Sabtu, 28 September 2013

Pentingnya Belajar Dengan Sanad Yang Shahih

Dikaji ulang oleh:

Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan

(Syekh Mufti Kesultanan Palembang Darussalam)




“Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya.”

Allah SWT memuliakan umat Islam dengan beberapa keistimewaan yang besar yang tidak diberi kepada umat manusia selain mereka.Dia antara keistimewaan umat Islam akhir zaman ini, Allah SWT memberi jaminan untuk menjaga mereka (umat Islam) dari “berhimpun” dalam kesesatan.Allah SWT memelihara umat Islam dari kesesatan dengan memelihara institusi ulama mereka yang terlibat dalam menjaga sumber agama Islam dan pemahaman-pemahaman yang shahih. Dengan demikian, Allah SWT menjaga ajaran Islam dari berbagai aspeknya, baik dari sudut sumbernya, cara memahami sumber secara shahih, maupun pemahaman yang shahih terhadap sumber-sumber tersebut melalui para ulama yang disebut dalam al-Quran  sebagaiAdz-dzikir, yang perlu dirujuk oleh orang-orang awam.

Keistimewaan in bertolak dari suatu keistimewaan mendasar lain, yaitu konsep sanad atau isnad (penyandaran sanad) atau sandaran dalam bidang ilmu-ilmu agama. Sesuai dengan maksud hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Ulama adalah pewaris para nabi…”, sudah tentulah ilmu nabawi itu diterima oleh para ulama secara “pewarisan”. Dalam konsep “pewarisan” dalam tradisi pembelajaran ilmu agama inilah, terwujud konsep atau tradisi “sanad” atau sandaran.

Abu Ali Al-Jiyani berkata, “Allah SWT mengkhususkan umat ini dengan tiga hal yang tidak pernah diberikan kepada umat sebelumnya: sanad, ansab (nasab-nasab), dan i’rab(penguraian kata dari segi kedudukannya).”

Abu Hatim Ar-Razi berkata, “Tidak ada satu umat pun, sejak Allah menciptakan Adam, para ahli amanah, yang menjaga berita-berita para rasul, kecuali pada umat ini.”

Melalui jalur sanad, dimungkinkanlah penelitian terhadap kebenaran hadits-hadits dan berita-berita serta mengenali para perawi.Pencari hadits dapat mengetahui derajat (kualitas) hadits, mana yang shahih dan mana yang lemah. Dengan sanad pula, sunnah dijaga dan dipelihara dari pengelabuan, penyimpangan, pemalsuan, penambahan, dan pengurangan. Dengan sanad juga masyarakat menyadari kedudukan sunnah dan betapa pentingnya memberikan perhatian terhadapnya, yang ia ditetapkan dengan jalur-jalur kritik dan tahqiq (analisis) yang demikian mendetail, yang belum pernah dikenal manusia ada sepertinya sepanjang sejarah. Dengan begitu, klaim orang-orang yang bathil dan senang membuat keraguan umat dapat ditolak, dan syubhat-syubhat yang mereka lontarkan seputar keshahihan hadits dapat dimentahkan.

Perhatian yang demikian besar terhadap sanad menampakkan kepada kita urgensi (pentingnya) dan pengaruhnya dalam ilmu hadits, yaitu melalui beragam aspek.Di antaranya, sanad merupakan salah satu karakteristik tersendiri dari umat ini, yang tidak ada satu umat manusia pun di muka bumi ini memiliki keistimewaan seperti ini.Tidak pernah ada riwayat dari salah satu umat terdahulu mengenai perhatian mereka terhadap para perawi berita dan hadits-hadits para nabi mereka sebagaimana yang dikenal dari umat ini.

Dalam konteks hadits, sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur, mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya/kitab hadits (mukharrij) hingga Rasulullah SAW.Sanad memberikan gambaran keaslian suatu riwayat.Contohnya, Al-Bukhari-Musaddad-Yahya-Syu’bah-Qatadah-Anas-Nabi Muhammad SAW.Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya.

Imam Ibnu Sirin berkata, “Ilmu itu adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agamamu (ilmu agama tersebut).”

Ibn Abdil Bar meriwayatkan dari Imam Al-Auza’I bahwasanya ia berkata, “Tidaklah hilang ilmu (agama) melainkan dengan hilangnya sanad-sanad (ilmu agama tersebut).”

Mengapa ilmu akan lenyap jika tradisi sanad ini tidak dipelihara? Di antara sebabnya, akan muncul golongan yang tidak mempunyai latar belakang keilmuan dalam bidang agama yang memadai berdiri di hadapan masyarakat umum lalu berbicara dalam urusan agama tanpa kelayakan. Mereka berargumen bahwa, karena semua orang berhak beragama, semua orang berhak berbicara dalam urusan agama.Dasar liberal seperti ini jelas tertolak dalam ukuran keilmuan Islam, yang menilai latar belakang keilmuan seseorang melalui tradisi sanad ini.

Oleh karena itulah, dalam Muqaddimah Shahih Muslim, Imam Muslim meriwayatkan dari Imam Abdullah bin Al Mubarak, yang berkata, “Isnad itu sebagian dari agama. Jika tidak karena isnad, setiap orang akan berkata apa saja yang dikehendakinya (dalam urusan agama, tanpa ilmu mendalam tentangnya).”

Maka jelaslah, tradisi menyusun sanad-sanad keilmuan serta ijazah keilmuan, baik secara umum maupun khusus, baik ijazah riwayah maupun dirayah atau kedua-duanya, ijazah tadris wa nasyr (izin untuk mengajar dan sebagainya), dan sebagainya, adalah untuk menjaga tradisi amalan para ulama as-shalih terdahulu dan dalam masa yang sama menjelaskan latar belakang keilmuan mereka. Bahkan, tradisi tersebut adalah tradisi amalan para ulama mu’tabar yang tidak dapat diperselisihkan lagi, karena ia terpelihara dari masa ke masa.

Ukuran kelayakan keilmuan yang sebenarnya dalam neraca pembelajaran dan pengajaran ilmu-ilmu agama yang murni bukanlah pada ukuran akademis modern, yang merupakan acuan dan ukuran tradisi Barat, tetapi ukuran sebenarnya adalah pada sandaran keilmuan seseorang yang mengajar ilmu agama, baik sanad ilmiy, ijazah tadris, maupun yang lainnya, yang menjadi asal rujukan.

Banyak sekali berita dan perkataan yang datang dari imam (tokoh-tokoh ulama) mengenai pentingnya sanad dan anjuran menjaganya. Bahkan mereka menjadikannya sebagai ibadah dan bagian dari din. Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Isnad merupakan bagian dari agama ini. Andai kata bukan karena isnad, pastilah orang akan berkata semau-maunya. Bila dikatakan kepadanya ‘Siapa yang menceritakan kepadamu?’, ia diam (yakni diam kebingungan), tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sebab ia tidak memiliki sanad yang dengannya ia dapat mengenali keshahihan atau kelemahan suatu hadits.”

Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata seorang mukmin. Bila ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?”
Syu’bah berkata, “Setiap hadits yang tidak terdapat di dalamnya kalimat haddatsana (telah mengatakan kepada kami) dan akhbarana (telah mengabarkan kepada kami), ia seperti seorang laki-laki di tanah lapang bersama seekor keledai yang tidak memiliki tali kekang.”

Tokoh terkemuka, Al-Auza’I, berkata,”Tidaklah hilang ilmu melainkan karena hilangnya sanad.” Sedangkan di antara ulama masa belakangan yang sangat banyak mengumpulkan sanad adalah Syaikh Yasin Al-Fadani, yang digelari “Musnid Ad-Dunya” karena begitu banyak sanadnya.
Sebagian ulama mengumpamakan hadits tanpa sanad itu sebagai sebuah rumah yang tanpa atap dan tiang. Ini terlihat dari untaian syair berikut:


Jika ilmu kehilangan sanad musnid, ia seperti rumah yang tidak beratap dan berpasak

Dalam syair diatas, yang dimaksud musnid adalah orang yang memberikan sanad.
Imam Asy-Syafi’i pernah berkata kepada Abu Ali bin Miqlas, “Kamu ingin menghafal hadits (semata-mata) lalu serta merta menjadi seorang faqih? Tidak sama sekali. Sangat tidak realistis.” Demikian dalam Manaqib Imam Asy-Syafi’i yang disusun oleh Imam Al-Baihaqi.

Imam Al-Baihaqi menjelaskan ihwal perkataan ini bawasanya manfaat menghafal hadits-hadits adalah pada mempelajari maknanya yang dikenali sebagai at-tafaqquh. Kesibukan dalam menghafal hadits namun tidak mendalami pemahaman tentang hadits yang dihafal itu tidak membuat seseorang itu menjadi faqih sama sekali.

Karena itu, Imam Ahmad juga berkata,”Mengetahui makna hadits dan menjadi faqih dalam hadits lebih aku sukai daripada menghafalnya (tanpa memahaminya).”

Imam Al-A’masy berkata, “hadits yang disebutkan oleh para fuqaha (dengan pemahamannya) lebih baik daripada hadits yang disebut oleh para syaikh (tanpa pemahaman).” (Tadrib Ar-Rawi, oleh As-Suyuthi).

Sebagai akibat dari penegasan tuntutan diadakannya sanad, dan demikian besar perhatian terhadapnya, kita mendapati bahwa kitab-kitab hadits yang dikarang sejak paruh pertama dari abad ke-2 H telah berkomitmen dengan hal itu. Buku-buku itu disebut dengan masanid (jamak dari musnad), yaitu sebuah nama yang memiliki hubungan yang jelas dengan masalah sanad. Di antara  musnad-musnad yang paling termasyur adalah Musnad Ma’mar bin Rasyid (152 H/768 M), Musnad ath-Thayalisi (204 H/819 M), Musnad al-Humaidi (219 H/833 M), Musnad Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M), Musnad asy-Syafi’i (294 H/819 M).

Musnad-musnad tersebut merupakan pegangan pokok bagi para pengarang yang datang setelah itu.Mereka merujuk kepadanya dan menjadikannya sebagai sumber mereka.Semua ini menegaskan kepada kita betapa pentingnya sanad dalam ilmu hadits dan betapa besar perhatian yang diberikan umat kepadanya, serta betapa Allah menjaga agama ini dengannya dari upaya menghilangkan dan mengubahnya. Hal ini sebagai realisasi dari janji Allah SWT dalam menjaga adz-dzikir yang diturunkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hijr, ayat 9.

Mengenai dasar syari’at tentang sanad, di antaranya dapat kita lihat pada riwayat berikut: Telah bercerita kepada kami Abu ‘Ashim Adh-Dhahhak bin Makhlad, telah mengabarkan kepada kami Al-Awza’iy, telah bercerita kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah dari Abi Kabsyah dari ‘Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan kalian boleh ceritakan (apa yang kalian dengar) dari Bani Israil dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja, bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka.” (HR Bukhari 3202).

Hakikat makna hadits tersebut, kita hanya boleh menyampaikan ayat yang diperoleh (didengar) dari guru-guru yang sebelumnya disampaikan secara turun-temurun, sampai kepada lisan Rasulullah SAW.Kita tidak diperkenankan menyampaikan akal pikiran kita semata.

Beliau juga bersabda,”Barang siapa menguraikan Al-Qura’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, sesungguhnya ia telah berbuat kesalahan.” (HR Ahmad).

Konsep sanad tidak terbatas pada ilmu hadits.Memang benar, istilah sanad digunakan secara meluas dalam bidang musthalah hadits. Namun, tidak berarti konsep sanad tidak meluas dalam bidang-bidang ilmu agama yang lain.

Oleh sebab itulah, hanya orang-orang yang jahil (baik sadar maupun tidak) yang tidak melihat pentingnya sanad setelah terbukukannya hadits-hadits shahih oleh para ulama hadits kurun kedua hingga kurun keempat hijrah.Mereka menganggap, sanad sudah tidak relevan atau sudah tidak lagi diperlukan setelah hadits-hadits itu dibukukan oleh para ulama hadits, karena mereka membatasi konsep sanad pada ilmu hadits dari sudut wilayah semata.

Sesungguhnya, dalam ilmu hadits pun, ada sudut dirayah yang masih memerlukan sanad atau sandaran keilmuan, khususnya cara untuk memahami hadits dan pemahaman shahih terhadap hadits-hadits tersebut.

Ilmu-ilmu agama, khususnya yang melibatkan sudut dirayah, juga sangat memerlukan latar belakang keilmuan atau sandaran keilmuan bagi seseorang yang berbicara tentang agama.Karena, tanpa berguru dengan guru, seseorang tidak layak mengaku sebagai ahli ilmu atau ulama, walaupun sudah membaca banyak kitab.Sebab para ulama salaf sendiri mencela orang-orang yang berguru dengan lembaran-lembaran semata-mata untuk berbicara tentang agama di hadapan manusia.

Persepsi tentang sanad yang sempit hanya lahir dari mereka yang terlepas dari tradisi pembelajaran ilmu-ilmu agama yang murni sebagaimana ia diamalkan oleh para ulama salaf dan khalaf sepanjang zaman. Ketika memperbincangkan penggunaan istilah sanad dalam musthalah hadits, itu hanya satu bagian dari konsep sanad dalam ilmu-ilmu agama secara lebih luas, karena penggunaan konsep sanad atau “sandaran” memang suatu praktek dalam sistem pembelajaran ilmu-ilmu agama secara keseluruhan.

Imam Syafi’i ramimahullah mengatakan, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Sedangkan Al-Hafizh Al-Imam Ats-Tsauri mengatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan orang yang ingin naik kea tap rumah tanpa tangga.” Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Busthamiy mengatakan, “Barang siapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi, niscaya gurunya adalah setan.”

Dengan demikian, sanad ilmu/sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits. Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah, sedangkan sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan, baik al-Qur’an maupun as-sunnah, dari lisan Rasulullah.

Jadi, sanad keilmuan ini secara umum berarti latar belakang pengajian ilmu agama seseorang yang bersambung dengan para ulama setiap generasi sampai kepada generasi sahabat yang mengambil pemahaman agama yang shahih dari Rasulullah SAW.

Oleh sebab itulah, meskipun pembukuan sumber-sumber agama sudah selesai oleh para ulama hadits seperti Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, dan lain-lain, untuk memahami sumber-sumber agama juga perlu merujuk kepada para ulama (ahl adz-dzikir) yangmempunya sanad keilmuan yang jelas.Jadi, para ulama yang dirujuk juga harus pernah mempelajari pemahaman agama yang shahih, dari para ulama yang juga mempunyai sanad keilmuan yang jelas.Begitulah bersambungnya silsilah ini sampai kepada para ulama dari kalangan sahabat hingga kepada Rasulullah SAW. Ibn Umar berkata, “Ilmu itu adalah agama, dan shalat itu adalah agama. Maka, lihatlah dari mana kamu mengambil ilmu ini dan bagaimana kamu shalat dengan shalat ini, karena kamu akan ditanyai di hari akhirat.” (riwayat Imam Ad-Dailami).

Perkataan Ibn Umar ini menunjukkan pentingnya sanad keilmuan secara umum, baik dari sudut riwayah maupun dirayah.

Manhaj Islami dalam Ilmu-ilmu Agama
Dr. Yusuf Abdur Rahman dalam muqaddimah tahqiq kita Al-Majma’ Al-Muassis, karya Imam Ibn Hajar, mengatakan, “Adapun di antara segi terpenting dalam kitab ini adalah berkenaan dengan Manhaj Islami dalam ilmu-ilmu yang mengikuti manhaj As-Salaf Ash-Shalih, yang terwujud dalam bentuk talaqqi (menerima secara langsung) ilmu-ilmu dari para ulama, membaca kitab-kitab di hadapan mereka, mendapatkan ilmu dari mereka dan mengembara kepada mereka untuk tujuan tersebut, untuk mendapatkan ketinggian sanad, kejernihan minuman (ilmu), serta keselamatan dari kesalahan, kepincangan, dan hawa nafsu.”

“Hendaklah seorang penuntut ilmu memilih seorang guru yang ia dapat membaca kepadanya, yang mana guru tersebut perlu dinilai berdasarkan ia pernah membaca ilmu tersebut dari guru-gurunya dengan syarat yang mu’tabar di sisi para ulama. Begitu juga, para gurunya perlu membaca ilmu tersebut dari guru-guru mereka. Begitulah seterusnya kepada sumber cahaya ilmu dan petunjuk kemanusiaan, yaitu Rasulullah SAW.”

“Inilah cara sebenarnya dalam menuntut ilmu. Karena, ilmu itu diperoleh dengna belajar dan itu tidak diambil melainkan dengan bertalaqqi dari mulut para ulama dengan menghadiri majelis-majelis ilmu, bersahabat dengan para ulama, dan sebagainya.” (Muqaddimah Tahqiq bagi Al-Majma’ Al-Mu’assis).

Dalam tradisi belajar-mengajari di kalangan umat Islam, sanad ilmu menjadi salah satu unsur utama. Imam Syafi’i berkata, “Tiada ilmu tanpa sanad.” Pada kesempatan lain, imam madzhab ini menyatakan, “Penuntut ilmu tanpa sanad bagaikan pencari kayu bakar yang mencari kayu bakar di tengah malam, yang ia pakai sebagai tali pengikatnya adalah ular berbisa tetapi ia tak mengetahuinya.” Pernyataan serupa juga dilontarkan Al-Hafizh Imam Ats-Tsauri, “Sanad adalah senjata orang mukmin. Maka bila engkau tidak memiliki senjata, dengan apa engkau membela diri?”

Masih banyak lagi pernyataan ulama-ulama terdahulu yang menegaskan pentingnya sanad dalam ilmu.Bahkan dalam tradisi ahli-ahli hadits, sanad ilmu merupakan hal yang wajib dimiliki oleh penekun ilmu hadits.Mereka tidak mengakui suatu hadits dari seseorang kecuali bila orang itu mempunyai sanadnya yang jelas.

Demikianlah pentingnya sanad ilmu bagi para penekun ilmu-ilmu Islam. Disiplin ilmu keislaman apa pun, sanadnya akan bermuara kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Ilmu hadits bermuara kepada beliau, pun demikian dengan ilmu tafsir, tasawuf, dan sebagainya.

Berdasarkan kepentingan sanad keilmuan inilah, para ulama menghimpunkan sanad-sanad keilmuan mereka tersebut yang merangkum ilmu-ilmu agama dari sudut riwayah maupun dirayah, dari sudut manqul (yang dinukilkan) maupun ma’qul (yang dapat dipahami secara akal), dan sebagainya, dalam kitab-kitab mereka.Sebagian ulama menyusun latar belakang keilmuan mereka, yaitu sanad keilmuan, dalam bentuk mu’jam asy-syuyukh, yang menyenaraikan riwayat hidup dan latar belakang keilmuan para guru mereka.

Sejarah penyusunan nama-nama guru atau syaikh didapati pada kurun ketiga hijrah, seperti Al-Mu’jam Ash-Shaghir oleh Imam Ath-Thabarani, lalu terus berkembang seperti Mu’jam Syuyukh Abi Ya’la Al-Mushili dan lainnya.

Kemudian, sudah menjadi kebiasaan para ulama silam, kita mu’jam adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama guru, kitab fihris adalah kitab yang menghimpunkan nama-nama kitab (dengan sanad-sanadnya), dan kitab baramij adalah kitab yang terdiri dari dua bagian, bagian pertama yang menyenaraikan nama-nama guru dan bagian kedua yang menyenaraikan nama-nama kitab yang telah di talaqqi dari para ulama. Kemudian, ia berkembang kepada atsbat, yang menghimpun nama-nama guru dan kitab-kitab yang dibaca kepada mereka.

Dengan demikian, tradisi sanad adalah suatu intisari yang utama dalam sistem pembelajaran ilmu agama sejak generasi awal islam. Jadi, setiap guru yang mengajar ilmu agama kepada murid-muridnya mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas, terutama senarai guru-gurunya yang mengajarnya ilmu agama tersebut.Begitu juga, guru-gurunya (dari guru tersebut) juga mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas, yaitu mempunyai guru-guru yang mengajar mereka ilmu agama kepada mereka juga.Para guru dari guru-guru tersebut juga begitu.Begitulah bersambung silsilah berguru itu sampai kepada para sahabat, yang mana para sahabat mengambil ilmu agama dari Rasulullah SAW.

Inilah gambaran umum konsep sanad dalam tradisi pembelajaran ilmu agama.Mereka yang mempelajari ilmu-ilmu agama melalui sistem dan tradisi yang murni ini tidak terlepas dari konsep sanad ini.Ini tidak terpisah dari tradisi pembelajaran ilmu agama secara murni yang diambil dari generasi salaf.

Cuma, setelah muncul sistem pembelajaran acuan Barat, ilmu-ilmu agama diajar dalam bentuk dan acuan Barat di institusi-institusi pendidikan yang tidak mempunyai sanad keilmuan dalam bidang agama secara jelas.Maksudnya, para guru atau dosen yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai latar belakang keilmuan yang jelas dari para ulama dan tidak mempunyai sanad keilmuan.Dan karena mereka yang mengajar ilmu-ilmu agama dalam institusi-institusi tersebut tidak mempunyai sanad keilmuan, akhirnya murid-murid yang belajar ilmu-ilmu agama di institusi tersebut juga tidak mempunyai sanad keilmuan.

Bahkan, lebih malang lagi jika seseorang itu mengambil ilmu-ilmu agama, pemahaman tentang Islam, dan pengakuan keahlian dalam bidang ilmu agama, dari orang-orang kafir (Orientalis) yang mengajar ilmu-ilmu agama diinstitusi-institusi tersebut. Dalam ukuran tradisi Islam sebenarnya, itu tidak sah dan tidak diakui kelayakannya dalam bidang ilmu keagamaan.

Inilah yang membedakan seorang ulama (alim) yang lahir dari tradiris pengajian Islam yang asli (bersanad) dengan seorang akademis yang lahir dari tradisi pengajian Islam versi baru (terutama dengan acuan Barat). Dari sudut penguasaan ilmu, seorang alim yang lahir dari tradisi pengajian Islam yang asli dapat menguasai ilmu-ilmu agama secara menyeluruh, sedangkan seorang akademis yang lahir dari tradisi pengajian Islam tanpa bersanad hanya menguasai ilmu-ilmua agama secara terpisah-pisah atau hanya pada aspek tertentu.

Mungkin seorang akademis dapat membicarakan masalah takhrij hadits, sebab mendalami bidang tersebut di institusi pengajian modern, namun tidak dapat menjawab persoalan-persoalan mendalam dalam ilmu bahasa Arab, atau dalam bidang ulum Al-Qur’an dan sebagainya. Inilah yang dimaksudkan oleh Dr. Ali Jum’ah dalam kitab Al-Madkhal, yaitu, apabila ilmu agama dikuasai secara terpisah-pisah, ia menjadi sekedar maklumat (pengetahuan), bukan ilmu menurut ukuran sebenarnya.

Adapun budaya mendalami ilmu-ilmu agama dengan bergurukan kepada buku semata-mata, tanpa bertalaqqi dengan para ulama mu’tabar untuk mengambil pemahaman ilmu-ilmu agama, atau sekadar merujuk beberapa individu yang berbicara tentang agama tanpa latar belakang keilmuan (sanad keilmuan) yang jelas (ditambah lagi memiliki ijazah tadris/izin mengajar dari ulama muktabar), akan terlepas dari tradisi keilmuan Islam yang asli.

Mereka yang mencoba memahami agama sekadar memperbanyak bahan bacaan tanpa memperbanyak rujukan dari kalangan ulama tidak dinilai sebagai penuntut ilmu atau ahli ilmu sebagaimana dalam tradisi salaf terdahulu.

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja tidak akan menemui kesalahannya, karena buku tidak bisa menegur. Sedangkan guru bisa menegur jika ia salah. Atau jika ia tak paham, ia bisa bertanya. Tapi kalau berguru hanya kepada buku, jika ia tak paham, ia hanya terikat dengan pemahamannya dirinya.

Walau demikian, tentu kita boleh membaca buku. Namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa bertanya kepadanya jika kita mendapatkan masalah.

Pemahaman yang Keliru
Dr. Yusuf bin Abdur Rahman dalam bagian lain Muqaddimah Tahqiq kitab Al-Mu’jam Al-Mu’assis mengatakan, “Jika ilmu diambil dari pemegang sertifikat-sertifikat formal akademis, bukan dari pemegang ijazah-ijazah (sanad keilmuan dan ijazah tadris), rendahlah derajatnya, melencenglah penuntutnya dari kualitas sebenarnya, dan melencenglah ia dari jalan (tradisi) yang sebenarnya. Maka kembalilah kepada halaqah ilmu dan para ulama yang memiliki ijazah (sanad) sebelum kita mencari mereka lalu sudah tidak menemui mereka lagi (para ulama yang memegang sanad ilmu dan ijazah).Kembalilah kepada membaca kitab-kitab di hadapan para ulama yang mempunyai sanad yang bersambung, agar kita menjadi pemikul ilmu yang berkualitas, lalu menyampaikannya kepada generasi kemudian setelah kita. Kalau tidak, terputuslah sanad-sanad, sedangkan kita sudah menyia-nyiakan ilmu-ilmu kita, dan dengan demikian (karena terputusnya sanad ilmu) kita (para penuntut ilmu yang menjadi ulama) bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.”

Ya, kita memang tida boleh mengulangi kesalahan yang telah terjadi pada kaum Nasrani beberapa waktu setelah Nabi Isa tiada, yang sanad ilmu agama mereka terputus dari lisan Nabi Isa AS. Kitab suci yang di tangan mereka telah bercampur dengan akal pikiran mereka sendiri, yang di dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan manusia, sehingga mereka tidak mengenal Rasul Allah yang terakhir, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al-Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.”(QS Al-Baqarah: 146).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Demi Allah, yang diriku berada dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah mendengar dari aku ini seorang pun dari umat sekarang ini, Yahudi maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah ia ke dalam neraka.”

Kaum Nasrani tidak memiliki sanad ilmu sehingga para rahib atau pendeta mereka dapat berfatwa berdasarkan apa yang mereka inginkan. Sehingga mereka memberhalakan akal pikiran mereka sendiri, yang di dalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan. Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.”(QS Ar-Tawbah: 31).

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “Apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”, Nabi menjelaskan, “Tidak. Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu; tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya.”

Pada riwayat lain disebutkan, Rasulullah bersabda, “Mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudia mereka (umat tersebut) mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahan kepada mereka.” (Riwayat At-Tirmidzi).

Di kalangan umat Islam sendiri, segelintir ulama telah terpengaruh oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan agama sehingga memahami Al-Qur’an dan as-sunnah dengan akal pikirannya sendiri, tidak lagi memperhatikan pendapat-pendapat ulama-ulama terdahulu yang tersambung sanadnya kepada Rasulullah. Ulama-ulama yang terhasut itu meninggakan pemahaman imam madzhab yang empat, pemimpin atau imam ijtihad kaum muslimin pada umumnya (imam mujtahid muthlaq) yang bertalaqqi langsung dengan as-salafush shalih.Imam madzhab yang empat mengetahui dan mengikuti pemahaman as-salafush shalih melalui lisan mereka secara langsung.

Mereka sering menyuarakan slogan-slogan seperti “Mari Kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan Pemahaman Para Salaf”.Selintas terlihat slogan tersebut benar, namun tidak jelas para salaf (orang-orang terdahulu) yang mana yang dimaksud, karena salaf (orang-orang terdahulu) ada yang shalih, tapi ada pula yang tidak shalih, seperti kaum khawarij.

Contohnya, Abdurrahman bin Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Namun dia terpengaruh oleh hasutan atau ghawuz fikri(perang pemahaman) orang-orang khawarij, yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam. Sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Ali bin Abi Thalib.