keluarga besar Ahlul Bait itu identik dengan kata kata HIJRAH!. Jangan membatasi Alawiyyin itu hanya pada satu wilayah misalnya Hadhramaut saja. Perlu diketahui Hadhramaut itu adalah salah satu tempat berhijrahnya Imam Ahmad Al Muhajir. Imam Ahmad Al Muhajir sendiri justru aslinya berasal dari Basrah Irak dan perlu diketahui bahwa beliau ini memiliki saudara sebanyak 29 orang, Ayah beliau yaitu Imam Isa Arrumi yang perawakannya mirip dengan orang eropa sehingga dinamakan Arrumi memiliki anak 30 orang termasuk Imam Ahmad Al Muhajir. Jadi Imam Ahmad ini hanya merupakan satu  dari 30 anak Imam Isa Arrumi. Jadi bisa dibayangkan jika berapa banyak keturunan keturunan Imam Isa Arrumi? Dari Imam Ahmad Al Muhajir sama sudah ratusan ribu bahkan mungkin sudah jutaan, apalagi saudara saudara beliau yang lain? Hanya karena kondisi kota Basrah saat itu tidak kondusif dari segi akidah dan keamanan saja, menyebabkan beliau hijrah untuk mencari kehidupan yang lebih baik terutama dalam dakwah islamiah. Islam tidak mengenal hanya pada wilayah tertentu, kenyataannya setelah Imam Ahmad Al Muhajir wafat, keturunan beliau banyak yang menyebar keberbagai negara di dunia termasuk Indonesia. Walaupun demikian hubungan sejarah Hadhramaut dengan negara negara lain tetap harus diingat, karena negara inilah yang merupakan asal para Kaum Hadhrami termasuk asal leluhur walisongo. Walisongo ini bahkan dalam bukunya Muhammad Hasan Al Idrus, dikatakan sebagai sebuah hijrah yang besar, pada halaman 23, beliau mengatakan bahwa hijrah ke Asia Tenggara termasuk Jawa adalah Hijrah yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran Islam. Hijrah ini dilakukan melalui dua tahap, tahap pertama melalui India, kemudian tahap kedua dari India Ke Asia Tenggara atau langsung dari Hadramaut Ke Asia tenggara melalui pesisir India.

Keturunan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan ini yang bernaung dalam Majelis Dakwah Walisongo ini berhasil menyebarkan Islam kepelosok Nusantara, medan dakwah mereka tidak hanya Pulau jawa, pulau pulau lain juga mereka dakwahi, sehingga akhirnya Islam bisa 90 % ada di negara kita ini. Prof. KH Abdullah bin Nuh yang merupakan seorang peneliti Ahlul Bait dan juga Ulama Besar Dunia dan merupakan Kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Dalam Seminar Masuk dan Berkembangnya Di Indonesia Tanggal 17 sd/ 20 Maret 1963 Di Medan juga menguatkan pendapat ini dengan  mengatakan “Disini terdapat keluarga Syarif yang telah melebur  dalam masyarakat Indonesia, yaitu Keluarga Abdul Malik yang di India dan Pakistan dikenal dengan nama Al Azhamat Khan, kita telah mengetahui bahwa Syarif Abdul Malik ini  adalah keturunan Al Imam Al Muhajir  Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Jakfar Asshodiq.

Beberapa catatan sejarah lain tentang Kedatangan Kaum Alawiyyin di Indonesia dan hubungannya dengan Hadhramaut juga terdapat dalam bukunya HMH Al-Hamid Al-Husaini dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Tuntas Perihal Khilafiah, terutama pada halaman 772. Al-Hamid sendiri dalan bukunya mengutif pernyataan itu dari tulisan  Haji ‘Ali bin Khairudin seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa, didalam buku Haji ‘Ali Khairudin yang berjudul Keterangan-keterangan Kedatangan Bangso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut, halaman 113 mengatakan bahwa kedatangan orang orang  Arab dipulau ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke 7 Hijriah. Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang Waliyullah, mereka adalah :
Sayyid Jamaludin Agung (Maksudnya Jamaludin Husein Azmatkhan/Syekh Jumadhil Kubro)
Sayyid Qomaruddin Azmatkhan
Sayyid Tsanauddin Azmatkhan
Sayyid Majduddin Azmatkhan
Sayyid Muhyiddin Azmatkhan
Sayyid Zaenul Alam Azmatkhan
Sayyid Nurul Alam Azmatkhan
Sayyid Alwi Azmatkhan
Sayyid Fadhl Sunan Lembayung Azmatkhan
Mereka semua adalah keluarga besar Azmatkhan. Keterangan waliyullah yang disebut Al-Hamid ini cocok seperti apa yang tercatat dalam kitab NASAB ENSIKLOPEDIA NASAB AL HUSAINI SELURUH DUNIA, YANG DISUSUN OLEH SAYYID BAHRUDDIN AZMATKHAN AL HUSAINI DAN SAYYID SHOHIBUL FAROJI AZMATKHAN AL HUSAINI, PENERBIT MADAWIS TAHUN 2013.

Dalam Kitab Nasab Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia yang disusun oleh Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini dan Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini, Penerbit Madawis tahun 2013 bahkan menulis secara lengkap nasab-nasab diatas, salah satunya misalnya Sayyid Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro (atau Jamaluddin Agung tersebut). Sayyid Husein Jamaluddin sendiri adalah leluhur yang utama dari keluarga besar Walisongo, Sayyid Husein Jamaluddin  mengikuti jejak datuknya Imam Ahmad Al Muhajir dan Sayyid Abdul Malik Azmatkhan berhijrah kenegeri negeri yang jauh dalam rangka menyebarkan cahaya Islam. Beliau adalah anak tertua dari Seorang Sultan di negara bagian India (wilayah Agra) yang bernama Sultan Ahmad Syah Jalaludin. Adapun rincian nasab Sayyid Husein Jamaluddin sebagai berikut :
Muhammad Rasulullah SAW
Fatimah Az-Zahra/Al Batul
Imam Husein RA
Ali Zaenal Abidin
Muhammad Al Baqir
Ja’far As-shodiq
Ali Al Uraidhi
Muhammad An-Naqib
Isa Ar-Rumi
Ahmad Al Muhajir
Ubaidhillah
Alwi Al Awal (asal mula nama Ba’alawy)
Muhammad Shohibus Souma’ah
Alwi Atsani
Ali Kholi’ Qosam
Muhammad Shohib Marbath
Alwi Ammul Faqih
Abdul Malik Azmatkhan
Abdullah Amir Khan
Sultan Ahmad Syah Jalaluddin
Husein Jamaluddin/Syekh Jumadhil Kubro 1→ Menurunkan Keluarga Besar Walisongo
Ada sedikit perbedaan penulisan dan susunan nama dari buku dari Haji Ali Khoirudin itu, namun demikian itu secara garis besar tidak merubah identitas mereka yang merupakan keluarga besar AZMATKHAN. Keluarga Besar Azmatkhan menurut HMH Al Hamid Al Husaini setelah dari India, mereka ternyata banyak yang mengembara, ada yang ke China, Kamboja, Siam (Thailand) dan adapula yang pergi ke Anam dan Mongolia Dalam (Negeri Mongolia yang termasuk didalam wilayah China. Mereka Hijrah meninggalkan negeri India untuk menghindari kesewenang wenangan dan kelaliman maharaja India pada waktu terjadi fitnah akhir abad ke  7 Hijriah.

Keberadaan Keluarga Besar Ahlul Bait diberbagai negara memang sebuah hal yang menakjubkan, termasuk keluarga besar Azmatkhan ini. Siapa sangka jika mereka keluarga besar Alawiyyin khususnya Azmatkhan telah berhasil melakukan Hijrah keberbagai negara jauh lebih awal dari “saudara mudanya” yaitu Imigran Hadhramaut awal abad XX. Bukanlah pekerjaan  yang mudah untukt melakukan hijrah ketempat tempat yang jauh dan asing dari kehidupan awal mereka, hanya karena tekad dan semangat serta ketakwaan merekalah akhirnya mereka bisa tiba ditempat tempat hijrah tersebut. Dari Hadhramaut kemudian India, kemudian Asia Tenggara sampai kepada daerah pedalaman pedalaman yang ada Di Indonesia ini adalah merupakan diaspora yang cukup menakjubkan, tidak ada keluarga lain yang penyebaran nasanya melalui dakwah seperti keluarga besar Alawiyyin ini termasuk Azmatkhan. Kedatangan mereka yang jauh lebih awal dari generasi Alawiyyin awal abad XX cukup bisa menjadi pelajaran untuk generasi sekarang, merekapun  mampu berasimilasi dengan penduduk pribumi setempat, ini membuktikan jika mereka adalah generasi-generasi Alawiyyin terbaik, karena telah mampu menjadikan Islam yang mayoritas di sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar dan  tanpa melalui kekerasan serta tanpa harus menonjolkan nasab atau Fam yang mereka miliki. Mereka diterima diberbagai tempat. Di Hadhramaut mereka diterima dengan segala hormat, di India mereka disanjung di Indonesia mereka dihargai, itu karena dakwah mereka yang mengedepankan akhlak yang luhur yang telah diwariskan oleh kakek mereka Rasulullah SAW sampai kepada Imam Ahmad Al Muhajir.

Akhirnya saya ingin mengutif beberapa kalimat Indah yang ditulis salah seorang Ulama Besar yang saya kagumi yaitu Prof KH ABDULLAH BIN NUH dalam bukunya yang berjudul Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, Tahun 1986 halaman 72 tentang Ahlul Bait..

Mereka Keluarga suci dan mulia
Barangsiapa dengan Ikhlas mencintainya
Ia memperoleh pegangan yang sentosa
Untuk bekal kehidupan di Akhiratnya
Yang keluhuran perilakunya terkenal di dunia
Kebajikannya menjadi buah bibir dan cerita
Dan keagungannya diingat orang sepanjang masa
Hormat kepada ereka adalah kewajiban agama
Kecintaan kepada mereka wujud hidayat yang nyata
Mentaati mereka adalah curahan Cinta
Dan Kecintaan kepada mereka adalah takw

Wallahu A’lam Bisshowab........

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Nuh, Seminar Masuk dan Berkembangnya Di Indonesia Tanggal 17 sd/ 20 Maret 1963 Di Medan, Sumatra Utara, Tahun 1963.
Abdullah bin Nuh, Keutamaan Keluarga Rasulullah SAW, Penerbit Majelis Al Ihya, Bogor, Tahun 1986.
Abu Bakar Al-Adni bin Ali Al Mahsyur, Biografi Ulama Hadramaut, Penerbit Ma’ruf, Jakarta, Tahun 2011.
Abdul Qodir Umar Mauladawilah, Tarim Kota Pusat Peradaban Islam, Penerbit Pustaka Basmah, Malang, Tahun 2012.
Ahmad Imron, Syamsul Hary, Hadramaut, Bumi Sejuta Wali,  Penerbit Cahaya Ilmu, Surabaya, Tahun?
Alwi bin Thahir Al Haddad Dengan Catatan & Tahqiq Sayyid Muhammad Dhia’ Shahab, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Penerbit Lentera, Jakarta, Tahun 2001.
A. Madjid Hasan Bahafdullah, Dari Nabi Nuh AS Sampai Orang Hadhramaut Di Indonesia Menelusuri Asal Usul Hadharim, Penebit  Bania Publishing, Jakarta, Tahun 2010.
Faisal Khoirul Anam, Al Imam Al Muhajir Ahmad bin Isa, Penerbit Darkah Media, Malang, Tahun 2010.
Hamid Al gadri, Politik Belanda Terhadap Islam Dan Keturunan Arab Di Indonesia, Penerbit CV Haji Masagung, Tahun 1988.
HMH Al Hamid Al Husaini, Pembahasan Tuntas  Perihal Khilafiah, Penerbit Pustaka Hidayah, Jakarta, Tahun 2010.
Idrus Alwi Al Masyhur, Sejarah, Silsilah & Gelar Keturunan Nabi Muhammad SAW Di Indonesia, Singapura, Malaysia, Timur Tengah, India dan Afrika, Penerbit Sara Publishing, Jakarta, Tahun 2002.
L.M,C Van Den Berg, Hadramaut Dan Koloni Arab Di Nusantara, Penerbit INIS, Jakarta, Tahun 1989.
Muhammad Al Baqir, Thariqah Menuju Kebahagiaan-Pengantar Tentang Kaum Alawiyyin, Penerbit Mizan, Bandung, Tahun 1989.
Muhammad Hasan Al-Aydrus, Penyebaran Islam di Asia Tenggara-Asyraf Hadhramaut Dan Peranannya, Penerbit Lentera, Tahun 1996.
Natalie Mobini Kesheh, Hadrami Awakening-Kebangkitan Hadhrami Di Indonesia, Penerbit Akpar Media Era Sarana, Jakarta, Tahun 2007.
Novel bin Muhammad Alaydrus, Jalan Nan Lurus-Sekilas Pandang Tarekat Bani ‘Alawi, Penerbit Taman Ilmu, Surakarta, Tahun 2006.
Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh, Ensiklopedia Nasab Al Husaini Seluruh Dunia, Penerbit Madawis, Jakarta, Tahun 2013.
Sayyid Bahruddin Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh & Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Al Husaini Al Hafizh, Ensiklopedia Nasab Al Hasani Seluruh Dunia, Penerbit Madawis, Jakarta, Tahun 2013.
Sayyid Muhammad Rafiq Al Kaff Gathmir, Manaqib Sayyidina Al-Ustadz Al-A’zham Al Faqih Al Muqaddam Muhammad Bin Ali RA, Penerbit Majelis Ta’lim Al Yusrain, Jakarta, Tahun 2003.